Review Film Joni Sok Jagoan: Kala Sesaat Jadi Polisi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seorang anak SMA (diperankan Ahmad Hari Kurniawan), sebutlah namanya Joni (karena sepanjang lima menitan film tak disebut ia bernama Joni), pipis di sebuah pohon pinggir jalan.
Lalu, polisi menghardiknya. Petugas polantas itu (Adhita Oktovandanu) mengatakan ia melanggar lalu lintas.
Karena pipis di pinggir jalan? Bukan. Melainkan karena parkir motor sembarangan, padahal ada rambu larangan berhenti. Sejurus kemudian kita menyaksikan pertukaran dialog antara Joni dan sang polantas.
Dialognya hendak menggambarkan apa yang kita rasakan bila ditilang polisi. Yakni, kerja polisi sepertinya cuma menilang orang di jalanan. Kita jarang melihat polisi memberantas kejahatan.
Kita masih kerap melihat berbagai tindak kejahatan di berita TV atau media online. Pembunuhan, perampokan rumah, hingga pencurian motor masih sering kita jumpai di sana-sini. Bila polisi kerjanya cuma menilang pengendara motor atau mobil, wajar saja bila kejahatan tak kunjung bisa diberantas.
Foto: Vidio
Dengan kalem - yang buat saya rasanya agak ajaib ada polisi menjawab dengan kalem saat ada yang menyindir menilang cuma untuk cari duit dan mempertanyakan pekerjaannya - si petugas menjawab pekerjaan polisi banyak. "Jadi jangan sembarangan komentar," tutup si petugas.
Dibalas Joni, "Oh, gitu. Oke deh, Pak. Saya berdoa sama Allah supaya jadi polisi, biar bisa komentari kerjaan Bapak." Joni mengatakannya sambil menunjuk dada si polisi.
Sejurus kemudian, keajaiban terjadi.
Joni dan si polantas berganti peran. Baju mereka tertukar. Joni jadi polisi, si polantas jadi anak SMA. Kemudian dari kejauhan terdengar seorang perempuan minta tolong. Tasnya berisi sepatu hak dijambret preman.
Joni yang kini jadi polisi dengan sangat terpaksa dan teramat ketakutan mengejar pelaku penjambretan.
Film ini punya pesan mulia untuk tidak menyepelekan tugas polisi. Menilang bagian tugas polisi, begitu juga menangkap penjahat. Setelah jadi bulan-bulanan preman yang ia buru, Joni sadar jadi polisi tak gampang. Ia kapok dan berhenti meremehkan polisi.
Foto: Vidio
Film pendek Joni Sok Jagoan (2016) yang bisa disaksikan di Vidio disutradarai sekaligus ditulis skenarionya oleh Mustafa. Sebagai sebuah sketsa pendek komedi, karya ini berhasil.
Filmnya menghibur, cukup membuat tersenyum. Apa yang ingin disampaikan juga kena ke penonton tanpa perlu berumit-rumit.
Penonton tak perlu penjelasan macam-macam mengapa para tokoh dalam film ini saling berganti peran bila seragam polisi ditunjuk jari. Biarlah penonton menebak sendiri, karena bukan itu poinnya.
Filmnya juga berhasil dengan baik menjelaskan tugas polisi, maupun mengangkat derajat korps kepolisian tanpa perlu bertutur dengan gaya formal. Gaya model komikal begini malah lebih efektif. Lembaga Kepolisian Republik Indonesia pasti menyukai film ini.
Ade Irwansyah
Pengamat film. Unggulan lomba artikel dan kritik film Kemendikbud (2018). Menulis buku Seandainya Saya Kritikus Film (Homerian Pustaka, 2009)
Lalu, polisi menghardiknya. Petugas polantas itu (Adhita Oktovandanu) mengatakan ia melanggar lalu lintas.
Karena pipis di pinggir jalan? Bukan. Melainkan karena parkir motor sembarangan, padahal ada rambu larangan berhenti. Sejurus kemudian kita menyaksikan pertukaran dialog antara Joni dan sang polantas.
Dialognya hendak menggambarkan apa yang kita rasakan bila ditilang polisi. Yakni, kerja polisi sepertinya cuma menilang orang di jalanan. Kita jarang melihat polisi memberantas kejahatan.
Kita masih kerap melihat berbagai tindak kejahatan di berita TV atau media online. Pembunuhan, perampokan rumah, hingga pencurian motor masih sering kita jumpai di sana-sini. Bila polisi kerjanya cuma menilang pengendara motor atau mobil, wajar saja bila kejahatan tak kunjung bisa diberantas.
Foto: Vidio
Dengan kalem - yang buat saya rasanya agak ajaib ada polisi menjawab dengan kalem saat ada yang menyindir menilang cuma untuk cari duit dan mempertanyakan pekerjaannya - si petugas menjawab pekerjaan polisi banyak. "Jadi jangan sembarangan komentar," tutup si petugas.
Dibalas Joni, "Oh, gitu. Oke deh, Pak. Saya berdoa sama Allah supaya jadi polisi, biar bisa komentari kerjaan Bapak." Joni mengatakannya sambil menunjuk dada si polisi.
Sejurus kemudian, keajaiban terjadi.
Joni dan si polantas berganti peran. Baju mereka tertukar. Joni jadi polisi, si polantas jadi anak SMA. Kemudian dari kejauhan terdengar seorang perempuan minta tolong. Tasnya berisi sepatu hak dijambret preman.
Joni yang kini jadi polisi dengan sangat terpaksa dan teramat ketakutan mengejar pelaku penjambretan.
Film ini punya pesan mulia untuk tidak menyepelekan tugas polisi. Menilang bagian tugas polisi, begitu juga menangkap penjahat. Setelah jadi bulan-bulanan preman yang ia buru, Joni sadar jadi polisi tak gampang. Ia kapok dan berhenti meremehkan polisi.
Foto: Vidio
Film pendek Joni Sok Jagoan (2016) yang bisa disaksikan di Vidio disutradarai sekaligus ditulis skenarionya oleh Mustafa. Sebagai sebuah sketsa pendek komedi, karya ini berhasil.
Filmnya menghibur, cukup membuat tersenyum. Apa yang ingin disampaikan juga kena ke penonton tanpa perlu berumit-rumit.
Penonton tak perlu penjelasan macam-macam mengapa para tokoh dalam film ini saling berganti peran bila seragam polisi ditunjuk jari. Biarlah penonton menebak sendiri, karena bukan itu poinnya.
Filmnya juga berhasil dengan baik menjelaskan tugas polisi, maupun mengangkat derajat korps kepolisian tanpa perlu bertutur dengan gaya formal. Gaya model komikal begini malah lebih efektif. Lembaga Kepolisian Republik Indonesia pasti menyukai film ini.
Ade Irwansyah
Pengamat film. Unggulan lomba artikel dan kritik film Kemendikbud (2018). Menulis buku Seandainya Saya Kritikus Film (Homerian Pustaka, 2009)
(ita)