CERMIN: Hubungan Cinta-Benci Bob Marley dengan Tanah Tumpah Darahnya, Jamaika
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2019. Dalam sebuah tulisan di kolom mingguannya yang terkenal di majalah Tempo, Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad menulis makna “tanah tumpah darah” dengan menarik.
Goenawan menyebut kata “tanah tumpah darah” itu dramatis, menyentuh, dan menambat hati. Seakan-akan ada tali pusar yang suci yang mempertautkan manusia dan tanah ini – dan melepaskan diri adalah sebuah dosa.
Bagi Bob Marley, Jamaika adalah tanah tumpah darahnya. Lahir di sebuah wilayah bernama Nine Mile pada 1945, Bob juga menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana. Ia mencintainya sepenuh hati tapi pada saat bersamaan juga pernah membencinya sekuat tenaga.
Ia tak membenci tanah tumpah darahnya sesungguhnya, tapi ia membenci mereka yang hendak menguasainya dan akhirnya menghalalkan kekerasan sebagai jalan menuju puncak kekuasaan. Perang saudara pun berkobar dan membelah Jamaika menjadi berkeping-keping.
Dalam salah satu adegan film Bob Marley: One Love, pesan Bob sungguh jelas dan lantang: perang tengah terjadi. Kita tak bisa memisahkan musik dari pesannya. Dan pesannya adalah tentang perdamaian.
Foto: Paramount Pictures
Oleh karena itulah lagu-lagu yang lantas keluar dari kerongkongan Bob sekuat lagu-lagu yang pernah ditampilkan The Beatles. Pesan-pesan perdamaian itu terus disampaikannya dalam lagu demi lagu hingga Bob menyadari suatu hal. Bagaimana mungkin saya bisa terus menyebarkan pesan damai jika saya tak bisa berdamai dengan diri saya sendiri?
Bob Marley: One Love memulai ceritanya dari sebuah keinginan sederhana Bob, yaitu ingin membuat konser perdamaian. Ia sudah gerah dengan perang yang tak henti dan terus menelan korban.
Tapi niat baik tentu saja tak selalu disambut baik. Niat ingin menggelar konser perdamaian di tanah tumpah darahnya berbuah berondongan peluru di sebuah malam yang hampir saja menewaskan Bob, juga istrinya, Rita.
Bob pun patah hati. Dan memilih meninggalkan segala kenangan yang tertinggal di sana. Ia memilih mengepakkan sayap di negeri orang dan terus menyebarkan pesan damai via musiknya. Dari Eropa ia menjelajahi Amerika dan menghasilkan salah satu album musik terbaik yang pernah dibuat berjudul Exodus.
Namun sampai kapan Bob bisa membenci tanah tumpah darahnya? Tempat ia terlahir dalam keadaan berdarah dari rahim seorang ibu? Tempat ia juga hampir kehabisan darah dan meregang nyawa?
Foto: Paramount Pictures
Jadilah Bob Marley: One Love juga bercerita soal pulang yang tak lagi sederhana. Juga tentang sebuah upaya berdamai dengan diri sendiri yang melalui lika-liku nan terjal.
Meski dirakit dari skenario kedodoran yang bisa saja dipotong 1/5 bagian awalnya sehingga menghasilkan jahitan film yang lebih rapi dan efisien, Bob Marley: One Love masih menyalakan perasaan nostalgia akan sebuah masa yang menginginkan perdamaian.
Di tengah dunia yang bising saat ini, dengan jutaan orang yang berebut perhatian dengan segala di media sosial termasuk menormalisasi pertengkaran, maka pesan-pesan dari lagu-lagu Bob masih terdengar nyaring. Duet Kingsley Ben-Adir dan Lashana Lynch sebagai pasangan muda, Bob dan Rita, menyalakan 107 menit durasi filmnya. Ini membuat pesan perdamaian tetap terasa relevan puluhan tahun setelah Bob memperkenalkan lagu-lagunya ke seluruh dunia.
Skenario memang memberi ruang untuk membongkar masa kecil Bob. Ia bergulat dengan mimpi-mimpi buruknya dan berjuang dengan musiknya mewujudkan dunia yang ideal, sehingga kita mengenal Bob lebih dari sekadar musisi reggae, penganut Rastafari dan menggilai ganja lebih dari siapa pun.
Namun skenario memang harus memilih di tengah durasi sempit antara memberi ruang lebih bagi karakter Bob untuk bertumbuh, atau memberi jalan bagi generasi masa kini mengenali bagaimana proses lagu-lagunya tercipta. Meski belum sesolid Bohemian Rhapsody, paling tidak Bob Marley: One Love unggul dengan pesannya yang tunggal dan solid.
Foto: Paramount Pictures
Sebagian dari kita pun baru tahu dari film ini bahwa Bob meninggal dalam usia yang belum lagi menginjak 40 tahun karena kanker. Tuhan mungkin memang lebih menyayangi orang-orang baik seperti Bob, dan tak membiarkan mereka didera kenyataan-kenyataan hidup tentang bagaimana dunia berputar kelak yang mungkin akan mengecewakan manusia-manusia idealis seperti dirinya.
Goenawan menyebut kata “tanah tumpah darah” itu dramatis, menyentuh, dan menambat hati. Seakan-akan ada tali pusar yang suci yang mempertautkan manusia dan tanah ini – dan melepaskan diri adalah sebuah dosa.
Bagi Bob Marley, Jamaika adalah tanah tumpah darahnya. Lahir di sebuah wilayah bernama Nine Mile pada 1945, Bob juga menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana. Ia mencintainya sepenuh hati tapi pada saat bersamaan juga pernah membencinya sekuat tenaga.
Ia tak membenci tanah tumpah darahnya sesungguhnya, tapi ia membenci mereka yang hendak menguasainya dan akhirnya menghalalkan kekerasan sebagai jalan menuju puncak kekuasaan. Perang saudara pun berkobar dan membelah Jamaika menjadi berkeping-keping.
Dalam salah satu adegan film Bob Marley: One Love, pesan Bob sungguh jelas dan lantang: perang tengah terjadi. Kita tak bisa memisahkan musik dari pesannya. Dan pesannya adalah tentang perdamaian.
Foto: Paramount Pictures
Oleh karena itulah lagu-lagu yang lantas keluar dari kerongkongan Bob sekuat lagu-lagu yang pernah ditampilkan The Beatles. Pesan-pesan perdamaian itu terus disampaikannya dalam lagu demi lagu hingga Bob menyadari suatu hal. Bagaimana mungkin saya bisa terus menyebarkan pesan damai jika saya tak bisa berdamai dengan diri saya sendiri?
Bob Marley: One Love memulai ceritanya dari sebuah keinginan sederhana Bob, yaitu ingin membuat konser perdamaian. Ia sudah gerah dengan perang yang tak henti dan terus menelan korban.
Tapi niat baik tentu saja tak selalu disambut baik. Niat ingin menggelar konser perdamaian di tanah tumpah darahnya berbuah berondongan peluru di sebuah malam yang hampir saja menewaskan Bob, juga istrinya, Rita.
Bob pun patah hati. Dan memilih meninggalkan segala kenangan yang tertinggal di sana. Ia memilih mengepakkan sayap di negeri orang dan terus menyebarkan pesan damai via musiknya. Dari Eropa ia menjelajahi Amerika dan menghasilkan salah satu album musik terbaik yang pernah dibuat berjudul Exodus.
Namun sampai kapan Bob bisa membenci tanah tumpah darahnya? Tempat ia terlahir dalam keadaan berdarah dari rahim seorang ibu? Tempat ia juga hampir kehabisan darah dan meregang nyawa?
Foto: Paramount Pictures
Jadilah Bob Marley: One Love juga bercerita soal pulang yang tak lagi sederhana. Juga tentang sebuah upaya berdamai dengan diri sendiri yang melalui lika-liku nan terjal.
Meski dirakit dari skenario kedodoran yang bisa saja dipotong 1/5 bagian awalnya sehingga menghasilkan jahitan film yang lebih rapi dan efisien, Bob Marley: One Love masih menyalakan perasaan nostalgia akan sebuah masa yang menginginkan perdamaian.
Di tengah dunia yang bising saat ini, dengan jutaan orang yang berebut perhatian dengan segala di media sosial termasuk menormalisasi pertengkaran, maka pesan-pesan dari lagu-lagu Bob masih terdengar nyaring. Duet Kingsley Ben-Adir dan Lashana Lynch sebagai pasangan muda, Bob dan Rita, menyalakan 107 menit durasi filmnya. Ini membuat pesan perdamaian tetap terasa relevan puluhan tahun setelah Bob memperkenalkan lagu-lagunya ke seluruh dunia.
Skenario memang memberi ruang untuk membongkar masa kecil Bob. Ia bergulat dengan mimpi-mimpi buruknya dan berjuang dengan musiknya mewujudkan dunia yang ideal, sehingga kita mengenal Bob lebih dari sekadar musisi reggae, penganut Rastafari dan menggilai ganja lebih dari siapa pun.
Namun skenario memang harus memilih di tengah durasi sempit antara memberi ruang lebih bagi karakter Bob untuk bertumbuh, atau memberi jalan bagi generasi masa kini mengenali bagaimana proses lagu-lagunya tercipta. Meski belum sesolid Bohemian Rhapsody, paling tidak Bob Marley: One Love unggul dengan pesannya yang tunggal dan solid.
Foto: Paramount Pictures
Sebagian dari kita pun baru tahu dari film ini bahwa Bob meninggal dalam usia yang belum lagi menginjak 40 tahun karena kanker. Tuhan mungkin memang lebih menyayangi orang-orang baik seperti Bob, dan tak membiarkan mereka didera kenyataan-kenyataan hidup tentang bagaimana dunia berputar kelak yang mungkin akan mengecewakan manusia-manusia idealis seperti dirinya.