Review Film Marry Me: Sejujurnya, Menikah Butuh Uang!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Cukup dua hari produksi dan berdurasi lima menit, penonton akan tahu bahwa makna film pendek ini sungguh mendalam. Adegan per adegan sangat sistematis dan jelas dalam mengungkap alur cerita.
Beres menonton, film ini memberi rasa seakan dekat dengan kehidupan sehari-hari, terutama pasangan yang punya keinginan menikah. Tanpa dialog, narator membeberkan setiap maksud dengan apik.
Tokoh utama, dipanggil a Man, adalah seorang pria muda yang ingin meminang kekasihnya tetapi kekurangan uang untuk membeli cincin. Ia digambarkan sebagai seorang lelaki yang bersedia melakukan apa pun demi memberikan kebahagiaan pada kekasihnya, a Girl.
Sosok a Girl hanya keluar sesekali sebagai manifestasi dari hasil perenungan a Man tentang sosok perempuan impiannya. Ia berwajah Asia dan sangat cantik. Dia menjadi alasan mengapa a Man mampu melakukan hal di luar nalar.
Sempat berpikir bagaimana si penulis naskah mengambil ide ceritanya. Apa ada seseorang yang mampu melakukan kegilaan seperti a Man di dunia nyata?
Foto:Joni Astin Film
Rasanya sulit menemukan film serupa yang bisa disandingkan dengan Marry Me. Kebanyakan dari yang sudah ada, tema-tema percintaan sebelum menikah lebih bertema sulit menikah karena terhadang restu, atau perbedaan kasta, seperti Silariang: Cinta yang Tak Direstui (2018), Lamaran (2015), Di Bawah Lindungan Kabah (2011), dan Agen Dunia (2021). Tepat rasanya jika mengatakan premis cerita Marry Me sebagai satu ide yang segar.
Marry Me punya sisi kelam mengenai perdagangan organ manusia yang biasanya hanya ada dalam film-film dengan genre thriller. Penulis cerita dan produser film ini, Joni Astin Ariadi, hanya perlu dua jam menulis ceritanya dan dua belas jam mengurasinya.
Alur cerita Marry Me ternyata menjadi sangat kaya makna dengan mengambil sisi cinta di luar nalar. Ini membuat bulu kuduk merinding dengan cara yang tidak biasa, bukan menakut-nakuti seram selayaknya genre serupa yang sudah ada.
Dilansir dari hindustantimes.com, kejadian pada 2017, seorang perempuan berusia 21 tahun asal Bihar datang ke New Delhi untuk menjual satu ginjalnya supaya bisa membayar utang nikah pada pacarnya.
Dia mengatakan bahwa saat itu dia adalah seorang janda dan sekarang memiliki seorang kekasih. Karena tidak direstui orang tua, kini dia mengikuti sang kekasih pindah ke Moradabad.
Sang kekasih mau menikahinya asalkan si perempuan bisa memberikan uang sebesar Rs1,8 laks, atau sekitar Rp35 juta dengan kurs rupiah saat ini. Tentunya niatan ini ditolak oleh pihak rumah sakit tempat dia meminta perawatan tersebut.
Sang perempuan India dan a Man dalam film Marry Me punya kesamaan, yaitu sama-sama mau berkorban apa pun tanpa pikir panjang akibat pengorbanannya bisa menghilangkan nyawa sendiri. Kalau dipikir dengan akal sehat, akibat perbuatannya justru akan membuat semua rencananya menikah gagal total dan berakhir di pemakaman. Rasanya itu langkah yang kontroversial.
Terlepas dari kontroversinya dalam dunia nyata, tema-tema cinta yang penuh ujian yang diangkat menjadi film seakan tidak pernah ada habisnya. Semakin kuat sang tokoh diuji, semakin penonton akan suka dan merasa hanyut dalam cerita. Meskipun tidak berharap hal itu hadir di dunia nyata, menitik air mata haru selepas menonton film akan memberikan pengalaman yang cukup menghibur juga.
Masih teringat kisah Titanic (1997)? Kisah cinta Rose dan Jack meski sesaat ternyata masih diingat selamanya. Bagaimana tragisnya Jack yang memberi sebuah kayu untuk Rose terapung dan membiarkan dirinya tenggelam menjadi contoh sebuah pengorbanan yang tanpa batas.
Foto:Joni Astin Film
Ada lagi The Fault in Our Stars (2014). Bercerita tentang kisah cinta dua penderita kanker yang masih remaja, mereka berhak bahagia dalam keterbatasan. Hazel Grace Lancester dan Augustus Walter bertemu di sebuah support group penderita kanker. Mereka punya hobi yang sama dan saling bertukar buku. Kesamaan pemikiran dan penderitaan menyatukan keduanya meskipun tidak berlangsung lama.
The Fault in Our Stars mendapatkan sambutan dan kritikan yang bagus saat penayangan perdananya. Banyak yang mengatakan bahwa tokoh Hazel dan Augustus punya kemesraan yang natural. Film ini pun sempat menduduki box office pada minggu pertama penayangannya dan meraih keuntungan kotor lebih dari USD307 juta di dunia dari biaya produksi yang hanya berkisar USD12 juta saja.
Beres menonton, film ini memberi rasa seakan dekat dengan kehidupan sehari-hari, terutama pasangan yang punya keinginan menikah. Tanpa dialog, narator membeberkan setiap maksud dengan apik.
Tokoh utama, dipanggil a Man, adalah seorang pria muda yang ingin meminang kekasihnya tetapi kekurangan uang untuk membeli cincin. Ia digambarkan sebagai seorang lelaki yang bersedia melakukan apa pun demi memberikan kebahagiaan pada kekasihnya, a Girl.
Sosok a Girl hanya keluar sesekali sebagai manifestasi dari hasil perenungan a Man tentang sosok perempuan impiannya. Ia berwajah Asia dan sangat cantik. Dia menjadi alasan mengapa a Man mampu melakukan hal di luar nalar.
Sempat berpikir bagaimana si penulis naskah mengambil ide ceritanya. Apa ada seseorang yang mampu melakukan kegilaan seperti a Man di dunia nyata?
Foto:Joni Astin Film
Rasanya sulit menemukan film serupa yang bisa disandingkan dengan Marry Me. Kebanyakan dari yang sudah ada, tema-tema percintaan sebelum menikah lebih bertema sulit menikah karena terhadang restu, atau perbedaan kasta, seperti Silariang: Cinta yang Tak Direstui (2018), Lamaran (2015), Di Bawah Lindungan Kabah (2011), dan Agen Dunia (2021). Tepat rasanya jika mengatakan premis cerita Marry Me sebagai satu ide yang segar.
Marry Me punya sisi kelam mengenai perdagangan organ manusia yang biasanya hanya ada dalam film-film dengan genre thriller. Penulis cerita dan produser film ini, Joni Astin Ariadi, hanya perlu dua jam menulis ceritanya dan dua belas jam mengurasinya.
Alur cerita Marry Me ternyata menjadi sangat kaya makna dengan mengambil sisi cinta di luar nalar. Ini membuat bulu kuduk merinding dengan cara yang tidak biasa, bukan menakut-nakuti seram selayaknya genre serupa yang sudah ada.
Pengorbanan Cinta di Luar Nalar
Sejauh apa seseorang mampu berkorban demi cinta?Dilansir dari hindustantimes.com, kejadian pada 2017, seorang perempuan berusia 21 tahun asal Bihar datang ke New Delhi untuk menjual satu ginjalnya supaya bisa membayar utang nikah pada pacarnya.
Dia mengatakan bahwa saat itu dia adalah seorang janda dan sekarang memiliki seorang kekasih. Karena tidak direstui orang tua, kini dia mengikuti sang kekasih pindah ke Moradabad.
Sang kekasih mau menikahinya asalkan si perempuan bisa memberikan uang sebesar Rs1,8 laks, atau sekitar Rp35 juta dengan kurs rupiah saat ini. Tentunya niatan ini ditolak oleh pihak rumah sakit tempat dia meminta perawatan tersebut.
Sang perempuan India dan a Man dalam film Marry Me punya kesamaan, yaitu sama-sama mau berkorban apa pun tanpa pikir panjang akibat pengorbanannya bisa menghilangkan nyawa sendiri. Kalau dipikir dengan akal sehat, akibat perbuatannya justru akan membuat semua rencananya menikah gagal total dan berakhir di pemakaman. Rasanya itu langkah yang kontroversial.
Terlepas dari kontroversinya dalam dunia nyata, tema-tema cinta yang penuh ujian yang diangkat menjadi film seakan tidak pernah ada habisnya. Semakin kuat sang tokoh diuji, semakin penonton akan suka dan merasa hanyut dalam cerita. Meskipun tidak berharap hal itu hadir di dunia nyata, menitik air mata haru selepas menonton film akan memberikan pengalaman yang cukup menghibur juga.
Masih teringat kisah Titanic (1997)? Kisah cinta Rose dan Jack meski sesaat ternyata masih diingat selamanya. Bagaimana tragisnya Jack yang memberi sebuah kayu untuk Rose terapung dan membiarkan dirinya tenggelam menjadi contoh sebuah pengorbanan yang tanpa batas.
Foto:Joni Astin Film
Ada lagi The Fault in Our Stars (2014). Bercerita tentang kisah cinta dua penderita kanker yang masih remaja, mereka berhak bahagia dalam keterbatasan. Hazel Grace Lancester dan Augustus Walter bertemu di sebuah support group penderita kanker. Mereka punya hobi yang sama dan saling bertukar buku. Kesamaan pemikiran dan penderitaan menyatukan keduanya meskipun tidak berlangsung lama.
The Fault in Our Stars mendapatkan sambutan dan kritikan yang bagus saat penayangan perdananya. Banyak yang mengatakan bahwa tokoh Hazel dan Augustus punya kemesraan yang natural. Film ini pun sempat menduduki box office pada minggu pertama penayangannya dan meraih keuntungan kotor lebih dari USD307 juta di dunia dari biaya produksi yang hanya berkisar USD12 juta saja.