Belum Yakin Mau Kuliah? Mungkin Ambil Gap Year Aja!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Setelah lulus SMA, langsung melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi adalah hal yang lazim, bahkan wajib, bagi banyak orang. Tapi, ada juga yang memilih untuk rehat 1-2 tahun sebelum memutuskan jadi mahasiswa. Kenapa?
Di luar negeri, istilah rehat sejenak setelah lulus SMA disebut gap year atau sabbatical year. Istilah ini juga berlaku untuk yang memilih istirahat dulu sebelum mencari kerja. Hal ini lazim dilakukan di luar negeri, tapi gak dengan di Indonesia.
Meski begitu, belakangan mulai banyak siswa lulusan SMA yang mengambil gap year. Alasannya beragam. Mulai dari mempersiapkan diri lebih matang supaya bisa masuk ke kampus impian, mau memperluas wawasan, melakukan perjalanan jauh, sampai mau rehat dan melakukan hal-hal yang disukai sekaligus mengeksplorasi diri lebih dalam.
Salah satu yang pernah mengambil masa gap year adalah Nara Sandy. Mahasiswa jurusan Public Relations Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka ini memilih gap year setelah lulus SMA karena mau melanjutkan pendidikan ke Akademi Polisi. Selama setahun, dia pun mengasah kemampuan dirinya supaya bisa lulus Akademi Polisi.
Nara Sandy. Foto: Dok. Nara Shandy
“Selama setahun guemasuk lembaga yang isinya latihan olahraga yang mengacu sama tes untuk Akademi Polisi, seperti lari 12 menit, push up, pull up, sit up, shuttle run, dan renang 25 meter,” ujar Nara yang mau masuk Akademi Polisi karena keinginan orang tuanya.
Pada akhirnya, Nara gak lolos seleksi Akademi Polisi. Tapi, dia merasa waktu setahun saat gap yeargak terbuang sia-sia karena dia banyak belajar tentang dirinya sendiri selama menjalaninya.
“Sebelum gap year, gue belum tahu potensi diri gue, cuma ngikutin kemauan orang tua buat ikut Akademi Polisi,” curhatnya.
Tapi selama gap year, dia jadi menemukan minatnya, juga belajar bikin prioritas untuk dirinya sendiri, sesuai kemauannya.
“Selama setahun itu bikin gue jadi punya pandangan diri yang luas. Prioritas gue masuk jurusan hubungan internasional atau ilmu komunikasi,” tegasnya.
Foto:dexec.co.uk
Selain jadi lebih memahami diri sendiri, Nara juga bisa lebih punya banyak waktu untuk menjalankan hobi dan ketemu teman-teman baru.
“Kemampuan bermusik gue, salah satunya main gitar, makin terasah,” ujarnya.
Awalnya Menyesal, Lalu Bersyukur
Lain pengalaman, lain cerita. Nadine Demetria atau biasa disapa Nadine, saat lulus SMA memutuskan mengambil gap year setelahgaklolos seleksi masuk jurusan seni rupa dan desain di Bandung.
Atas saran orang tuanya, Nadine lalu mengambil kursus bahasa Prancis. Dia juga bekerja paruh waktu (freelance) jadi fotografer dan desainer mode.
Nadine Demetria. Foto: Nadine Dementria
Awalnya, Nadine sempat menyesal memilih gap year. Tapi setelah dijalani, dia malah sadar bahwa banyak kegiatan positif dan pengalaman yang terus bertambah.
Selama gap year, Nadine bahkan sempat mengikuti au pair di Prancis. Au pair adalah program pertukaran budaya dengan cara bekerja di luar negeri. Di sana, Nadine juga jadi belajar budaya negara lain, juga ketemu orang-orang baru dari berbagai negara.
“Jadi bersyukur banget. Gue jadi terinspirasi buat cari pengalaman terus, karena edukasi gak sebatas di institusi. Banyak hal positif dan pengalaman menarik yang bisa kita lakukan saat orang lain justru lagi sibuk-sibuknya kuliah,” katanya.
GenSINDO
Widya Zhafirah Dezani
London School of Public Relations Jakarta
Lihat Juga: Profil 8 Kampus Ternama Amerika yang Ikut Aksi Encampment Pro-Palestina, Banyak dari Ivy League
Di luar negeri, istilah rehat sejenak setelah lulus SMA disebut gap year atau sabbatical year. Istilah ini juga berlaku untuk yang memilih istirahat dulu sebelum mencari kerja. Hal ini lazim dilakukan di luar negeri, tapi gak dengan di Indonesia.
Meski begitu, belakangan mulai banyak siswa lulusan SMA yang mengambil gap year. Alasannya beragam. Mulai dari mempersiapkan diri lebih matang supaya bisa masuk ke kampus impian, mau memperluas wawasan, melakukan perjalanan jauh, sampai mau rehat dan melakukan hal-hal yang disukai sekaligus mengeksplorasi diri lebih dalam.
Salah satu yang pernah mengambil masa gap year adalah Nara Sandy. Mahasiswa jurusan Public Relations Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka ini memilih gap year setelah lulus SMA karena mau melanjutkan pendidikan ke Akademi Polisi. Selama setahun, dia pun mengasah kemampuan dirinya supaya bisa lulus Akademi Polisi.
Nara Sandy. Foto: Dok. Nara Shandy
“Selama setahun guemasuk lembaga yang isinya latihan olahraga yang mengacu sama tes untuk Akademi Polisi, seperti lari 12 menit, push up, pull up, sit up, shuttle run, dan renang 25 meter,” ujar Nara yang mau masuk Akademi Polisi karena keinginan orang tuanya.
Pada akhirnya, Nara gak lolos seleksi Akademi Polisi. Tapi, dia merasa waktu setahun saat gap yeargak terbuang sia-sia karena dia banyak belajar tentang dirinya sendiri selama menjalaninya.
“Sebelum gap year, gue belum tahu potensi diri gue, cuma ngikutin kemauan orang tua buat ikut Akademi Polisi,” curhatnya.
Tapi selama gap year, dia jadi menemukan minatnya, juga belajar bikin prioritas untuk dirinya sendiri, sesuai kemauannya.
“Selama setahun itu bikin gue jadi punya pandangan diri yang luas. Prioritas gue masuk jurusan hubungan internasional atau ilmu komunikasi,” tegasnya.
Foto:dexec.co.uk
Selain jadi lebih memahami diri sendiri, Nara juga bisa lebih punya banyak waktu untuk menjalankan hobi dan ketemu teman-teman baru.
“Kemampuan bermusik gue, salah satunya main gitar, makin terasah,” ujarnya.
Awalnya Menyesal, Lalu Bersyukur
Lain pengalaman, lain cerita. Nadine Demetria atau biasa disapa Nadine, saat lulus SMA memutuskan mengambil gap year setelahgaklolos seleksi masuk jurusan seni rupa dan desain di Bandung.
Atas saran orang tuanya, Nadine lalu mengambil kursus bahasa Prancis. Dia juga bekerja paruh waktu (freelance) jadi fotografer dan desainer mode.
Nadine Demetria. Foto: Nadine Dementria
Awalnya, Nadine sempat menyesal memilih gap year. Tapi setelah dijalani, dia malah sadar bahwa banyak kegiatan positif dan pengalaman yang terus bertambah.
Selama gap year, Nadine bahkan sempat mengikuti au pair di Prancis. Au pair adalah program pertukaran budaya dengan cara bekerja di luar negeri. Di sana, Nadine juga jadi belajar budaya negara lain, juga ketemu orang-orang baru dari berbagai negara.
“Jadi bersyukur banget. Gue jadi terinspirasi buat cari pengalaman terus, karena edukasi gak sebatas di institusi. Banyak hal positif dan pengalaman menarik yang bisa kita lakukan saat orang lain justru lagi sibuk-sibuknya kuliah,” katanya.
GenSINDO
Widya Zhafirah Dezani
London School of Public Relations Jakarta
Lihat Juga: Profil 8 Kampus Ternama Amerika yang Ikut Aksi Encampment Pro-Palestina, Banyak dari Ivy League
(it)