Ciri Manusia Indonesia Menurut Mocthar Lubis pada 1977, Ada Bedanya dengan 2021?

Senin, 11 Januari 2021 - 21:00 WIB
loading...
Ciri Manusia Indonesia Menurut Mocthar Lubis pada 1977,  Ada Bedanya dengan 2021?
Buku Manusia Indonesia karya Mochtar Lubis menjabarkan ciri-ciri orang Indonesia yang masih relevan hingga sekarang. Foto/Balai Pustaka
A A A
JAKARTA - Mochtar Lubis, seorang wartawan dan budayawan Indonesia pada 6 April 1977 menyampaikan pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki. Pidato ini kemudian dibukukan pada 1990 dengan judul yang sama dengan judul pidatonya, "Manusia Indonesia".

Gaya dan sikap Mochtar Lubis yang lugas dalam mengupas sifat-sifat negatif orang Indonesia dalam pidato tersebut menimbulkan banyak pendapat pro dan kontra di masyarakat, tapi di sisi lain juga membangkitkan pemikiran kritis tentang manusia Indonesia.

Bagaimana sosok 'manusia Indonesia' yang digambarkan oleh Mochtar Lubis dalam pidatonya ini? Masih samakah dengan manusia Indonesia pada hari ini?

Dalam Manusia Indonesia, Mochtar Lubis menggambarkan manusia Indonesia dengan enam sifat berikut:

Hipokrit atau munafik

Menurut Mochtar Lubis, ciri pertama manusia Indonesia adalah hipokrit atau munafik . Manusia Indonesia terbiasa untuk berpura-pura, lain di muka lain di belakang dan hal ini sudah berlangsung sejak dahulu.

Penyebabnya bisa jadi karena sejak dulu, manusia Indonesia terbiasa dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya, dipikirkannya, atau dikehendakinya karena takut akan ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya. Mochtar Lubis menyebut salah satu buktinya adalah prinsip Asal Bapak Senang (ABS) yang sering dilakukan oleh manusia Indonesia.

Segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya

Ciri kedua yang disebut oleh Mochtar Lubis adalah seringnya manusia Indonesia mengatakan “bukan saya”. Manusia Indonesia sering kali segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya.

Atasan kerap kali menggeser tanggung jawab tentang suatu kesalahan ke bawahannya, lalu bawahannya menggesernya ke yang lebih bawah lagi, dan begitu seterusnya. Hingga akhirnya ketika tiba di manusia-manusia yang bekerja di tataran paling bawah, mereka akan mengatakan “Saya hanya melaksanakan perintah dari atasan”.

Lempar-melempar tanggung jawab ini, menurut Mochtar Lubis, sangat tidak asing sekali di kalangan manusia Indonesia. Hal ini berkebalikan jika yang terjadi adalah kesuksesan atau keberhasilan, setiap orang akan berlomba-lomba mengakui kontribusi dan perannya.

Ciri Manusia Indonesia Menurut Mocthar Lubis pada 1977, Ada Bedanya dengan 2021?

Mochtar Lubis. Foto:Rob Bogaerts/Anefo - Nationaal Archief 930-2101

Berjiwa feodal

Salah satu tujuan dari revolusi kemerdekaan Indonesia adalah membebaskan manusianya dari feodalisme. Namun pada kenyataannya, bentuk-bentuk feodalisme baru terus bermunculan hingga kini.

Sikap-sikap feodalisme dapat kita lihat dalam urusan jabatan. Banyak yang masih mengutamakan hubungan atau kedekatan ketimbang kecakapan, pengalaman, maupun pengetahuannya. Masalah feodalisme ini tidak lepas dalam kenyataan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia kini. Politik 'bagi kursi' atau bagi-bagi jabatan yang terjadi dalam kancah politik Indonesia adalah salah satunya.

Percaya Takhayul

Selanjutnya, Mochtar Lubis mengatakan bahwa salah satu ciri manusia Indonesia adalah percaya takhayul. Ciri yang satu ini tak lepas dari kebudayaan dan tradisi bangsa Indonesia yang masih percaya pada benda-benda yang disembah untuk memperoleh berkah. Tak jarang nyawa pun dipertaruhkan sebagai bagian dari persembahan.

Sampai saat ini, masih banyak program televisi yang menayangkan hal-hal berbau magi dan gaib dan nyatanya hal tersebut masih saja menghibur manusia Indonesia sampai saat ini. Tak hanya tayangan berbau takhayul, pengobatan yang mengandalkan dukun dan sihir pun masih terus dilakukan oleh masyarakat daerah di Indonesia. Kepercayaan itu terus dilakukan meski tak ada penelitian yang mampu membuktikan keabsahannya.

Pendidikan menjadi salah satu benteng yang kuat untuk menghalau pemikirian-pemikiran tersebut. Dengan pengetahuan yang memadai, hal tersebut akan mampu lebih dikaji ulang agar mampu diterima secara logika.

Ciri Manusia Indonesia Menurut Mocthar Lubis pada 1977, Ada Bedanya dengan 2021?

Foto: Balai Pustaka

Artistik

Kepercayaan yang menjadi bagian dari budaya manusia Indonesia rupanya membawa manusia Indonesia menjadi manusia yang dekat dengan alam. Hasilnya, manusia Indonesia punya daya artistik yang cukup tinggi. Banyak hasil kerajinan masyarakat Indonesia yang diakui dunia.

Bagi Mochtar Lubis, ciri ini merupakan salah satu yang paling menarik dan punya pesonannya sendiri. Ciri ini mampu menjadi tumpuan hari depan manusia Indonesia. ( )

Berwatak lemah

Manusia Indonesia punya watak yang lemah serta karakter yang kurang kuat. Dalam sejarah Indonesia, Presiden Soekarno adalah sosok yang mampu memberikan contoh dari ciri ini.

Terkait masalah inflasi yang pernah menyerang Indonesia, Soekarno pernah mengatakan bahwa inflasi itu baik demi “revolusi Indonesia”. Dampaknya, seperti yang banyak diketahui, inflasi di Indonesia mencapai 650% dalam setahun setelah ia lengser dari kursi presiden.

Kegoyahan watak merupakan akibat dari ciri masyarakat dan manusia feodal. Hal tersebut hingga kini masih terus ditemukan dalam manusia Indonesia untuk menyenangkan atasan atau menyelamatkan diri sendiri.

Selain keenam ciri di atas, Mochtar Lubis juga menyebutkan ciri-ciri lain manusia Indonesia. Di antaranya, boros, menyukai segala sesuatu yang instan, penggerutu, punya rasa humor yang baik, cepat belajar, dan beberapa ciri lainnya.

Nah, berdasarkan isi pidato kebudayaan yang disampaikan pada tahun 1977 tersebut, bagaimana pendapatmu? Apakah manusia Indonesia hari ini, pada tahun 2021 atau 44 tahun setelah pidato tersebut pertama kali disuarakan, ada perbedaannya? Atau masih sama saja?

Pada masanya, pidato ini menuai banyak tanggapan. Tanggapan-tanggapan itu, beserta jawaban dari Mochtar Lubis terhadap tanggapan yang disampaikan juga dimuat di dalam buku dengan tebal 135 halaman ini. ( )

Tanggapan-tanggapan yang dimuat di dalam buku ini di antaranya adalah tanggapan dari Sarlito Wirawan Sarwono dari fakultas psikologi UI (Mei, 1977), Margono Djojohadikusumo selaku pendiri Bank Negara Indonesia (Mei 1977), dan Wildan Yatim seorang sastrawan dan ahli biologi (Mei, 1977).

Iffah Sulistyawati Hartana
Kontributor GenSINDO
Institut Teknologi Bandung
Instagram: @iffahshrtn
(ita)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1190 seconds (0.1#10.140)