CERMIN: Joko Anwar Membuat Kita (Kembali) Percaya pada Film Horor Lokal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2022. Sukses fenomenal KKN di Desa Penari dengan perolehan 10 juta penonton melahirkan tren baru: lahirnya puluhan judul film horor lokal medioker.
Berapa banyak film horor lokal yang dirilis di bioskop dalam tiga tahun terakhir? Mari kita cek datanya.
Pada 2022 tercatat setidaknya ada 29 film bergenre horor dari total 88 judul film yang beredar. Artinya 1 dari 3 film lokal yang diproduksi di tahun tersebut bergenre horor.
Genre horor semakin menguasai bioskop setahun setelahnya. Dari 105 judul film lokal yang dirilis di bioskop, tercatat setidaknya 50 judul di antaranya bergenre horor. Artinya persentase produksi film horor lokal menguat tajam, dengan 1 dari 2 film lokal yang diproduksi kini bergenre horor.
Sayangnya dari sekitar 89 judul film horor lokal yang beredar dalam dua tahun terakhir, sedikit sekali yang datang dengan keinginan menyajikan pengalaman segar dan menarik kepada penonton. Yang terjadi malah sebagian besar di antara film horor lokal tersebut hanya datang dengan nafsu cum ambisi demi meraih cuan besar berlipat-lipat dari biaya produksinya, tanpa mau repot melakukan eksplorasi cerita dengan lebih mendalam. Hasilnya adalah puluhan judul film horor lokal medioker.
Saya termasuk dalam barisan pembuat film sekaligus penonton yang kecewa dengan fenomena tersebut. Dengan keinginan besar penonton untuk terus menyaksikan genre horor di layar besar, seharusnya dilayani oleh rumah produksi dengan menyajikan sesuatu yang bukan repetisi, bukan sekadar mengulang formula, berani keluar dari status quo.
Saya pun mulai putus harapan dengan keberlangsungan film horor lokal yang saya lihat seperti tak peduli untuk terus mencoba menghancurkan dirinya dari dalam.
Foto: Come and See Pictures
Untungnya memang Siksa Kubur datang mengembalikan kepercayaan itu. Sebagai sutradara sekaligus penulis skenario juga penonton yang tekun, Joko datang dengan niat yang saya percayai tulus: memberikan cerita yang segar dan menarik sekaligus memberikan pengalaman menonton berbeda dari yang pernah dialami para penonton bioskop sebelumnya.
Joko datang dengan senjata pamungkas yang seharusnya memang diyakini perlu dimiliki film dari genre apa pun sejak awal: skenario yang ditulis dengan keterampilan bercerita yang mumpuni.
Siksa Kubur membuka ceritanya dengan sangat menarik dan meletakkan pondasi ceritanya dengan sangat baik sejak awal. Kita melihat Sita dan Adil kecil (diperankan dengan menarik oleh duet Widuri Puteri dan Muzakki Ramdhan) berhadapan dengan sebuah peristiwa yang kelak mengguncang hidup dan apa pun yang mereka yakini sebelumnya.
Peristiwa itu begitu membekas, menggores luka batin teramat dalam terutama bagi Sita. Ia tak lagi percaya pada agama yang mengajarkan kebaikan.
Peristiwa semasa kecil yang terjadi di depan matanya itu memperlihatkan bahwa keyakinan agama seseorang nyatanya membuat kedua orang tua yang disayanginya direnggut hidupnya. Pengalaman traumatis itu membentuk Sita dan Adil (kini dilanjutkan Faradina Mufti dan Reza Rahadian) menjalani hidupnya sekarang.
Foto: Come and See Pictures
Lalu Joko membawa kita memasuki sebuah wilayah abu-abu sekaligus menantang pemikiran dan apa pun yang kita yakini: betulkah siksa kubur itu ada?
Jika memang ada, bisakah ia memberi pelajaran pada seseorang yang menghancurkan hidup kakaknya dan puluhan anak laki-laki lain dengan memangsa mereka yang tak berdaya?
Joko tak sekadar menantang pemikiran kita. Ia juga memprovokasi kita untuk meruntuhkan segala yang kita percayai dengan mudah sebelumnya atas nama iman. Namun sebagai pembuat film dengan integritas yang baik, Joko tahu betul untuk tak mencoba mempermainkan simbol agama mana pun.
Joko juga menahan diri untuk tak berceramah moral yang pedas kepada penonton. Joko menjadi Sita yang mempertanyakan nilai-nilai yang banyak dari kita yakini hingga hari ini.
Siksa Kubur berjalan sangat efektif terutama karena skenario yang dirakit dengan sangat efisien meski memunculkan banyak karakter yang berlalu lalang sepanjang durasi filmnya. Namun karakter demi karakter itu tak sekadar muncul, satu per satu dari mereka punya tujuannya masing-masing.
Berapa banyak film horor lokal yang dirilis di bioskop dalam tiga tahun terakhir? Mari kita cek datanya.
Pada 2022 tercatat setidaknya ada 29 film bergenre horor dari total 88 judul film yang beredar. Artinya 1 dari 3 film lokal yang diproduksi di tahun tersebut bergenre horor.
Genre horor semakin menguasai bioskop setahun setelahnya. Dari 105 judul film lokal yang dirilis di bioskop, tercatat setidaknya 50 judul di antaranya bergenre horor. Artinya persentase produksi film horor lokal menguat tajam, dengan 1 dari 2 film lokal yang diproduksi kini bergenre horor.
Sayangnya dari sekitar 89 judul film horor lokal yang beredar dalam dua tahun terakhir, sedikit sekali yang datang dengan keinginan menyajikan pengalaman segar dan menarik kepada penonton. Yang terjadi malah sebagian besar di antara film horor lokal tersebut hanya datang dengan nafsu cum ambisi demi meraih cuan besar berlipat-lipat dari biaya produksinya, tanpa mau repot melakukan eksplorasi cerita dengan lebih mendalam. Hasilnya adalah puluhan judul film horor lokal medioker.
Saya termasuk dalam barisan pembuat film sekaligus penonton yang kecewa dengan fenomena tersebut. Dengan keinginan besar penonton untuk terus menyaksikan genre horor di layar besar, seharusnya dilayani oleh rumah produksi dengan menyajikan sesuatu yang bukan repetisi, bukan sekadar mengulang formula, berani keluar dari status quo.
Saya pun mulai putus harapan dengan keberlangsungan film horor lokal yang saya lihat seperti tak peduli untuk terus mencoba menghancurkan dirinya dari dalam.
Foto: Come and See Pictures
Untungnya memang Siksa Kubur datang mengembalikan kepercayaan itu. Sebagai sutradara sekaligus penulis skenario juga penonton yang tekun, Joko datang dengan niat yang saya percayai tulus: memberikan cerita yang segar dan menarik sekaligus memberikan pengalaman menonton berbeda dari yang pernah dialami para penonton bioskop sebelumnya.
Joko datang dengan senjata pamungkas yang seharusnya memang diyakini perlu dimiliki film dari genre apa pun sejak awal: skenario yang ditulis dengan keterampilan bercerita yang mumpuni.
Siksa Kubur membuka ceritanya dengan sangat menarik dan meletakkan pondasi ceritanya dengan sangat baik sejak awal. Kita melihat Sita dan Adil kecil (diperankan dengan menarik oleh duet Widuri Puteri dan Muzakki Ramdhan) berhadapan dengan sebuah peristiwa yang kelak mengguncang hidup dan apa pun yang mereka yakini sebelumnya.
Peristiwa itu begitu membekas, menggores luka batin teramat dalam terutama bagi Sita. Ia tak lagi percaya pada agama yang mengajarkan kebaikan.
Peristiwa semasa kecil yang terjadi di depan matanya itu memperlihatkan bahwa keyakinan agama seseorang nyatanya membuat kedua orang tua yang disayanginya direnggut hidupnya. Pengalaman traumatis itu membentuk Sita dan Adil (kini dilanjutkan Faradina Mufti dan Reza Rahadian) menjalani hidupnya sekarang.
Foto: Come and See Pictures
Lalu Joko membawa kita memasuki sebuah wilayah abu-abu sekaligus menantang pemikiran dan apa pun yang kita yakini: betulkah siksa kubur itu ada?
Jika memang ada, bisakah ia memberi pelajaran pada seseorang yang menghancurkan hidup kakaknya dan puluhan anak laki-laki lain dengan memangsa mereka yang tak berdaya?
Joko tak sekadar menantang pemikiran kita. Ia juga memprovokasi kita untuk meruntuhkan segala yang kita percayai dengan mudah sebelumnya atas nama iman. Namun sebagai pembuat film dengan integritas yang baik, Joko tahu betul untuk tak mencoba mempermainkan simbol agama mana pun.
Joko juga menahan diri untuk tak berceramah moral yang pedas kepada penonton. Joko menjadi Sita yang mempertanyakan nilai-nilai yang banyak dari kita yakini hingga hari ini.
Siksa Kubur berjalan sangat efektif terutama karena skenario yang dirakit dengan sangat efisien meski memunculkan banyak karakter yang berlalu lalang sepanjang durasi filmnya. Namun karakter demi karakter itu tak sekadar muncul, satu per satu dari mereka punya tujuannya masing-masing.