Review Film Miller's Girl: Cinta Tabu Guru-Murid yang Nanggung
loading...
A
A
A
JAKARTA - Miller's Girl mengajukan premis cerita yang sensitif, meski bukan hal baru dalam industri perfilman , yaitu kisah cinta antara guru berusia paruh baya dengan muridnya yang masih belasan tahun.
Di Barat, pencinta film pernah disajikan Lolita yang dirilis pada 1962, lalu dibuat ulang pada 1997. Film tentang seorang dosen literatur yang terpikat remaja berusia 14 tahun ini diadaptasi dari novel karya Vladimir Nabokov.
Di Korea, ada Muse atau Eungyo yang dirilis pada 2012. Dibintangi Kim Go-eun sebagai anak SMA, ia menjalin hubungan dengan penyair berusia 70-an tahun.
Kedua film ini direspons dengan pro dan kontra oleh penonton. Namun secara umum, kritikus memuji jalan cerita serta akting para pemainnya.
Hal yang agak mirip terjadi pada Miller's Girl, dalam hal ini tentang permainan akting dua karakter utamanya, yaitu Martin Freeman dan Jenna Ortega. Namun tidak begitu dengan alur ceritanya.
Foto: Lionsgate Films
Jonathan Miller adalah penulis yang karyanya dikritik, dan sejak itu belum menulis buku lagi. Ia lalu beralih pekerjaan menjadi guru di wilayah pedesaan terpencil di Tennessee.
Salah satu muridnya dalam tahun ajaran baru adalah Cairo Sweet (Jenna Ortega). Ia hidup sendirian di sebuah 'istana' megah karena orang tuanya adalah pengacara yang sibuk menemui klien dari seluruh dunia.
Sejak pertemuan pertama, Jonathan sudah tertarik dengan Cairo karena ia membaca buku-buku yang tak lazim bagi remaja seusianya. Ditambah lagi, Cairo juga membaca buku karya Jonathan, bahkan memujinya. Tentu saja, ini membuat harga diri Jonathan yang rapuh terdongkrak.
Dari sini, hubungan keduanya makin lama makin intens, dan terjadilah sesuatu yang sangat diinginkan oleh Cairo dan Jonathan, tapi mati-matian berusaha dihindari olehsang guru.
Sejak layar dibuka, penonton sudah dibuat terpikat oleh karakter Cairo Sweet. Selain namanya yang penuh daya pikat, Cairo juga digambarkan sebagai gadis cerdas yang misterius. Ia adalah 'It Girl" yang tersembunyi di tengah muramnya hutan di Tennessee.
Foto: Lionsgate Films
Meski begitu, ia masih sangat naif untuk urusan asmara dan eksplorasi sisi seksualitasnya. Satu-satunya ilmu dalam bidang ini iaperoleh hanya dari membaca novel-novel erotis.
Ini kebalikan dari sahabatnya yang 'liar', Winnie (Gideon Adlon). Dari desakan Winnie pula, Cairo akhirnya terpikir untuksecara aktif menggoda Jonathan dan membuatnya jatuh ke pelukannya.
Meski berbeda usia 31 tahun, tapi chemistry antara Ortega dan Freeman sangatlah meyakinkan. Ini membuat Miller's Girl menjadi sebuah tontonan yang menghibur dan seksi tanpa mengandalkan adegan erotis.
Hanya dari obrolan Jonathan dan Cairo, ekpresi wajah, gerak tubuh, hingga tatapan mata saja, penonton bisa melihat betapa luapan ketertarikan di antara keduanya hanya menunggu waktu saja untuk jebol. Freeman yang sudah menjajal beragam peran mulai dari hobbit hingga dokter yang kaku, mampu menghilangkan seluruh karakter yang pernah dimainkannya itu, dan mewujud menjadi guru yang punya daya tarik seksual.
Foto: Lionsgate Films
Hingga jelang akhir cerita, Miller's Girl masih mengasyikkan untuk ditonton. Apalagi saat momen thriller datang, dan perlahan demi perlahan terkuak juga hubungan asli Jonathan dengan istrinya yang bekerja di penerbitan, Beatrice (Dagmara Dominczyk).
Ditambah lagi, penonton juga disajikan bentuk lain dari hubungan tabu antara pria tua dengan gadis muda, seperti yang ditunjukkan oleh Winnie dengan pelatih pujaannya, Boris (Bashir Salahuddin). Jika Jonathan adalah pria yang bergerak dengan hati dan emosinya, Boris justru memilih rasional dengan segala tindakannya.
Dengan segala kelebihan ini, sayangnya kejatuhanMiller's Girl justru terjadi tepat pada akhir ceritanya. Ini bukan sekadar pilihan membuat ceritanya menjadi open ending, tapi Miller's Girl ibarat daging yang disajikan setengah matang.
Penonton ibarat ditinggal sendirian di puncak klimaks cerita, dan diminta untuk menyelesaikan kisah film ini dengan interpretasi seluas-luasnya. Sungguh sebuah 93 menit yang membingungkan dan menyebalkan.
Di Barat, pencinta film pernah disajikan Lolita yang dirilis pada 1962, lalu dibuat ulang pada 1997. Film tentang seorang dosen literatur yang terpikat remaja berusia 14 tahun ini diadaptasi dari novel karya Vladimir Nabokov.
Di Korea, ada Muse atau Eungyo yang dirilis pada 2012. Dibintangi Kim Go-eun sebagai anak SMA, ia menjalin hubungan dengan penyair berusia 70-an tahun.
Kedua film ini direspons dengan pro dan kontra oleh penonton. Namun secara umum, kritikus memuji jalan cerita serta akting para pemainnya.
Hal yang agak mirip terjadi pada Miller's Girl, dalam hal ini tentang permainan akting dua karakter utamanya, yaitu Martin Freeman dan Jenna Ortega. Namun tidak begitu dengan alur ceritanya.
Foto: Lionsgate Films
Jonathan Miller adalah penulis yang karyanya dikritik, dan sejak itu belum menulis buku lagi. Ia lalu beralih pekerjaan menjadi guru di wilayah pedesaan terpencil di Tennessee.
Salah satu muridnya dalam tahun ajaran baru adalah Cairo Sweet (Jenna Ortega). Ia hidup sendirian di sebuah 'istana' megah karena orang tuanya adalah pengacara yang sibuk menemui klien dari seluruh dunia.
Sejak pertemuan pertama, Jonathan sudah tertarik dengan Cairo karena ia membaca buku-buku yang tak lazim bagi remaja seusianya. Ditambah lagi, Cairo juga membaca buku karya Jonathan, bahkan memujinya. Tentu saja, ini membuat harga diri Jonathan yang rapuh terdongkrak.
Dari sini, hubungan keduanya makin lama makin intens, dan terjadilah sesuatu yang sangat diinginkan oleh Cairo dan Jonathan, tapi mati-matian berusaha dihindari olehsang guru.
Sejak layar dibuka, penonton sudah dibuat terpikat oleh karakter Cairo Sweet. Selain namanya yang penuh daya pikat, Cairo juga digambarkan sebagai gadis cerdas yang misterius. Ia adalah 'It Girl" yang tersembunyi di tengah muramnya hutan di Tennessee.
Foto: Lionsgate Films
Meski begitu, ia masih sangat naif untuk urusan asmara dan eksplorasi sisi seksualitasnya. Satu-satunya ilmu dalam bidang ini iaperoleh hanya dari membaca novel-novel erotis.
Ini kebalikan dari sahabatnya yang 'liar', Winnie (Gideon Adlon). Dari desakan Winnie pula, Cairo akhirnya terpikir untuksecara aktif menggoda Jonathan dan membuatnya jatuh ke pelukannya.
Meski berbeda usia 31 tahun, tapi chemistry antara Ortega dan Freeman sangatlah meyakinkan. Ini membuat Miller's Girl menjadi sebuah tontonan yang menghibur dan seksi tanpa mengandalkan adegan erotis.
Hanya dari obrolan Jonathan dan Cairo, ekpresi wajah, gerak tubuh, hingga tatapan mata saja, penonton bisa melihat betapa luapan ketertarikan di antara keduanya hanya menunggu waktu saja untuk jebol. Freeman yang sudah menjajal beragam peran mulai dari hobbit hingga dokter yang kaku, mampu menghilangkan seluruh karakter yang pernah dimainkannya itu, dan mewujud menjadi guru yang punya daya tarik seksual.
Foto: Lionsgate Films
Hingga jelang akhir cerita, Miller's Girl masih mengasyikkan untuk ditonton. Apalagi saat momen thriller datang, dan perlahan demi perlahan terkuak juga hubungan asli Jonathan dengan istrinya yang bekerja di penerbitan, Beatrice (Dagmara Dominczyk).
Ditambah lagi, penonton juga disajikan bentuk lain dari hubungan tabu antara pria tua dengan gadis muda, seperti yang ditunjukkan oleh Winnie dengan pelatih pujaannya, Boris (Bashir Salahuddin). Jika Jonathan adalah pria yang bergerak dengan hati dan emosinya, Boris justru memilih rasional dengan segala tindakannya.
Baca Juga
Dengan segala kelebihan ini, sayangnya kejatuhanMiller's Girl justru terjadi tepat pada akhir ceritanya. Ini bukan sekadar pilihan membuat ceritanya menjadi open ending, tapi Miller's Girl ibarat daging yang disajikan setengah matang.
Penonton ibarat ditinggal sendirian di puncak klimaks cerita, dan diminta untuk menyelesaikan kisah film ini dengan interpretasi seluas-luasnya. Sungguh sebuah 93 menit yang membingungkan dan menyebalkan.
(ita)