Review Film Elegi Melodi: Nyanyian di Antara Hidup, Mimpi, dan Mati

Rabu, 03 Januari 2024 - 15:02 WIB
loading...
Review Film Elegi Melodi: Nyanyian di Antara Hidup, Mimpi, dan Mati
Film pendek Elegi Melodi mengisahkan seorang ibu yang tengah mempersiapkan kematiannya. Foto/Studio Antelope
A A A
JAKARTA - Bagi sebagian besar orang, kematian dan perjalanannya selalu dipenuhi dengan atmosfer yang lesu. Suasana yang pedih, kacau, ngeri, dan takut. Namun, apa jadinya jika kematian telah dipersiapkan dengan 'baik'?

Dalam film pendek Elegi Melodi (2018) karya Jason Iskandar, bayang-bayang kematian tidak disuguhkan dengan banyak ratapan dan momen yang menguras air mata. Melodi, sang tokoh utama, adalah seorang ibu yang sudah berusia lanjut. Melodi memiliki dua orang anak bernama Stella dan Rio.

Melodi telah mengetahui bahwa kematiannya akan segera tiba. Penyakit kanker yang dideritanya sejak setahun lalu terus menggerogoti tubuh Melodi. Namun, alih-alih menunjukkan kesedihan atau kegamangan, Melodi justru menunjukkan sisi dirinya yang kokoh dan tegar.



Kekuatan ini dilatarbelakangi oleh keinginan Melodi memanfaatkan sisa waktu yang dimilikinya untuk mewujudkan mimpi yang telah lama dipendam. Melodi ingin bernyanyi dan membuat video musik. Ya, mimpi yang sederhana, tetapi menarik.

Mimpi Melodi bukanlah keinginan sesaat yang hadir dalam diri mudanya. Mimpi tersebut terus dipegang Melodi selama puluhan tahun. Dalam adegan Melodi meminta Rio mendengarkan rekaman lagunya, ia berkata bahwa lagu tersebut telah diciptakan pada tahun 1980-an.

Artinya, sudah lebih dari tiga puluh tahun Melodi menyimpan karyanya itu. Tentu hal ini menunjukkan betapa besarnya hasrat Melodi untuk menjadi penyanyi. Ia masih memiliki harapan walau mimpinya itu telah puluhan tahun tertahan.

Hasrat dan minat yang kuat juga terlihat dari Melodi yang ingin video musiknya digarap oleh dua sutradara kenamaan Indonesia, Wregas Bhanuteja dan Hanung Bramantyo. Hal itu menunjukkan bahwa Melodi terus mengikuti perkembangan informasi dan kondisi industri kreatif yang diminatinya itu.

Review Film Elegi Melodi: Nyanyian di Antara Hidup, Mimpi, dan Mati

Foto: Studio Antelope

Berbicara tentang upaya mempersiapkan kematian, hal serupa muncul dalam salah satu film yang menghiasi bioskop pada 2022. Film A Man Called Otto digarap sebagai versi remake dari film dari Swedia berjudul A Man Called Ove (2015).

Film itu juga diadaptasi dari novel karya Fredrick Backman pada 2012 dengan judul sama. Film berdurasi 2 jam 6 menit ini menceritakan tokoh Otto yang terpuruk semenjak istrinya wafat.

Otto memiliki dorongan untuk mengakhiri hidupnya dan bahkan sudah bersiap melakukan aksi nekat tersebut. Namun, rencana itu digagalkan oleh kedatangan Marisol, tetangga baru yang mulai mengganggu hari-hari Otto. Marisol beserta suami dan kedua anaknya--dengan atau tanpa sengaja--terus menemukan celah untuk menemui dan merepotkan Otto.

Ternyata 'gangguan' dari Marisol dan keluarganya ini tidak hanya menggagalkan niat buruk Otto untuk mengakhiri hidup. Munculnya keluarga Marisol juga nyatanya mampu menyalakan kembali semangat di dalam diri Otto yang telah redup. Otto yang jiwanya telah hidup kembali, pada akhirnya menghentikan niat buruknya dan memilih menjalani hari-hari bersama dengan keluarga Marisol dan tetangganya yang lain.

Namun, Otto yang juga diceritakan memiliki penyakit, juga mulai merasakan tanda-tanda ajalnya akan tiba. Hal ini kemudian membuat Otto mulai mempersiapkan kematiannya sendiri. Hal ini tergambar dalam salah satu adegan, yakni saat Otto menuliskan surat wasiat untuk Marisol. Rupanya di dalam surat tersebut, Otto juga telah menyiapkan dan mengurus hartanya untuk diwariskan pada keluarga Marisol.

Kemiripan unsur antara film A Man Called Otto dan Elegi Melodi tergambar pada beberapa bagian. Salah satunya dalam kedua film tersebut penonton sejak awal diajak menyaksikan tindak tanduk tokoh utama yang begitu kukuh pendiriannya.

Otto dengan sikap pemarah dan kaku, serta Melodi dengan sikap ceria, norak, dan percaya diri. Meski kedua tokoh memiliki tingkah laku yang bertolak belakang, interaksi antara Otto dan Melodi dengan orang-orang sekelilingnya sama-sama memberikan nuansa komedi yang unik dan membuat penonton gereget.

Meski sepanjang film tokoh Melodi digambarkan sebagai sosok yang tegar, kokoh, dan percaya diri, satu bagian yang menunjukkan sisi rapuhnya. Dalam adegan Melodi berbincang dengan Rio di taman, terlihat ada luka yang disimpan oleh Melodi.

Review Film Elegi Melodi: Nyanyian di Antara Hidup, Mimpi, dan Mati

Foto: Studio Antelope

Luka karena hubungannya dengan anak sulungnya, Stella, rupanya tidak baik-baik saja. Tentu konflik keluarga seperti ini adalah salah satu hal yang sering diangkat dalam film-film atau drama karena sering terjadi dalam kehidupan nyata.

Hubungan yang kurang harmonis dalam keluarga mungkin memang terasa akrab bagi sebagian besar kita. Komunikasi yang berantakan, keinginan yang tak tersampaikan dan tak dimengerti, serta kekecewaan yang tidak mampu diutarakan, tentu memperunyam hubungan tersebut.

Rusaknya hubungan ini acap kali menorehkan luka dan trauma yang besar. Meski demikian, kasih sayang kepada anggota keluarga adalah hal yang tak mudah dihilangkan bahkan tak mungkin bisa dipandang sepintas lalu. Perasaaan yang bercampur antara cinta dan benci yang konstan dirasakan kepada keluarga bisa saja menjadi rasa sakit dengan durasi paling lama yang dirasakan seseorang.

Walaupun begitu, dalam kaitannya dengan hubungan Melodi dan Stella, kita melihat bahwa salah satu kunci untuk berdamai dengan keadaan dan tidak memperuncing masalah adalah dengan sama-sama menurunkan ego. Hal ini terlihat dari sikap Melodi yang tidak berusaha menuntut Stella untuk mengunjunginya.

Melodi membiarkan Stella menjalani hidupnya sendiri. Begitu sebaliknya, Stella yang tetap menghadiri malam pemakaman sang mama walau sebelumnya Melodi meyakini bahwa Stella tidak akan mau datang.

Wujud penurunan ego lain juga sempat ditunjukkan dalam hubungan ibu-anak antara Melodi dengan Rio. Melodi tidak menyukai tindakan Rio yang sudah menjalin hubungan dengan perempuan baru, meski urusan perceraiannya belum tuntas.

Melodi menunjukkan ketidaksukaannya dengan cara yang bijak. Dia tidak serta merta menunjukkan emosi yang meledak atau menyalahkan Rio. Melodi justru berbicara secara persuasif kepada Rio.

Anak keduanya itu juga memberikan respons yang cukup baik. Tanpa ada kemarahan karena sang mama mencampuri urusannya, Rio dengan santai menjawab bahwa ia akan segera menyelesaikan urusan perceraiannya.

Berbeda dengan Stella, hubungan ibu-anak antara Melodi dan Rio digambarkan berjalan dengan lebih harmonis. Sejak awal, Rio hadir untuk membantu Melodi mewujudkan mimpi terakhirnya. Rio jugalah yang meminta bantuan temannya, Akmal, untuk menggarap video musik lagu Melodi.

Review Film Elegi Melodi: Nyanyian di Antara Hidup, Mimpi, dan Mati

Foto: Studio Antelope

Jika ditilik dari sudut pandang Rio, penonton juga bisa melihat bahwa saat mengetahui seseorang yang disayangi akan pergi, kita akan berupaya memenuhi keinginan terakhirnya. Meski keinginan tersebut bisa jadi terdengar dangkal, tidak jelas, sederhana, atau bahkan sulit sekali pun.

Elegi Melodi

Sejak awal diperlihatkan bahwa lagu yang dinyanyikan Melodi dianggap sebagai lagu yang 'norak' baik secara audio maupun visual. Asumsi tersebut dibangun melalui beberapa adegan, seperti ekspresi kikuk Stella, ekspresi malu Rio, dan ekspresi sejumlah pelayat yang menahan senyum saat video musik diputar di pemakaman. Selain itu, adegan kebingungan Akmal dan orang-orang yang ada di rumah makan juga menunjukkan anggapan serupa.

Namun, jika diresapi lebih dalam, memang cocok jika lagu tersebut termasuk ke dalam elegi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, elegi bermakna syair atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita (khususnya pada peristiwa kematian).

Berdasarkan liriknya, nyanyian ini jelas menunjukkan duka dari jiwa seorang manusia, jiwa Melodi. Elegi ini juga seolah bisa menjadi rangkuman sekaligus jawaban dari perjalanan hidup Melodi. Ketersesatannya, kebingungannya dalam memilih 'jalan', serta harapan yang memupuk semangatnya.

Pada beberapa lirik pertama, terdengar Melodi menceritakan kebingungannya dalam hidup yang dijalaninya, kekecewaan karena yang ditanamnya tidak memberikan hasil yang baik, rasa kehilangan dirinya sendiri yang dialaminya, dan orang-orang terdekatnya yang terasa begitu asing.

Namun, dalam lirik-lirik terakhir, Melodi akhirnya menemukan sebuah harapan. Dialah si bunga matahari yang telah terlunta-lunta didera hujan, tetapi tetap yakin matahari akan menyinarinya. Seorang manusia yang meski hidup telah memberinya banyak rasa sakit, tetap ia meyakini bahwa kebahagiaan itu akan tiba. Di ujung sana, mimpi itu akan terwujud. Cepat atau lambat.

Melalui perjalanan Melodi untuk mewujudkan mimpinya terakhirnya sekaligus sebagai persiapannya menghadapi kematian, barangkali penonton diajak merenung sejenak. Apa yang akan dilakukan jika kita memiliki 'bocoran' informasi sisa waktu yang dimiliki untuk hidup?

Akankah kita meninggalkan segala hal yang “semu” dan memfokuskan diri untuk memenuhi hal yang sebenarnya kita inginkan?
Hal-hal yang krusial dan bisa mengisi penuh jiwa kita, seperti impian atau cita-cita.



Akankah kita mampu menanggalkan segala kekhawatiran dan hiruk pikuk dunia serta memilih menggunakan sisa waktu itu untuk menikmati hidup sebaik mungkin?

Di balik kemasannya yang sederhana dan diselimuti komedi, Elegi Melodi jika ditelusuri lebih jauh adalah film yang bisa membuat kita termenung dan menarik napas dalam-dalam.Tak ayal film ini masuk ke dalam salah satu nomine film pendek terbaik dalam FFI 2018.


Elis S.M.
Pegawai kantoran, sedang belajar menulis dan bercerita

(ita)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1553 seconds (0.1#10.140)