CERMIN: Gaspar, 34 Tahun, Jantung di Sebelah Kanan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1998. Novelis asal Chili, Roberto Bolano, merilis karyanya berjudul The Savage Detectives. Karya ini membuat namanya harum, beroleh beberapa penghargaan prestisius dan kelak diadaptasi strukturnya oleh novelis Indonesia, Sabda Armandio.
The Savage Detectives dinarasikan sebagai orang pertama oleh beberapa narator dan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, "Orang Meksiko Hilang di Meksiko", berlatar akhir tahun 1975, diceritakan oleh calon penyair berusia 17 tahun, Juan García Madero.
Semesta ceritanya berpusat pada masuknya ia ke dalam sekelompok penyair keliling yang menyebut diri mereka sebagai Realis Visceral. Ia keluar dari universitas dan berkeliling Mexico City, menjadi semakin terlibat dengan penganut Realisme Visceral, meskipun ia masih ragu tentang Visceral Rea.
Dalam sebuah diskusi buku 24 Jam Bersama Gaspar di salah satu kafe di Bandung pada 2018, Sabda mengaku bahwa novel yang ditulisnya itu mengadaptasi struktur bercerita The Savage Detectives, juga karya Roberto lainnya, By Night in Chile. Dalam diskusi yang sama, Sabda juga mengemukakan pernyataan mengejutkan.
Ia mengatakan bahwa dalam menulis novel, ia lebih mengutamakan gaya dibanding substansi. Jadi wajar jika banyak sekali yang ingin dicapai dalam novelnya (dan dianggap berhasil), dan akhirnya memang tereduksi besar-besaran ketika diadaptasi menjadi film oleh Yosep Anggi Noen.
Foto: Netflix
Scott Frank, salah satu script doctor paling terkenal Hollywood hingga saat ini, menuturkan salah satu hal yang penting untuk dicatat terkait dengan adaptasi. Hal tersebut dikemukakannya dalam sebuah artikel panjang di The New Yorker yang terbit pada Desember 2023.
“Faithful adaptations usually make terrible films,” ujarnya. Adaptasi setia selalu berujung pada film berkualitas buruk. Oleh karena itulah, menerjemahkan perjalanan seorang detektif berusia 34 tahun dengan jantung di sebelah kanan pada 24 jam terakhir hidupnya, berkelindan dengan humor-humor pekat, semesta cerita yang terlalu lebar, dan dialog-dialog filosofis yang memang mengagumkan ketika dibaca, menjadi sebuah tantangan yang luar biasa.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah film24 Jam Bersama Gaspar adalah sebuah adaptasi yang buruk?
Namun sebelumnya mari berkenalan terlebih dahulu dengan Gaspar. Ia bertubuh tegap, berambut cepak, menganggap dirinya sebagai detektif (meskipun hingga akhir film kita tak pernah tahu kasus-kasus apa saja yang pernah dikerjakannya), dan terlahir dengan kelainan jantung bawaan.
Foto: Netflix
Dalam sebuah insiden yang membuatnya kolaps, dokter yang merawatnya memberitahu sebuah fakta mengejutkan ketika ia siuman: ia hanya punya sisa waktu 24 jam untuk hidup. Lalu tiba-tiba kita melihat Gaspar punya tujuan hidup yang tegas, bukan satu tapi malah dua tujuan: mengambil kotak hitam misterius dan membalaskan dendam atas kehilangan sahabat masa kecilnya, Kirana.
Ketika melakukan adaptasi, aturan tak tertulis yang penting sekali dipahami oleh pembuat film adalah tak semua penonton membaca materi aslinya terlebih dahulu. Jadinya mereka yang tak membaca novelnya kebingungan dalam gelap dalam sekitar 10-15 menit awal durasi filmnya yang berjalan sangat lamban.
Tak ada set up bagaimana dunia di sekitar Gaspar bekerja, tahu-tahu satu demi satu karakter diperkenalkan. Tahu-tahu entah dengan kekuatan apa Gaspar bisa mengumpulkan sekelompok orang untuk berjuang bersamanya.
Jika novelnya bekerja dalam dua alur paralel, filmnya pun mencoba melakukan hal yang sama yang sesungguhnya tak terlalu efektif, alih-alih malah sering kali menjadi distraksi. Novel tak bekerja sebagaimana film.
Foto: Netflix
Novel bekerja dalam dunia tutur, film bekerja dalam semesta visual. Sebagian besar cerita dalam film 24 Jam Bersama Gaspar dituturkan oleh karakter-karakternya, bukannya diperlihatkan dengan gamblang kepada penonton. Meski dialog-dialog filosofis dalam novel itu mengagumkan ketika dibaca, tapi jadi terdengar sia-sia jika tak dirakit dalam konteks yang tepat dalam adegan film.
Yang mungkin bisa dijawab dalam novel tapi tak terjawab dalam film adalah apa kepentingan/motivasi orang-orang yang membantu Gaspar mewujudkan keinginan terakhirnya? Mengapa perlu orang sebanyak itu dengan sama sekali tak ada keterampilan teknis yang spesifik untuk membantu Gaspar?
Elmore Leonard yang menulis novel terkenalGet Shortypernah menerbitkan daftar sepuluh “aturan penulisan” yang mencakup “Hindari deskripsi karakter secara mendetail” dan “Jangan menjelaskan tempat dan benda secara terlalu detail”. Karenanya novel-novelnya ramping dan bertempo baik seperti skenario yang bagus.
Sayangnya memang novel 24 Jam Bersama Gaspar tak dirakit seperti itu sehingga membutuhkan nyali besar untuk membongkar semesta cerita dan karakter-karakternya terlebih dahulu, lalu menyusunnya ulang untuk kepentingan sebuah skenario yang solid.
Namun 24 Jam Bersama Gaspar juga bisa menjadi film yang menyenangkan karena beberapa alasan di luar substansi ceritanya. Bahwa paling tidak ia memberi penghormatan kepada dua penulis besar dari dua dunia berbeda: Sir Arthur Conan Doyle dan Abdullah Harahap. Nama yang disebut terakhir bahkan tak cukup diapresiasi dengan karya-karyanya yang menarik dan sungguh filmis.
24 Jam Bersama Gaspar
Produser: Yulia Evina Bhara, Cristian Imanuell
Sutradara: Yosep Anggi Noen
Penulis Skenario: Mohammad Irfan Ramly
Pemain: Reza Rahadian, Shenina Cinnamon, Laura Basuki
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
The Savage Detectives dinarasikan sebagai orang pertama oleh beberapa narator dan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, "Orang Meksiko Hilang di Meksiko", berlatar akhir tahun 1975, diceritakan oleh calon penyair berusia 17 tahun, Juan García Madero.
Semesta ceritanya berpusat pada masuknya ia ke dalam sekelompok penyair keliling yang menyebut diri mereka sebagai Realis Visceral. Ia keluar dari universitas dan berkeliling Mexico City, menjadi semakin terlibat dengan penganut Realisme Visceral, meskipun ia masih ragu tentang Visceral Rea.
Dalam sebuah diskusi buku 24 Jam Bersama Gaspar di salah satu kafe di Bandung pada 2018, Sabda mengaku bahwa novel yang ditulisnya itu mengadaptasi struktur bercerita The Savage Detectives, juga karya Roberto lainnya, By Night in Chile. Dalam diskusi yang sama, Sabda juga mengemukakan pernyataan mengejutkan.
Ia mengatakan bahwa dalam menulis novel, ia lebih mengutamakan gaya dibanding substansi. Jadi wajar jika banyak sekali yang ingin dicapai dalam novelnya (dan dianggap berhasil), dan akhirnya memang tereduksi besar-besaran ketika diadaptasi menjadi film oleh Yosep Anggi Noen.
Foto: Netflix
Scott Frank, salah satu script doctor paling terkenal Hollywood hingga saat ini, menuturkan salah satu hal yang penting untuk dicatat terkait dengan adaptasi. Hal tersebut dikemukakannya dalam sebuah artikel panjang di The New Yorker yang terbit pada Desember 2023.
“Faithful adaptations usually make terrible films,” ujarnya. Adaptasi setia selalu berujung pada film berkualitas buruk. Oleh karena itulah, menerjemahkan perjalanan seorang detektif berusia 34 tahun dengan jantung di sebelah kanan pada 24 jam terakhir hidupnya, berkelindan dengan humor-humor pekat, semesta cerita yang terlalu lebar, dan dialog-dialog filosofis yang memang mengagumkan ketika dibaca, menjadi sebuah tantangan yang luar biasa.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah film24 Jam Bersama Gaspar adalah sebuah adaptasi yang buruk?
Namun sebelumnya mari berkenalan terlebih dahulu dengan Gaspar. Ia bertubuh tegap, berambut cepak, menganggap dirinya sebagai detektif (meskipun hingga akhir film kita tak pernah tahu kasus-kasus apa saja yang pernah dikerjakannya), dan terlahir dengan kelainan jantung bawaan.
Foto: Netflix
Dalam sebuah insiden yang membuatnya kolaps, dokter yang merawatnya memberitahu sebuah fakta mengejutkan ketika ia siuman: ia hanya punya sisa waktu 24 jam untuk hidup. Lalu tiba-tiba kita melihat Gaspar punya tujuan hidup yang tegas, bukan satu tapi malah dua tujuan: mengambil kotak hitam misterius dan membalaskan dendam atas kehilangan sahabat masa kecilnya, Kirana.
Ketika melakukan adaptasi, aturan tak tertulis yang penting sekali dipahami oleh pembuat film adalah tak semua penonton membaca materi aslinya terlebih dahulu. Jadinya mereka yang tak membaca novelnya kebingungan dalam gelap dalam sekitar 10-15 menit awal durasi filmnya yang berjalan sangat lamban.
Tak ada set up bagaimana dunia di sekitar Gaspar bekerja, tahu-tahu satu demi satu karakter diperkenalkan. Tahu-tahu entah dengan kekuatan apa Gaspar bisa mengumpulkan sekelompok orang untuk berjuang bersamanya.
Jika novelnya bekerja dalam dua alur paralel, filmnya pun mencoba melakukan hal yang sama yang sesungguhnya tak terlalu efektif, alih-alih malah sering kali menjadi distraksi. Novel tak bekerja sebagaimana film.
Foto: Netflix
Novel bekerja dalam dunia tutur, film bekerja dalam semesta visual. Sebagian besar cerita dalam film 24 Jam Bersama Gaspar dituturkan oleh karakter-karakternya, bukannya diperlihatkan dengan gamblang kepada penonton. Meski dialog-dialog filosofis dalam novel itu mengagumkan ketika dibaca, tapi jadi terdengar sia-sia jika tak dirakit dalam konteks yang tepat dalam adegan film.
Yang mungkin bisa dijawab dalam novel tapi tak terjawab dalam film adalah apa kepentingan/motivasi orang-orang yang membantu Gaspar mewujudkan keinginan terakhirnya? Mengapa perlu orang sebanyak itu dengan sama sekali tak ada keterampilan teknis yang spesifik untuk membantu Gaspar?
Elmore Leonard yang menulis novel terkenalGet Shortypernah menerbitkan daftar sepuluh “aturan penulisan” yang mencakup “Hindari deskripsi karakter secara mendetail” dan “Jangan menjelaskan tempat dan benda secara terlalu detail”. Karenanya novel-novelnya ramping dan bertempo baik seperti skenario yang bagus.
Sayangnya memang novel 24 Jam Bersama Gaspar tak dirakit seperti itu sehingga membutuhkan nyali besar untuk membongkar semesta cerita dan karakter-karakternya terlebih dahulu, lalu menyusunnya ulang untuk kepentingan sebuah skenario yang solid.
Namun 24 Jam Bersama Gaspar juga bisa menjadi film yang menyenangkan karena beberapa alasan di luar substansi ceritanya. Bahwa paling tidak ia memberi penghormatan kepada dua penulis besar dari dua dunia berbeda: Sir Arthur Conan Doyle dan Abdullah Harahap. Nama yang disebut terakhir bahkan tak cukup diapresiasi dengan karya-karyanya yang menarik dan sungguh filmis.
24 Jam Bersama Gaspar
Produser: Yulia Evina Bhara, Cristian Imanuell
Sutradara: Yosep Anggi Noen
Penulis Skenario: Mohammad Irfan Ramly
Pemain: Reza Rahadian, Shenina Cinnamon, Laura Basuki
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)