Review Film Last Night in Soho: Twist Unik dengan Pace yang Tak Terlalu Halus
loading...
A
A
A
Film horor tentang arwah gentayangan tak melulu hadir dalam nuansa gelap dan menyeramkan. Edward Wright mempersembahkan sebuah film horor dalam balutan pesta, musik, dansa dan keriaan dengan warna-warna cerah di Last Night in Soho. Film ini memberikan pengalaman baru dalam menikmati suguhan horor psikologis.
Last Night in Soho menyajikan cerita horor dengan banyak twist. Mungkin bagi penyuka misteri bakal dengan cepat menebaknya lewat banyak petunjuknya yang sangat jelas. Tapi, bagi yang tidak, nikmati sajalah film ini karena memberikan pengalaman lain dalam menonton film horor.
Film ini berkisah tentang Ellois “Ellie” Turner (Thomasin McKenzie), seorang gadis dari pedesaan Inggris yang pindah ke London untuk kuliah di jurusan fashion. Kampusnya dekat dengan Soho. Tidak tahan dengan teman-teman seasramanya, Ellie akhirnya memilih nge-kost di sebuah rumah milik seorang wanita tua bernama Nyonya Collins (Diana Riggs).
Selama berada di rumah itu, Ellie, yang punya kemampuan cenayang, kembali ke era 1965. Kamar yang dihuni Ellie itu dulunya pernah ditinggali seorang wanita cantik, Sandie (Anya Taylor-Joy). Wanita itu bermimpi menjadi seorang penyanyi. Dia pun melakukan apa saja untuk mencapai impian itu, termasuk menjadi kekasih Jack (Matt Smith).
Tak disangka, Jack justru “menjual” Sandi ke berbagai laki-laki hidung belang. Hidup Sandie pun terasa seperti neraka. Ellie pun semakin terobsesi untuk mengikuti hidup Sandie. Tiap malam, dia akan memutar musik dari era 60an, berbaring, memejamkan mata dan mengikuti langkah Sandie.
Saking terobsesinya pada Sandie, sebelum tahu kalau hidupnya berubah jadi mimpi buruk, Ellie sampai mengubah warna rambutnya menjadi pirang, seperti Sandie. Baju-baju era 60an yang dikenakan Sandie pun menjadi inspirasi Ellie dalam merancang bajunya. Meski terlihat kuno, tapi dosen Ellie memuji hasil karyanya. Ellie juga membeli sejumlah fashion bernuansa 60an. Semua tentang Sandie begitu indah bagi Ellie.
Tapi, tentu saja, Edward Wright, sang sutradara, tidak bisa membiarkannya terus bahagia. Dia pun mengubah hidup Ellie dari yang awalnya baik-baik saja, menjadi tidak baik-baik saja. Ketakutan terus melanda Ellie sejak dia tahu mimpi buruk yang dialami Sandie.
Warna-warna cerah khas tahun 60-an pun berubah menjadi suram dengan kemunculan berbagai macam hantu tanpa wajah. Soho yang dikenal sebagai tempat ramai yang penuh berbagai macam toko, restoran, kafe dan teater pun menjadi mencekam. Terutama, buat Ellie.
Wright dengan cepat mengubah pemandangan ini menjadi nuansa jump scare yang memainkan psikologis penontonnya. Twist demi twist pun terkuak. Misteri demi misteri akhirnya terungkap. Bagi yang jeli, petunjuknya sudah ada sejak awal.
Visual film ini menjadi hiburan tersendiri saat menontonnya. Nuansa 60an yang dibawa memang cukup mewakili apa yang mungkin terlihat di Soho saat itu. Musik, fashion dan berbagai macam pernak perniknya sudah cukup pas mewakili era tersebut.
Ketika film ini berubah nuansa pun, terasa perubahannya. Dari warna cerah menjadi gelap dengan musik yang awalnya membuat rasa ceria menjadi tegang. Wright cukup sukses membuat perubahan ini.
Tapi, secara narasi, ceritanya memang agak kacau. Banyak bagian-bagian yang sebenarnya hanya sebagai pelengkap membuat film ini terasa lambat di awal. Dengan durasi 1 jam 56 menit, hampir separuh di awal dibuat untuk membangun cerita. Sisanya, memperlihatkan konflik dan penyelesaian.
Perubahan dari suasana yang menyenangkan ke suasana mencekam ini sebenarnya tidak terlalu halus. Malah cenderung terlihat kasar dan terburu-buru. Kemudian ada bagian yang sebenarnya tidak diperlukan, tetap diadakan. Entah buat apa, karena sebagai jembatan cerita pun, rasanya tidak perlu.
Bagi pecinta twist, film ini rasanya akan cocok. Wright memberikan twist yang sangat menarik di sini. Tak seperti film horor kebanyakan, kalian akan menemukan pengalaman lain dalam misteri horor di film ini. Lupakan pengalaman kalian nonton horor misteri sebelumnya saat nonton Last Night in Soho.
Secara keseluruhan, Last Night in Soho menyajikan sebuah plot twist yang cukup unik. Edward Wright dengan cukup baik memberikan pengalaman mengikuti petunjuk yang mengarah pada twist akhir yang mungkin belum pernah ada sebelumnya. Meski tak terlalu berdarah-darah, film ini memberikan ketegangan yang lumayan.
Last Night in Soho sudah bisa disaksikan di bioskop kesayangan kalian. Film ini berating dewasa alias 17+ karena adegan kekerasan. Tetaplah ikuti protokol kesehatan selama berada di bioskop! Selamat menyaksikan!
Last Night in Soho menyajikan cerita horor dengan banyak twist. Mungkin bagi penyuka misteri bakal dengan cepat menebaknya lewat banyak petunjuknya yang sangat jelas. Tapi, bagi yang tidak, nikmati sajalah film ini karena memberikan pengalaman lain dalam menonton film horor.
Film ini berkisah tentang Ellois “Ellie” Turner (Thomasin McKenzie), seorang gadis dari pedesaan Inggris yang pindah ke London untuk kuliah di jurusan fashion. Kampusnya dekat dengan Soho. Tidak tahan dengan teman-teman seasramanya, Ellie akhirnya memilih nge-kost di sebuah rumah milik seorang wanita tua bernama Nyonya Collins (Diana Riggs).
Selama berada di rumah itu, Ellie, yang punya kemampuan cenayang, kembali ke era 1965. Kamar yang dihuni Ellie itu dulunya pernah ditinggali seorang wanita cantik, Sandie (Anya Taylor-Joy). Wanita itu bermimpi menjadi seorang penyanyi. Dia pun melakukan apa saja untuk mencapai impian itu, termasuk menjadi kekasih Jack (Matt Smith).
Tak disangka, Jack justru “menjual” Sandi ke berbagai laki-laki hidung belang. Hidup Sandie pun terasa seperti neraka. Ellie pun semakin terobsesi untuk mengikuti hidup Sandie. Tiap malam, dia akan memutar musik dari era 60an, berbaring, memejamkan mata dan mengikuti langkah Sandie.
Saking terobsesinya pada Sandie, sebelum tahu kalau hidupnya berubah jadi mimpi buruk, Ellie sampai mengubah warna rambutnya menjadi pirang, seperti Sandie. Baju-baju era 60an yang dikenakan Sandie pun menjadi inspirasi Ellie dalam merancang bajunya. Meski terlihat kuno, tapi dosen Ellie memuji hasil karyanya. Ellie juga membeli sejumlah fashion bernuansa 60an. Semua tentang Sandie begitu indah bagi Ellie.
Tapi, tentu saja, Edward Wright, sang sutradara, tidak bisa membiarkannya terus bahagia. Dia pun mengubah hidup Ellie dari yang awalnya baik-baik saja, menjadi tidak baik-baik saja. Ketakutan terus melanda Ellie sejak dia tahu mimpi buruk yang dialami Sandie.
Warna-warna cerah khas tahun 60-an pun berubah menjadi suram dengan kemunculan berbagai macam hantu tanpa wajah. Soho yang dikenal sebagai tempat ramai yang penuh berbagai macam toko, restoran, kafe dan teater pun menjadi mencekam. Terutama, buat Ellie.
Wright dengan cepat mengubah pemandangan ini menjadi nuansa jump scare yang memainkan psikologis penontonnya. Twist demi twist pun terkuak. Misteri demi misteri akhirnya terungkap. Bagi yang jeli, petunjuknya sudah ada sejak awal.
Visual film ini menjadi hiburan tersendiri saat menontonnya. Nuansa 60an yang dibawa memang cukup mewakili apa yang mungkin terlihat di Soho saat itu. Musik, fashion dan berbagai macam pernak perniknya sudah cukup pas mewakili era tersebut.
Ketika film ini berubah nuansa pun, terasa perubahannya. Dari warna cerah menjadi gelap dengan musik yang awalnya membuat rasa ceria menjadi tegang. Wright cukup sukses membuat perubahan ini.
Tapi, secara narasi, ceritanya memang agak kacau. Banyak bagian-bagian yang sebenarnya hanya sebagai pelengkap membuat film ini terasa lambat di awal. Dengan durasi 1 jam 56 menit, hampir separuh di awal dibuat untuk membangun cerita. Sisanya, memperlihatkan konflik dan penyelesaian.
Perubahan dari suasana yang menyenangkan ke suasana mencekam ini sebenarnya tidak terlalu halus. Malah cenderung terlihat kasar dan terburu-buru. Kemudian ada bagian yang sebenarnya tidak diperlukan, tetap diadakan. Entah buat apa, karena sebagai jembatan cerita pun, rasanya tidak perlu.
Bagi pecinta twist, film ini rasanya akan cocok. Wright memberikan twist yang sangat menarik di sini. Tak seperti film horor kebanyakan, kalian akan menemukan pengalaman lain dalam misteri horor di film ini. Lupakan pengalaman kalian nonton horor misteri sebelumnya saat nonton Last Night in Soho.
Secara keseluruhan, Last Night in Soho menyajikan sebuah plot twist yang cukup unik. Edward Wright dengan cukup baik memberikan pengalaman mengikuti petunjuk yang mengarah pada twist akhir yang mungkin belum pernah ada sebelumnya. Meski tak terlalu berdarah-darah, film ini memberikan ketegangan yang lumayan.
Last Night in Soho sudah bisa disaksikan di bioskop kesayangan kalian. Film ini berating dewasa alias 17+ karena adegan kekerasan. Tetaplah ikuti protokol kesehatan selama berada di bioskop! Selamat menyaksikan!
(alv)