6 Kenyataan Pahit dalam Dunia Nyata yang Terekam dalam Squid Game
loading...
A
A
A
JAKARTA - Serial " Squid Game "bukan hanya memberikan tontonan menegangkan, tapi juga punya pesan kelam yang merefleksikan pahitnya dunia nyata.
Sejak sebelum serial Korea ini dirilis di Netflix , sutradara Hwang Dong-hyuk sudah mengatakan bahwa "Squid Game" adalah sebuah analogi dari sistem kapitalisme yang tumbuh dalam masyarakat. Hal ini pun bisa dibuktikan dari kisah dan latar belakang para karakternya.
Nah, berikut ini adalah lima hal dari "Squid Game" yang menggambarkan pahitnya kenyataan dalam kehidupan nyata. Tulisan ini mengandung spoiler.
1. SULITNYA KELUAR DARI KEMISKINAN, APALAGI JIKA TERJERAT UTANG
Foto: Netflix
Seluruh peserta dalam survival gameadalah orang yang terjerat utang besar, Mereka merasa tak ada jalan satu pun untuk bisa melunasi utang dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Satu-satunya jalan hanya bertaruh nyawa dalam survival game tersebut.
Sebegitu buntunya pikiran, bahkan mereka menganggap bertaruh nyawa dalam permainan mematikan itu masih lebih baik dibanding hidup tanpa harapan di luar. Inilah yang membuat sebagian besar peserta kembali bertanding dalam kompetisi tersebut.
2. ORANG DENGAN LATAR BELAKANG BERBEDA BISA BERAKHIR DI TEMPAT YANG SAMA
Foto: Netflix
Gi-hun dan Sang-woo memang tumbuh di lingkungan kumuh yang sama. Namun Sang-woo berhasil memperbaiki hidup karena kecerdasan otaknya. Dia bisa kuliah di kampus paling prestisius di Korea Selatan, yaitu Seoul National University (SNU). Ia pun bisa punya pekerjaan mapan di perusahaan investasi.
Namun karena dia mencuri uang dari kliennya, Sang-woo akhirnya jadi buronan polisi. Kekayaan yang sudah diperolehnya pun hilang dengan sekejap, dan membuatnya kembali miskin dan terjerat utang seperti Gi-hun.
Baca Juga: Teori 'Squid Game': Gi-Hun dan Il-Nam Punya Hubungan Darah, Ini Alasannya
3. PUNYA KEMAMPUAN YANG BAIK TIDAK BERARTI BISA SUKSES
Foto: Netflix
Kadang kala, keberuntungan malah berperan paling penting dalam hidup kita. Gi-hun misalnya. Diatidak punya cukup kecerdasan untuk menganalisis permainan. Namun dia selalu berada bersama orang yang tepat. Dalam permainan pertama, dia ditolong Ali. Dalam permainan melompat kaca, dia juga beruntung berada di urutan terakhir.
Ini berbeda dengan peserta tukang kaca yang kalau secara logika, dia mestinya sukses dalam bidang permainan yang sangat sesuai keahliannya itu. Sayangnya, dia bertemu Sang-woo yang licik, dan membuatnya harus tewas mengenaskan. Jangan lupa juga, dia pun dicurangi oleh penyelenggara acara yang mematikan lampu agar dia tak bisa menganalisis kaca.
Dalam kehidupan nyata pun, keahlian yang kita miliki belum tentu bisa mengantarkan kita ke tingkat kesuksesan yang diinginkan. Masih ada peran seperti status sosial, lingkungan sekitar, keberuntungan, serta momen yang tepat yang sulit untuk diprediksi oleh siapa pun.
4. DISKRIMINASI GENDER
Foto: Netflix
Hal ini tergambar pada sosok Ni-myeo yang sangat merendahkan Deok-soo karena ia perempuan. Deok-soo hanya melihat perempuan itu sebagai objek saja, bukan manusia yang layak diharfai. Ni-myeo juga langsung disingkirkan oleh Deok-soo sebelum permainan tarik tambang karena pria itu hanya menginginkan orang-orang yang kuat secara fisik.
5. DI NEGARA KAPITALIS, ORANG KAYA PUNYA KEKUATAN DAN BERKUASA
Foto: Netflix
Permainan mematikan ini jelas dirancang hanya untuk menghibur orang-orang dengan kekayaan berlimpah. Mereka juga bisa seenaknya mengubah peraturan kalau permainannya dianggap kurang seru dan kurang membuat para peserta kesulitan. Semakin para peserta sengsara, semakin mereka senang dan terhibur.
Baca Juga: Jadi Patung Manusia dalam Squid Game Dibayar Rp60 Juta Lebih
6. KORUPSI AKAN SELALU ADA
Foto: Netflix
Para pekerja dalam kompetisi kelihatannya adalah para staf yang patuh, tapi nyatanya ada saja yang berusaha curang dengan menjual organ tubuh para peserta. Mereka bahkan berani mengajak peserta yang merupakan dokter untuk ikut membantu dengan imbalan bocoran permainan.
Ini adalah sebuah gambaran secara tidak langsung bahwa dalam sebuah organisasi, nyaris selalu ada beberapa orang yang ingin mengambil keuntungan pribadi.
Maria Alexandra Fedho
Kontributor GenSINDO
Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta
Instagram: @mariasndra
Sejak sebelum serial Korea ini dirilis di Netflix , sutradara Hwang Dong-hyuk sudah mengatakan bahwa "Squid Game" adalah sebuah analogi dari sistem kapitalisme yang tumbuh dalam masyarakat. Hal ini pun bisa dibuktikan dari kisah dan latar belakang para karakternya.
Nah, berikut ini adalah lima hal dari "Squid Game" yang menggambarkan pahitnya kenyataan dalam kehidupan nyata. Tulisan ini mengandung spoiler.
1. SULITNYA KELUAR DARI KEMISKINAN, APALAGI JIKA TERJERAT UTANG
Foto: Netflix
Seluruh peserta dalam survival gameadalah orang yang terjerat utang besar, Mereka merasa tak ada jalan satu pun untuk bisa melunasi utang dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Satu-satunya jalan hanya bertaruh nyawa dalam survival game tersebut.
Sebegitu buntunya pikiran, bahkan mereka menganggap bertaruh nyawa dalam permainan mematikan itu masih lebih baik dibanding hidup tanpa harapan di luar. Inilah yang membuat sebagian besar peserta kembali bertanding dalam kompetisi tersebut.
2. ORANG DENGAN LATAR BELAKANG BERBEDA BISA BERAKHIR DI TEMPAT YANG SAMA
Foto: Netflix
Gi-hun dan Sang-woo memang tumbuh di lingkungan kumuh yang sama. Namun Sang-woo berhasil memperbaiki hidup karena kecerdasan otaknya. Dia bisa kuliah di kampus paling prestisius di Korea Selatan, yaitu Seoul National University (SNU). Ia pun bisa punya pekerjaan mapan di perusahaan investasi.
Namun karena dia mencuri uang dari kliennya, Sang-woo akhirnya jadi buronan polisi. Kekayaan yang sudah diperolehnya pun hilang dengan sekejap, dan membuatnya kembali miskin dan terjerat utang seperti Gi-hun.
Baca Juga: Teori 'Squid Game': Gi-Hun dan Il-Nam Punya Hubungan Darah, Ini Alasannya
3. PUNYA KEMAMPUAN YANG BAIK TIDAK BERARTI BISA SUKSES
Foto: Netflix
Kadang kala, keberuntungan malah berperan paling penting dalam hidup kita. Gi-hun misalnya. Diatidak punya cukup kecerdasan untuk menganalisis permainan. Namun dia selalu berada bersama orang yang tepat. Dalam permainan pertama, dia ditolong Ali. Dalam permainan melompat kaca, dia juga beruntung berada di urutan terakhir.
Ini berbeda dengan peserta tukang kaca yang kalau secara logika, dia mestinya sukses dalam bidang permainan yang sangat sesuai keahliannya itu. Sayangnya, dia bertemu Sang-woo yang licik, dan membuatnya harus tewas mengenaskan. Jangan lupa juga, dia pun dicurangi oleh penyelenggara acara yang mematikan lampu agar dia tak bisa menganalisis kaca.
Dalam kehidupan nyata pun, keahlian yang kita miliki belum tentu bisa mengantarkan kita ke tingkat kesuksesan yang diinginkan. Masih ada peran seperti status sosial, lingkungan sekitar, keberuntungan, serta momen yang tepat yang sulit untuk diprediksi oleh siapa pun.
4. DISKRIMINASI GENDER
Foto: Netflix
Hal ini tergambar pada sosok Ni-myeo yang sangat merendahkan Deok-soo karena ia perempuan. Deok-soo hanya melihat perempuan itu sebagai objek saja, bukan manusia yang layak diharfai. Ni-myeo juga langsung disingkirkan oleh Deok-soo sebelum permainan tarik tambang karena pria itu hanya menginginkan orang-orang yang kuat secara fisik.
5. DI NEGARA KAPITALIS, ORANG KAYA PUNYA KEKUATAN DAN BERKUASA
Foto: Netflix
Permainan mematikan ini jelas dirancang hanya untuk menghibur orang-orang dengan kekayaan berlimpah. Mereka juga bisa seenaknya mengubah peraturan kalau permainannya dianggap kurang seru dan kurang membuat para peserta kesulitan. Semakin para peserta sengsara, semakin mereka senang dan terhibur.
Baca Juga: Jadi Patung Manusia dalam Squid Game Dibayar Rp60 Juta Lebih
6. KORUPSI AKAN SELALU ADA
Foto: Netflix
Para pekerja dalam kompetisi kelihatannya adalah para staf yang patuh, tapi nyatanya ada saja yang berusaha curang dengan menjual organ tubuh para peserta. Mereka bahkan berani mengajak peserta yang merupakan dokter untuk ikut membantu dengan imbalan bocoran permainan.
Ini adalah sebuah gambaran secara tidak langsung bahwa dalam sebuah organisasi, nyaris selalu ada beberapa orang yang ingin mengambil keuntungan pribadi.
Maria Alexandra Fedho
Kontributor GenSINDO
Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta
Instagram: @mariasndra
(ita)