CERMIN: Ellyas Pical, di Balik Juara Dunia Hebat Ada Ibu yang Tak Henti Berdoa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1985. Seorang anak muda dari kota kecil Saparua, Maluku, membanggakan Indonesia. Ellyas Pical menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi juara dunia dalam cabang olahraga tinju profesional.
Anak muda itu masih berusia 25 tahun, dengan penampilan fisik kekar meski bertubuh pendek, dengan salah satu telinga yang tak bisa mendengar dengan baik, juga buta huruf dan dibesarkan oleh orang tua tunggal.
Dengan segala kelemahan itu, toh, Elly membalikkan segala yang orang harapkan padanya: bahwa ia tak akan hidup sebagai pecundang melainkan sebagai pemenang.
Kisah hidup Ellyas Pical yang dramatis dan bagaimana ia mengarungi hidup hanya berdua dengan ibunya, Mama Ana, memang telah menjadi salah satu kisah from zero to hero paling efektif, terutama bagi mereka yang menjalani masa kanak-kanak di sebuah kota kecilpada 1980-an seperti saya.
Kisah itu akhirnya diangkat menjadi salah satu serial terbaik yang pernah dibuat di negeri ini sebanyak 6 episode, dan ditayangkan di Prime Video.
Foto: Prime Video
Ellyas Pical dibuka dengan efektif dengan memperlihatkan kecantikan kota Saparua di pengujung timur Indonesia. Dengan laut dan langit biru, kita disedot masuk ke dalam sebuah kehidupan yang mungkin terasa jauh bagi sebagian orang, tapi terasa dekat bagi sebagiannya lagi, seperti saya yang juga merasakan kehidupan di kota kecil di tepi pantai di Polewali (Sulawesi Barat).
Herwin Novianto merebut hati penonton sejak awal dengan membiarkan seluruh dialog dituturkan dalam dialek Maluku yang lentur. Jarang sekali ada film/serial Indonesia yang merepresentasikan masyarakat Maluku dan Ellyas Pical menjadi perwakilan yang paling menarik.
Kita langsung berkenalan dengan Elly kecil (diperankan dengan menarik oleh Bimasena) yang sedang mencari ikan di laut. Dalam sebuah adegan dramatis, terjadi pemboman ikan dan Elly tak bisa menghindar karenanya. Telinganya tuli sebelah seketika dan akan terus menjadi identitasnya seterusnya.
Jika membaca kisah hidup Elly sebenarnya, kita tahu adegan dramatis ini direkayasa dan memang dibutuhkan oleh cerita agar kita bisa langsung bersimpati dengan Elly sejak awal. Pendekatan yang diambil penulis skenario Alim Sudio ini berhasil.
Di tangan Bimasena yang mencuri perhatian sejak film Waktu Maghrib, kita tahu bahwa ada sesuatu yang istimewa dari anak yang terbata-bata ketika disuruh membaca di depan kelas itu.
Foto: Prime Video
Dalam sebuah adegan yang sebenarnya juga klise, Elly diperlihatkan mencoba membantu seorang anak yang sedang dirundung oleh beberapa anak lainnya. Kita tahu adegan ini juga diperlukan untuk memperlihatkan bakat alamiah Elly dalam berkelahi.
Adegan klise ini juga efektif untuk terus membangun perspektif mengenai bagaimana Elly kelak puluhan tahun kemudian, setelah ia ikut menyaksikan pertandingan tinju di sebuah warung yang menyiarkan Muhammad Ali.
Yang menarik dari biopik ini adalah betapa leluasanya kreator diberi ruang untuk memperlihatkan bagaimana manusiawinya Ellyas Pical. Bandingkan dengan Susi Susanti: Love All yang terasa terlalu bersih dari skandal apa pun.
Ellyas Pical justru membiarkan kehidupan dirinya ditelanjangi secukupnya. Ketika ia sudah menjadi juara dunia dan bertaburan harta, Elly sempat merasakan ujian dari alkohol hingga perempuan dan membuatnya berpaling sejenak dari latihan tinju.
Namun yang membuat Ellyas Pical terasa dekat bagi siapa pun hingga hari ini adalah bagaimana kedekatannya dengan ibunya, Mama Ana, yang menjadi pilar utama hidupnya. Mama Ana adalah sebaik-baiknya seorang ibu buat anak semata wayang.
Seorang ibu yang dengan kasih sayangnya yang sering kali terasa berlebihan, justru tak menginginkan anaknya mengambil risiko apa pun.
Foto: Prime Video
Seorang ibu yang dengan keterbatasannya justru tak ingin anaknya lantas kelak hanya menjadi seorang pecundang seperti beberapa orang yang dikenalnya di kampungnya. Tapi ketika sang anak memperlihatkan kegigihan, semangat juang dan pantang menyerah, Mama Ana tahu apa yang harus ia lakukan.
Ia tak akan menjadi seorang ibu yang membunuh mimpi anaknya. Ia akan menjadi seorang ibu yang selalu setia menyaksikan pertandingan tinju anaknya, meski sering kali tak tahan melihat Elly dihajar habis-habisan hingga bonyok.
Ketika anaknya dirundung rasa kecewa mendalam, ia tahu ke mana tempatnya berpaling: kembali kepada Tuhan. Dalam segala kesempatan, baik ketika ia sedang senang maupun ketika bersedih, Mama Ana tak pernah berhenti berdoa.
Herwin Novianto sukses mengawinkan dua penampilan paling cemerlang dalam serial Indonesia yang pernah dibuat, Denny Sumargo sebagai Ellyas Pical dan Christine Hakim sebagai Mama Ana. Denny yang berasal dari Makassar sekilas sama sekali tak mirip dengan Ellyas Pical asli, tapi percayalah seiring episode demi episode kita tahu Denny sukses meniupkan ruh Elly ke dalam dirinya.
Christine Hakim menjadi semacam pelecut semangat bagi Denny untuk tampil dalam puncak penampilan aktingnya sepanjang karirenya. Reaksi kimiawi keduanya menjadikan serial ini tak saja penting ditonton sebagai cara merawat ingatan dari masa lalu, tapi juga belajar dari bagaimana generasi terdahulu membanggakan negeri ini dengan cara yang tak mudah.
Kita tahu bagaimana akhirnya Mama Ana sukses mencetak seorang juara, tak hanya di ring tinju, juga dalam hidup, dengan mendengar seutas kalimat dari Ellyas Pical. “Juara yang sesungguhnya tidak pernah keluar dari pertandingan dan tidak pernah mengeluh dalam berproses.”
Ellyas Pical
Produser: Frederica
Penulis Skenario: Alim Sudio
Sutradara: Herwin Novianto
Pemain: Denny Sumargo, Christine Hakim, Della Dartyan
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Anak muda itu masih berusia 25 tahun, dengan penampilan fisik kekar meski bertubuh pendek, dengan salah satu telinga yang tak bisa mendengar dengan baik, juga buta huruf dan dibesarkan oleh orang tua tunggal.
Dengan segala kelemahan itu, toh, Elly membalikkan segala yang orang harapkan padanya: bahwa ia tak akan hidup sebagai pecundang melainkan sebagai pemenang.
Kisah hidup Ellyas Pical yang dramatis dan bagaimana ia mengarungi hidup hanya berdua dengan ibunya, Mama Ana, memang telah menjadi salah satu kisah from zero to hero paling efektif, terutama bagi mereka yang menjalani masa kanak-kanak di sebuah kota kecilpada 1980-an seperti saya.
Kisah itu akhirnya diangkat menjadi salah satu serial terbaik yang pernah dibuat di negeri ini sebanyak 6 episode, dan ditayangkan di Prime Video.
Foto: Prime Video
Ellyas Pical dibuka dengan efektif dengan memperlihatkan kecantikan kota Saparua di pengujung timur Indonesia. Dengan laut dan langit biru, kita disedot masuk ke dalam sebuah kehidupan yang mungkin terasa jauh bagi sebagian orang, tapi terasa dekat bagi sebagiannya lagi, seperti saya yang juga merasakan kehidupan di kota kecil di tepi pantai di Polewali (Sulawesi Barat).
Herwin Novianto merebut hati penonton sejak awal dengan membiarkan seluruh dialog dituturkan dalam dialek Maluku yang lentur. Jarang sekali ada film/serial Indonesia yang merepresentasikan masyarakat Maluku dan Ellyas Pical menjadi perwakilan yang paling menarik.
Kita langsung berkenalan dengan Elly kecil (diperankan dengan menarik oleh Bimasena) yang sedang mencari ikan di laut. Dalam sebuah adegan dramatis, terjadi pemboman ikan dan Elly tak bisa menghindar karenanya. Telinganya tuli sebelah seketika dan akan terus menjadi identitasnya seterusnya.
Jika membaca kisah hidup Elly sebenarnya, kita tahu adegan dramatis ini direkayasa dan memang dibutuhkan oleh cerita agar kita bisa langsung bersimpati dengan Elly sejak awal. Pendekatan yang diambil penulis skenario Alim Sudio ini berhasil.
Di tangan Bimasena yang mencuri perhatian sejak film Waktu Maghrib, kita tahu bahwa ada sesuatu yang istimewa dari anak yang terbata-bata ketika disuruh membaca di depan kelas itu.
Foto: Prime Video
Dalam sebuah adegan yang sebenarnya juga klise, Elly diperlihatkan mencoba membantu seorang anak yang sedang dirundung oleh beberapa anak lainnya. Kita tahu adegan ini juga diperlukan untuk memperlihatkan bakat alamiah Elly dalam berkelahi.
Adegan klise ini juga efektif untuk terus membangun perspektif mengenai bagaimana Elly kelak puluhan tahun kemudian, setelah ia ikut menyaksikan pertandingan tinju di sebuah warung yang menyiarkan Muhammad Ali.
Yang menarik dari biopik ini adalah betapa leluasanya kreator diberi ruang untuk memperlihatkan bagaimana manusiawinya Ellyas Pical. Bandingkan dengan Susi Susanti: Love All yang terasa terlalu bersih dari skandal apa pun.
Ellyas Pical justru membiarkan kehidupan dirinya ditelanjangi secukupnya. Ketika ia sudah menjadi juara dunia dan bertaburan harta, Elly sempat merasakan ujian dari alkohol hingga perempuan dan membuatnya berpaling sejenak dari latihan tinju.
Namun yang membuat Ellyas Pical terasa dekat bagi siapa pun hingga hari ini adalah bagaimana kedekatannya dengan ibunya, Mama Ana, yang menjadi pilar utama hidupnya. Mama Ana adalah sebaik-baiknya seorang ibu buat anak semata wayang.
Seorang ibu yang dengan kasih sayangnya yang sering kali terasa berlebihan, justru tak menginginkan anaknya mengambil risiko apa pun.
Foto: Prime Video
Seorang ibu yang dengan keterbatasannya justru tak ingin anaknya lantas kelak hanya menjadi seorang pecundang seperti beberapa orang yang dikenalnya di kampungnya. Tapi ketika sang anak memperlihatkan kegigihan, semangat juang dan pantang menyerah, Mama Ana tahu apa yang harus ia lakukan.
Ia tak akan menjadi seorang ibu yang membunuh mimpi anaknya. Ia akan menjadi seorang ibu yang selalu setia menyaksikan pertandingan tinju anaknya, meski sering kali tak tahan melihat Elly dihajar habis-habisan hingga bonyok.
Ketika anaknya dirundung rasa kecewa mendalam, ia tahu ke mana tempatnya berpaling: kembali kepada Tuhan. Dalam segala kesempatan, baik ketika ia sedang senang maupun ketika bersedih, Mama Ana tak pernah berhenti berdoa.
Herwin Novianto sukses mengawinkan dua penampilan paling cemerlang dalam serial Indonesia yang pernah dibuat, Denny Sumargo sebagai Ellyas Pical dan Christine Hakim sebagai Mama Ana. Denny yang berasal dari Makassar sekilas sama sekali tak mirip dengan Ellyas Pical asli, tapi percayalah seiring episode demi episode kita tahu Denny sukses meniupkan ruh Elly ke dalam dirinya.
Christine Hakim menjadi semacam pelecut semangat bagi Denny untuk tampil dalam puncak penampilan aktingnya sepanjang karirenya. Reaksi kimiawi keduanya menjadikan serial ini tak saja penting ditonton sebagai cara merawat ingatan dari masa lalu, tapi juga belajar dari bagaimana generasi terdahulu membanggakan negeri ini dengan cara yang tak mudah.
Kita tahu bagaimana akhirnya Mama Ana sukses mencetak seorang juara, tak hanya di ring tinju, juga dalam hidup, dengan mendengar seutas kalimat dari Ellyas Pical. “Juara yang sesungguhnya tidak pernah keluar dari pertandingan dan tidak pernah mengeluh dalam berproses.”
Ellyas Pical
Produser: Frederica
Penulis Skenario: Alim Sudio
Sutradara: Herwin Novianto
Pemain: Denny Sumargo, Christine Hakim, Della Dartyan
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)