Dari Perbudakan hingga Jaring Pembunuh, Ini Fakta Mengerikan Industri Perikanan dalam Film 'Seaspiracy'

Jum'at, 02 April 2021 - 19:30 WIB
loading...
Dari Perbudakan hingga Jaring Pembunuh, Ini Fakta Mengerikan Industri Perikanan dalam Film Seaspiracy
Film dokumenter memberi gambaran kondisi industri perikanan dunia yang penuh praktik kotor. Foto/Netflix
A A A
JAKARTA - Apakah kamu termasuk orang yang senang makan seafood? Pernahkah kamu bayangkan bagaimana prosesnya sampai berada di hadapanmu?

"Seaspiracy" merupakan film dokumenter yang disutradarai oleh Ali Tabrizi. Film yang dirilis pada Maret 2021 di Netflix ini menerima banyak atensi dari seluruh dunia.

Dalam pembuatannya, Ali juga menggaet Kip Andersen dan Lucy Tabrizi. Mereka pergi ke berbagai negara, seperti Jepang, Skandinavia, Afrika, Prancis, Pulau Faroe, dan Skotlandia untuk melihat tingkah laku manusia terhadap lautan.

Dalam film dokumenter ini, kita akan disuguhi secara gamblang cara ikan-ikan ditangkap, manusia dijadikan budak dan direnggut hak asasinya, serta pembunuhan masif terhadap fauna dan flora laut.



Berikut adalah beberapa informasi mengejutkan yang terdapat dalam film dokumenter “Seaspiracy”.

1. JEPANG DAN CHINA BERTANGGUNG JAWAB ATAS PERBURUAN LUMBA-LUMBA DAN HIU

Dari Perbudakan hingga Jaring Pembunuh, Ini Fakta Mengerikan Industri Perikanan dalam Film 'Seaspiracy'


Taiji menjadi wilayah yang paling bertanggung jawab atas pembunuhan lumba-lumba. Daerah ini bahkan dilarang untuk dimasuki; banyak ancaman apabila berani untuk menentang perbuatan masyarakat.

Setiap tahunnya terdapat 700 lumba-lumba dan hiu yang dibantai di Taiji. Bagi mereka, kedua hewan tersebut merupakan hama yang akan memakan ikan-ikan target buruannya. Dari 2000—2012 dalam satu kali perburuan, untuk 1 lumba-lumba hidup terdapat 12 lainnya yang dibunuh.

Kii Katsura juga harus bertanggung jawab atas perburuan ikan tuna sirip biru. Menjadi ikan termahal di dunia, ternyata ikan tersebut termasuk ke dalam spesies langka. Namun, penangkapan tuna yang berlebih itu ternyata membuatnya terancam punah.

Perburuan sirip hiu yang masih memiliki peminat tinggi juga menjadi ancaman bagi kehidupan hiu. China adalah salah satu negara yang percaya akan khasiat sirip hiu, sehingga permintaannya pun cukup tinggi.

Padahal hiu juga berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem lautan. Seorang aktivis hiu, Paul De Gelder, mengatakan, “Orang tidak perlu takut pada hiu di lautan. Mereka justru harus takut kalau tidak ada hiu di lautan. Jika hiu punah, lautan akan berubah menjadi rawa. Siapa yang akan mati selanjutnya? Kita,” ujarnya.

2. JARING IKAN TERNYATA PENGHASIL SAMPAH LAUT TERBANYAK

Dari Perbudakan hingga Jaring Pembunuh, Ini Fakta Mengerikan Industri Perikanan dalam Film 'Seaspiracy'


Akhir-akhir ini orang secara masif menyerukan tentang larangan penggunaan sedotan plastik dan barang berbahan dasar plastik untuk menjaga limbahnya tak sampai ke lautan. Hal itu merupakan langkah awal yang baik. Namun ternyata terdapat salah satu ancaman yang paling besar.

Sampah terbesar yang mengancam lautan adalah jaring nelayan. Setiap nelayan berburu, mereka membentangkan jaring berbahan senar yang jika diakumulasi dapat melilit permukaan Bumi sebanyak 500 kali dalam sehari.

Baca Juga: Rekomendasi Buku dari Barack Obama, dari Fiksi hingga Autobiografi

Seorang jurnalis, George Monbiot, mengatakan, “Di Pulau Sampah Pasifik Besar, 40% sampah terbanyaknya adalah jaring ikan. Setiap selesai memancing, nelayan akan membuangnya ke laut. Sampah ini menjadi ancaman besar untuk satwa.”

Enam dari spesies penyu terancam punah karena mereka secara tidak sengaja terlilit jaring yang dipakai oleh nelayan. Terdapat studi yang memperkirakan 1.000 penyu mati karena plastik setiap tahunnya. Padahal, menurut Sea Turtle Conservancy , di Amerika saja terdapat 250.000 penyu yang terluka dan mati karena ikut terjerat penangkapan ikan.

3. SUSTAINABLE FISHING YANG TAK ADA ARTINYA

Dari Perbudakan hingga Jaring Pembunuh, Ini Fakta Mengerikan Industri Perikanan dalam Film 'Seaspiracy'


Menurut Fishcount, industri perikanan menangkap setidaknya 2,7 triliun ikan setiap tahun, artinya sebanyak lima juta ikan terbunuh tiap menitnya. Bahkan, Cornelia Dean melaporkan apabila tren penangkapan ikan secara masif terus berlangsung, maka pada 2048 lautan akan hampir kosong.

Flora di laut per hektarenya dapat menyerap lebih banyak karbon, yaitu 20 lipatnya daripada hutan di darat, bahkan 93% karbon dioksida diserap oleh lautan. Menurut Richard Oppenlander, dengan terus mengambil ikan dari lautan, pada dasarnya sama dengan menggunduli lautan.

Faktanya, jaring pukat merupakan salah satu metode penangkapan ikan dengan risiko kerusakan terbesar. Metode kerjanya adalah seperti buldozer yang akan meratakan permukaan laut sembari menangkap ikan-ikan dalam jumlah besar.

Setiap tahunnya, penggunaan metode jaring pukat dapat menyapu sebesar 3,9 miliar hektare area lautan. Hal tersebut setara dengan kehilangan 4.136 lapangan sepak bola setiap menitnya.

Banyak LSM yang mengampanyekan untuk beralih ke penangkapan ikan berkelanjutan (sustainable fishing) seperti OCEANA. Saat Ali mewawancarainya, mereka justru kebingungan akan makna sebenarnya dari penangkapan ikan berkelanjutan yang dikampanyekan.

Budi daya ikan dengan tambak juga menjadi masalah. Seperti pada Skotlandia yang menggunakan metode tersebut untuk salmon. Namun, kenyataannya ikan-ikan tersebut justru mati karena terserang penyakit seperti kutu laut. Pada akhirnya, ikan-ikan itu terbuang dengan sia-sia.

4. PERBUDAKAN KEJAM YANG DIALAMI PEKERJA THAILAND

Dari Perbudakan hingga Jaring Pembunuh, Ini Fakta Mengerikan Industri Perikanan dalam Film 'Seaspiracy'


Salah satu topik yang menarik diangkat adalah mengenai orang-orang yang bekerja di balik industri perikanan ini. Kita banyak mendengar bahwa mereka diperlakukan tidak adil saat sudah berada di atas kapal.

Hal ini bukanlah omong kosong belaka. Dalam film dokumenter ini, kita akan diperlihatkan wawancara Ali dengan para pekerja yang kerap kali mendapatkan penyiksaan dan ancaman dari atasannya.

Apabila tak menurut, mereka tak segan-segan untuk membunuh para pekerja itu. Bahkan, mereka mengaku sering melihat mayat di tempat pendingin hasil dari pembunuhan. Kita sering tidak sadar bahwa makanan laut yang kita makan, ternyata adalah hasil dari perbudakan.

Upah yang didapatkan pun tidak sepadan dengan jam kerja yang mereka lakukan. Saat ingin kabur, mereka pun selalu dibayang-bayangi oleh ancaman kematian karena penjaga yang memegang senapan.

Para kapten biasanya menjerat para pekerja itu dengan berbuat baik saat di darat. Mereka akan bersikap seperti teman. Namun, saat kapal berlayar, kapten tersebut berubah perangai menjadi bengis dan kejam.

5. TRADISI BERBURU PAUS KEPULAUAN FAROE YANG KEJAM

Dari Perbudakan hingga Jaring Pembunuh, Ini Fakta Mengerikan Industri Perikanan dalam Film 'Seaspiracy'


Kepulauan Faroe dikenal sebagai wilayah yang masih melakukan perburuan paus setiap tahunnya. Para warganya akan menggiring laut-laut tersebut hingga mereka terhimpit, kemudian membunuhnya hidup-hidup.

Perburuan paus tersebut merupakan sebuah budaya yang bernama Grindadrap. Mereka melakukannya tidak untuk dijual, melainkan untuk dibagikan kepada masyarakat sekitar.

Dikutip dari CNN , pemerintah Faroe menggambarkan perburuan paus sebagai "bagian alami dari kehidupan Faroe" dan menolak tuduhan bahwa pembunuhan itu bagian dari aksi ritual atau kesembronoan.

Meskipun begitu, data dari American Cetacean Society berkata bahwa paus pilot bukan termasuk hewan yang dianggap terancam punah, tapi perburuan masif yang terus berlangsung menyebabkan penurunan populasi cukup signifikan di sekitar Kepulauan Faroe.

Baca Juga: 8 Film Seru Bertema 'Lockdown', dari Horor Thriller hingga Komedi Satire

Film dokumenter “Seaspiracy” sangat direkomendasikan untuk kamu yang ingin mengetahui lebih dalam tentang realita industri perikanan bekerja.

Peringatan keras dari film dokumenter ini adalah adanya adegan darah hewan, pembunuhan hewan secara kejam, dan penembakan.

Alifia Putri Yudanti
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Twitter: @shcsei
(ita)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2261 seconds (0.1#10.140)