CERMIN: 30 Tahun setelah Alive, Masih Adakah yang Bisa Dibahas dari Tragedi Andes?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1972. Uruguayan Air Force dengan nomor penerbangan Flight 571 hancur lebur berantakan di pegunungan bersalju tebal, Andes. Dari 45 orang penumpang, 16 orang berhasil bertahan selama 72 hari sebelum akhirnya diselamatkan.
Kisah nyata penyelamatan dari seluruh dunia sudah cukup banyak yang diadaptasi menjadi film . Terakhir kali kita menyaksikan sutradara sekaliber Ron Howard mengadaptasi kisah nyata dua belas remaja dan seorang pelatihnya terjebak dalam gua selama berhari-hari tanpa makanan di Thailand dalam Thirteen Lives (2022).
Setelah menyaksikan Society of the Snow yang tayang di Netflix, kita merasa bahwa yang terjadi dalamThirteen Lives'tidak ada apa-apanya'. Rasanya susah membayangkan bagaimana 16 orang berhasil bertahan tanpa makanan, dikepung udara superdingin dan bersalju selama 72 hari. Kisah ini masyhur di seluruh dunia dan pada 1993 difilmkan oleh sutradara Frank Marshall yang menampilkan Ethan Hawke sebagai pemeran utama dengan judul Alive.
Alive diadaptasi berdasarkan buku karya Piers Paul Read. Bukunya dirilis hanya berselang dua tahun setelah tragedi dan butuh dua puluh tahun bagi Hollywood untuk menjadikannya film. Sebagaimana kebiasaan Hollywood, maka banyak hal yang terasa hilang dari film tersebut.
Sebagai contoh, identitas penumpang yang sebagian besar berkewarganegaraan Uruguay dimusnahkan begitu saja. Pendekatan yang ditempuh Alive pun terasa sangat Hollywood hingga nyaris menghilangkan esensi “survival” dari yang terjadi pada peristiwa aslinya.
Foto: Netflix
Tapi J.A Bayona tak datang dengan keinginan untuk mengoreksi yang sudah dilakukan Frank Marshall. Bisa jadi karena jarak tragedi dengan waktu pembuatan filmnya yang cukup lama membuat sang sutradara bisa mengambil jarak yang tepat untuk melihat tragedi ini dengan kacamata yang berbeda.
Juga bisa jadi karena Society of the Snow mendasarkan kisahnya pada buku berbeda yang kali ini ditulis berdasar kesaksian 16 orang penyintas oleh Pablo Vierci. Karena itulah yang kita lihat dan rasakah dalam film berdurasi 144 menit ini adalah sebuah horor yang mengguncang rasa kemanusiaan kita.
Definisi horor bukan lagi sekadar membiarkan diri kita ditakut-takuti oleh sesuatu yang tak bisa kita lihat, tapi membuat bulu kuduk kita berdiri. Definisi horor lbukan lagi sekadar membiarkan diri kita masuk ke dalam sensasi ketakutan yang sesungguhnya kita tahu akhirnya akan seperti apa.
Namundefinisi horor yang dialami oleh enam belas orang penyintas di Andes tersebut adalah hidup tanpa pernah punya harapan kapan akan bisa diselamatkan oleh siapa pun, bisa bertahan kelaparan hingga kapan sampai kita mulai berpikir untuk memangsa mayat dari teman kita sendiri demi bertahap hidup. Juga tak pernah tahu apakah sesungguhnya masih ada harapan untuk mereka bisa selamat dari bencana dingin, segala badai, dan drama demi drama yang dihidangkan oleh alam di depan hidung mereka sendiri.
Foto: Netflix
Numa menjadi sosok sentral dalam kisah ini, yang mengingatkan kita betapa rapuhnya kehidupan, betapa tak pastinya menjadi manusia, dan betapa sulitnya mempertahankan rasa kemanusiaan ketika tak ada lagi yang tersisa kecuali nyawa sendiri untuk diselamatkan. Kita bertemu dengan sosok Marcelo yang mencoba gigih berani menahan lapar karena tak tega memangsa mayat dari orang yang dikenalnya.
Namundalam situasi setragis dan sedahsyat itu, bisakah kita menyalahkan mereka? Bisa pula kah kita menyalahkan alam yang beringas tanpa ampun menghajar mereka terus menerus?
Inilah yang membedakan Society of the Snow dari Alive. Film resmi perwakilan Spanyol dalam Academy Awards 2024 itu menghindar dari klise Hollywood. Bisa jadi buat sebagian orang filmnya tak menghibur, bahkan cenderung membosankan.
Tapi bisa jadi juga buat sebagian yang lain menganggap bahwa menonton film ini ibarat berkontemplasi melihat ulang apa-apa saja yang sudah kita lakukan sebagai manusia. Jika bertemu situasi setragis dan sedahsyat itu, bisakah kita bertahan hidup dan mempertahankan harapan dari hari ke hari hingga selama 72 hari?
Yang juga membedakan Society of the Snow dari Alive adalah keinginan untuk mendramatisasi sesuatu seperti yang dilakukan Alive yang dianggap meromantisasi pendekatan agama/spiritual. Society of the Snow justru memilih memperlihatkan bagaimana penderitaan yang dialami manusia dalam situasi paling buruk, dan JA Bayona memperlihatkannya dengan cara paling banal.
Foto: Netflix
JA Bayona yang sebelumnya menyutradarai kisah nyata tsunami dalam The Impossible juga selalu mencoba memasuki kedalaman karakter-karakter manusia ketika berhadapan dengan tragedi. Kita akan melihat bagaimana manusia-manusia kuat itu bertahan, bukan dengan cara heroik sebagaimana yang sering digaungkan Hollywood.
Mungkin hanya dengan cara memilih tak kehilangan harapan dan tak memilih jalan pintas. Dalam situasi setragis dan sedahsyat itu, mereka justru memahami betapa berharganya hidup. Dan hidup perlu terus diperjuangkan.
Sebagaimana dikutip dari The Independent, dua helikopter tiba di lokasi kecelakaan pada 22 Desember, 72 hari setelah pesawat jatuh. Karena kondisi medan yang sulit, hanya separuh dari penyintas yang berhasil diselamatkan hari itu. Empat orang dari mereka mengajukan diri untuk tetap tinggal bersama tujuh orang yang selamat selama satu malam lagi. Keesokan harinya, sisanya diterbangkan saat fajar.
Kelompok tersebut dibawa ke rumah sakit di Santiago, tempat mereka dirawat karena penyakit ketinggian, dehidrasi, radang dingin, patah tulang, penyakit kudis, dan kekurangan gizi. Nando Parrado telah kehilangan 45 kg dari 100 kg berat badannya. Roberto Canessa juga hanya memiliki berat 44 kg pada saat penyelamatan.
Society of the Snow
Produser: Belen Atienza, J.A Bayona, Philip Bolus, Sandra Hermida
Sutradara: J.A Bayona
Penulis Skenario: J.A Bayona, Bernat Vilaplana, Jaime Marques, Nicolas Casariego
Pemain: Enzo Vogrincic, Agustin Pardella, Matias Recalt
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Kisah nyata penyelamatan dari seluruh dunia sudah cukup banyak yang diadaptasi menjadi film . Terakhir kali kita menyaksikan sutradara sekaliber Ron Howard mengadaptasi kisah nyata dua belas remaja dan seorang pelatihnya terjebak dalam gua selama berhari-hari tanpa makanan di Thailand dalam Thirteen Lives (2022).
Setelah menyaksikan Society of the Snow yang tayang di Netflix, kita merasa bahwa yang terjadi dalamThirteen Lives'tidak ada apa-apanya'. Rasanya susah membayangkan bagaimana 16 orang berhasil bertahan tanpa makanan, dikepung udara superdingin dan bersalju selama 72 hari. Kisah ini masyhur di seluruh dunia dan pada 1993 difilmkan oleh sutradara Frank Marshall yang menampilkan Ethan Hawke sebagai pemeran utama dengan judul Alive.
Baca Juga
Alive diadaptasi berdasarkan buku karya Piers Paul Read. Bukunya dirilis hanya berselang dua tahun setelah tragedi dan butuh dua puluh tahun bagi Hollywood untuk menjadikannya film. Sebagaimana kebiasaan Hollywood, maka banyak hal yang terasa hilang dari film tersebut.
Sebagai contoh, identitas penumpang yang sebagian besar berkewarganegaraan Uruguay dimusnahkan begitu saja. Pendekatan yang ditempuh Alive pun terasa sangat Hollywood hingga nyaris menghilangkan esensi “survival” dari yang terjadi pada peristiwa aslinya.
Foto: Netflix
Tapi J.A Bayona tak datang dengan keinginan untuk mengoreksi yang sudah dilakukan Frank Marshall. Bisa jadi karena jarak tragedi dengan waktu pembuatan filmnya yang cukup lama membuat sang sutradara bisa mengambil jarak yang tepat untuk melihat tragedi ini dengan kacamata yang berbeda.
Juga bisa jadi karena Society of the Snow mendasarkan kisahnya pada buku berbeda yang kali ini ditulis berdasar kesaksian 16 orang penyintas oleh Pablo Vierci. Karena itulah yang kita lihat dan rasakah dalam film berdurasi 144 menit ini adalah sebuah horor yang mengguncang rasa kemanusiaan kita.
Definisi horor bukan lagi sekadar membiarkan diri kita ditakut-takuti oleh sesuatu yang tak bisa kita lihat, tapi membuat bulu kuduk kita berdiri. Definisi horor lbukan lagi sekadar membiarkan diri kita masuk ke dalam sensasi ketakutan yang sesungguhnya kita tahu akhirnya akan seperti apa.
Namundefinisi horor yang dialami oleh enam belas orang penyintas di Andes tersebut adalah hidup tanpa pernah punya harapan kapan akan bisa diselamatkan oleh siapa pun, bisa bertahan kelaparan hingga kapan sampai kita mulai berpikir untuk memangsa mayat dari teman kita sendiri demi bertahap hidup. Juga tak pernah tahu apakah sesungguhnya masih ada harapan untuk mereka bisa selamat dari bencana dingin, segala badai, dan drama demi drama yang dihidangkan oleh alam di depan hidung mereka sendiri.
Foto: Netflix
Numa menjadi sosok sentral dalam kisah ini, yang mengingatkan kita betapa rapuhnya kehidupan, betapa tak pastinya menjadi manusia, dan betapa sulitnya mempertahankan rasa kemanusiaan ketika tak ada lagi yang tersisa kecuali nyawa sendiri untuk diselamatkan. Kita bertemu dengan sosok Marcelo yang mencoba gigih berani menahan lapar karena tak tega memangsa mayat dari orang yang dikenalnya.
Namundalam situasi setragis dan sedahsyat itu, bisakah kita menyalahkan mereka? Bisa pula kah kita menyalahkan alam yang beringas tanpa ampun menghajar mereka terus menerus?
Inilah yang membedakan Society of the Snow dari Alive. Film resmi perwakilan Spanyol dalam Academy Awards 2024 itu menghindar dari klise Hollywood. Bisa jadi buat sebagian orang filmnya tak menghibur, bahkan cenderung membosankan.
Tapi bisa jadi juga buat sebagian yang lain menganggap bahwa menonton film ini ibarat berkontemplasi melihat ulang apa-apa saja yang sudah kita lakukan sebagai manusia. Jika bertemu situasi setragis dan sedahsyat itu, bisakah kita bertahan hidup dan mempertahankan harapan dari hari ke hari hingga selama 72 hari?
Yang juga membedakan Society of the Snow dari Alive adalah keinginan untuk mendramatisasi sesuatu seperti yang dilakukan Alive yang dianggap meromantisasi pendekatan agama/spiritual. Society of the Snow justru memilih memperlihatkan bagaimana penderitaan yang dialami manusia dalam situasi paling buruk, dan JA Bayona memperlihatkannya dengan cara paling banal.
Foto: Netflix
JA Bayona yang sebelumnya menyutradarai kisah nyata tsunami dalam The Impossible juga selalu mencoba memasuki kedalaman karakter-karakter manusia ketika berhadapan dengan tragedi. Kita akan melihat bagaimana manusia-manusia kuat itu bertahan, bukan dengan cara heroik sebagaimana yang sering digaungkan Hollywood.
Mungkin hanya dengan cara memilih tak kehilangan harapan dan tak memilih jalan pintas. Dalam situasi setragis dan sedahsyat itu, mereka justru memahami betapa berharganya hidup. Dan hidup perlu terus diperjuangkan.
Sebagaimana dikutip dari The Independent, dua helikopter tiba di lokasi kecelakaan pada 22 Desember, 72 hari setelah pesawat jatuh. Karena kondisi medan yang sulit, hanya separuh dari penyintas yang berhasil diselamatkan hari itu. Empat orang dari mereka mengajukan diri untuk tetap tinggal bersama tujuh orang yang selamat selama satu malam lagi. Keesokan harinya, sisanya diterbangkan saat fajar.
Kelompok tersebut dibawa ke rumah sakit di Santiago, tempat mereka dirawat karena penyakit ketinggian, dehidrasi, radang dingin, patah tulang, penyakit kudis, dan kekurangan gizi. Nando Parrado telah kehilangan 45 kg dari 100 kg berat badannya. Roberto Canessa juga hanya memiliki berat 44 kg pada saat penyelamatan.
Society of the Snow
Produser: Belen Atienza, J.A Bayona, Philip Bolus, Sandra Hermida
Sutradara: J.A Bayona
Penulis Skenario: J.A Bayona, Bernat Vilaplana, Jaime Marques, Nicolas Casariego
Pemain: Enzo Vogrincic, Agustin Pardella, Matias Recalt
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)