CERMIN: Mereka yang Terbuang Jauh di Seberang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2004. Farishad Latjuba merilis film pendek berjudul Klayaban dan menjadi awal bagi saya untuk mengenali dan memahami arti kata “eksil”.
Klayaban bercerita tentang sebuah restoran di kota Praha, dimiliki oleh seorang eksil korban peristiwa 1965 yang tak bisa pulang dan kehilangan kewarganegaraannya. Tiba-tiba suatu malam datang seorang pengunjung, yang mengorek luka lama yang telah lama terkubur.
Dikutip dari Historia yang ditulis oleh aktivis Kontras, Jane Rosalina Rumpia, pada tahun 1960-an, pada masa kepresidenan Sukarno—yang dicap sebagai Orde Lama—pernah mengirimkan ribuan pemuda dalam rangka program beasiswa atau program pertukaran pelajar pemerintah (Mahasiswa Ikatan Dinas) melalui Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan.
Di samping itu, ada pula yang dikirim sebagai delegasi ke acara khusus seperti Hari Nasional Tiongkok pada 1 Oktober 1965, Konferensi Tiga Benua 1966 di Havana, Konferensi Organisasi Jurnalis Internasional 1965 di Santiago, Cile, atau Konferensi Organisasi Solidaritas Rakyat Asia-Afrika di Aljazair 1965 dan lainnya.
Peristiwa 1965 juga mengorbankan para pemuda tersebut sehingga akhirnya tak bisa pulang ke Tanah Airnya hingga puluhan tahun. Mereka adalah para eksil, orang yang diasingkan secara paksa. Eksil dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terpinggirkan”.
Foto:Lola Amaria Production
Istilah tersebut merupakan serapan kata exile dalam bahasa Inggris yang artinya terasing, atau seseorang yang dipaksa meninggalkan kampung halaman atau rumah yang ia tempati di Indonesia. Mantan Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid, turut menamai para eksil sebagai “orang yang terhalang pulang” atau orang klayaban.
Hampir 20 tahun setelah Klayaban dirilis, kita kembali bertemu dengan para eksil dalam film dokumenter panjang karya Lola Amaria berjudul Eksil. Film yang baru saja meraih Piala Citra kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2023 itu memperlihatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang apa saja yang dilewati para eksil, dari mana semuanya berawal, bagaimana mereka mengarungi hidup terombang-ambing tanpa identitas, dan akhirnya memutuskan memulai hidup baru sebagai yang terbuang jauh di seberang. Eksil menjadi dokumen penting dari kelamnya sejarah yang mencoreng negara ini pada masa lalu.
Pada Oktober 2015, Tom Iljas, seorang eksil dari Swedia, dideportasi oleh Kantor Imigrasi Kelas I Padang ketika hendak berziarah ke makam ibunya di Kampung Salido, kecamatan Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Tom adalah salah seorang mahasiswa Teknik Pertanian yang dikirim dari kampungnya untuk melanjutkan kuliah.
Tom dideportasi dan ditangkal dari Indonesia karena dianggap melanggar pasal 122 huruf a Undang-Undang No 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian karena melakukan kegiatan yang tak sesuai dengan izin yang dimilikinya. Pasca peristiwa 1965, Tom menjadi eksil di Swedia yang menjadi rumah keduanya selama puluhan tahun.
Foto: Lola Amaria Production
Apa yang dialami Tom memang tak dialami Asahan, tapi juga tak membuatnya kurang kritis terhadap apa yang sudah menimpa mereka pada masa lalu. “Kami ini orang Indonesia, jadi orang asing bukan atas kemauan kami. Kami, kan, harus punya kewarganegaraan, kalau nggak kami nggak bisa hidup, dong, “ ujar Asahan Aidit dalam film berdurasi 119 menit itu.
Sebagaimana dikutip dari Tirto, Asahan lahir di Tangjungpandan, Belitung, pada Desember 1938. Setelah menyelesaikan SMA, ia mendaftar di jurusan Sastra Rusia, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Tahun 1961, Asahan mendapat beasiswa dari Universitas Persahabatan Patrice Lumumba di Moskow. Gelar Magister Humaniora ia raih pada 1966. Artinya, saat terjadi peristiwa 1965 yang menewaskan kakak sulungnya, DN Aidit, juga kemudian menyeret beberapa kakaknya yang lain ke dalam tahanan Orde Baru, Asahan tengah tinggal di Moskow. Ia tentu saja tak memilih pulang ke Indonesia atas alasan keamanan.
Tom dan Asahan menjadi salah dua dari sekian narasumber yang bersedia kehidupannya pada masa lalu dikulik kembali. Ia diikuti gerak-geriknya selama beberapa waktu, dan akhirnya bersedia menceritakan segala keresahan, kegalauan juga terutama kerinduan pada kampung halaman di depan kamera.
Foto:Lola Amaria Production
Sebagai sutradara, tak banyak polesan yang dilakukan Lola karena materi aslinya sendiri sudah teramat kuat. Dari penuturan para narasumber, kita bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi yang terpinggirkan. Terkatung-katung di negeri seberang selama beberapa waktu, tanpa kejelasan apa pun dari pihak pemerintah dan membuat mereka pada akhirnya melakukan apa yang harus dilakukan tanpa harus mengkhianati bangsa dan negaranya.
Eksil digarap dalam waktu panjang selama 7 tahun dari 2015 hingga 2022. Dalam perjalanan film ini kelak bertemu dengan penontonnya, Asahan Aidit meninggal pada 5 November 2020. Sekali lagi Eksil menjadi catatan penting yang tak tergantikan oleh suara-suara dari masa lalu yang selayaknya masih perlu diperdengarkan pada masa kini. Agar kita bisa belajar dari masa lalu dan tak mengulanginya pada masa kini, pun di masa depan.
Klayaban bercerita tentang sebuah restoran di kota Praha, dimiliki oleh seorang eksil korban peristiwa 1965 yang tak bisa pulang dan kehilangan kewarganegaraannya. Tiba-tiba suatu malam datang seorang pengunjung, yang mengorek luka lama yang telah lama terkubur.
Dikutip dari Historia yang ditulis oleh aktivis Kontras, Jane Rosalina Rumpia, pada tahun 1960-an, pada masa kepresidenan Sukarno—yang dicap sebagai Orde Lama—pernah mengirimkan ribuan pemuda dalam rangka program beasiswa atau program pertukaran pelajar pemerintah (Mahasiswa Ikatan Dinas) melalui Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan.
Di samping itu, ada pula yang dikirim sebagai delegasi ke acara khusus seperti Hari Nasional Tiongkok pada 1 Oktober 1965, Konferensi Tiga Benua 1966 di Havana, Konferensi Organisasi Jurnalis Internasional 1965 di Santiago, Cile, atau Konferensi Organisasi Solidaritas Rakyat Asia-Afrika di Aljazair 1965 dan lainnya.
Peristiwa 1965 juga mengorbankan para pemuda tersebut sehingga akhirnya tak bisa pulang ke Tanah Airnya hingga puluhan tahun. Mereka adalah para eksil, orang yang diasingkan secara paksa. Eksil dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terpinggirkan”.
Foto:Lola Amaria Production
Istilah tersebut merupakan serapan kata exile dalam bahasa Inggris yang artinya terasing, atau seseorang yang dipaksa meninggalkan kampung halaman atau rumah yang ia tempati di Indonesia. Mantan Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid, turut menamai para eksil sebagai “orang yang terhalang pulang” atau orang klayaban.
Hampir 20 tahun setelah Klayaban dirilis, kita kembali bertemu dengan para eksil dalam film dokumenter panjang karya Lola Amaria berjudul Eksil. Film yang baru saja meraih Piala Citra kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2023 itu memperlihatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang apa saja yang dilewati para eksil, dari mana semuanya berawal, bagaimana mereka mengarungi hidup terombang-ambing tanpa identitas, dan akhirnya memutuskan memulai hidup baru sebagai yang terbuang jauh di seberang. Eksil menjadi dokumen penting dari kelamnya sejarah yang mencoreng negara ini pada masa lalu.
Pada Oktober 2015, Tom Iljas, seorang eksil dari Swedia, dideportasi oleh Kantor Imigrasi Kelas I Padang ketika hendak berziarah ke makam ibunya di Kampung Salido, kecamatan Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Tom adalah salah seorang mahasiswa Teknik Pertanian yang dikirim dari kampungnya untuk melanjutkan kuliah.
Tom dideportasi dan ditangkal dari Indonesia karena dianggap melanggar pasal 122 huruf a Undang-Undang No 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian karena melakukan kegiatan yang tak sesuai dengan izin yang dimilikinya. Pasca peristiwa 1965, Tom menjadi eksil di Swedia yang menjadi rumah keduanya selama puluhan tahun.
Foto: Lola Amaria Production
Apa yang dialami Tom memang tak dialami Asahan, tapi juga tak membuatnya kurang kritis terhadap apa yang sudah menimpa mereka pada masa lalu. “Kami ini orang Indonesia, jadi orang asing bukan atas kemauan kami. Kami, kan, harus punya kewarganegaraan, kalau nggak kami nggak bisa hidup, dong, “ ujar Asahan Aidit dalam film berdurasi 119 menit itu.
Sebagaimana dikutip dari Tirto, Asahan lahir di Tangjungpandan, Belitung, pada Desember 1938. Setelah menyelesaikan SMA, ia mendaftar di jurusan Sastra Rusia, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Tahun 1961, Asahan mendapat beasiswa dari Universitas Persahabatan Patrice Lumumba di Moskow. Gelar Magister Humaniora ia raih pada 1966. Artinya, saat terjadi peristiwa 1965 yang menewaskan kakak sulungnya, DN Aidit, juga kemudian menyeret beberapa kakaknya yang lain ke dalam tahanan Orde Baru, Asahan tengah tinggal di Moskow. Ia tentu saja tak memilih pulang ke Indonesia atas alasan keamanan.
Tom dan Asahan menjadi salah dua dari sekian narasumber yang bersedia kehidupannya pada masa lalu dikulik kembali. Ia diikuti gerak-geriknya selama beberapa waktu, dan akhirnya bersedia menceritakan segala keresahan, kegalauan juga terutama kerinduan pada kampung halaman di depan kamera.
Foto:Lola Amaria Production
Sebagai sutradara, tak banyak polesan yang dilakukan Lola karena materi aslinya sendiri sudah teramat kuat. Dari penuturan para narasumber, kita bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi yang terpinggirkan. Terkatung-katung di negeri seberang selama beberapa waktu, tanpa kejelasan apa pun dari pihak pemerintah dan membuat mereka pada akhirnya melakukan apa yang harus dilakukan tanpa harus mengkhianati bangsa dan negaranya.
Eksil digarap dalam waktu panjang selama 7 tahun dari 2015 hingga 2022. Dalam perjalanan film ini kelak bertemu dengan penontonnya, Asahan Aidit meninggal pada 5 November 2020. Sekali lagi Eksil menjadi catatan penting yang tak tergantikan oleh suara-suara dari masa lalu yang selayaknya masih perlu diperdengarkan pada masa kini. Agar kita bisa belajar dari masa lalu dan tak mengulanginya pada masa kini, pun di masa depan.