CERMIN AWARDS: 10 Film dan Serial Internasional Terbaik 2023
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pada awalnya CERMIN lahir sebagai kegelisahan atas tulisan yang membahas tentang film maupun serial dari dalam dan luar negeri yang tak sekadar mencari-cari kelemahan.
CERMIN justru ingin mencari tahu sesungguhnya apa yang ingin disampaikan para pembuatnya melalui karya-karya yang dibuatnya. Oleh karena itu, bagi saya yang juga pembuat film, penting sekali untuk menentukan perspektif atau sudut pandang yang akan saya ambil sebelum memutuskan film atau serial mana saja yang penting untuk dibahas.
Pada akhirnya saya memang harus sangat selektif karena hanya bisa memilih dua judul dari sekian banyak film maupun serial yang diluncurkan setiap minggunya, baik melalui bioskop maupun layanan streaming.
CERMIN terbit pertama kali pada 28 Mei 2022 dan sejauh ini sudah menerbitkan 160 tulisan. CERMIN edisi perdana membahas film Top Gun Maverick. Awalnya CERMIN diniatkan untuk terbit seminggu sekali, tapi setelah melihat respons positif dalam penerbitan beberapa edisi akhirnya diputuskan menerbitkannya dua kali seminggu.
Baca Juga:
CERMIN AWARDS menjadi salah satu apresiasi dari saya dan tim yang bekerja di balik layar CERMIN selama lebih dari setahun ini. Apresiasi yang kami berikan tulus untuk para pembuat film yang masih menjunjung tinggi idealisme, para pemberani yang tak takut melontarkan gagasan segar dan menarik, serta para perintis yang selalu bisa melihat bahwa film maupun serial tak sekadar karya hiburan semata.
Inilah 1st CERMIN AWARDS 2023 edisi 10 film dan serial internasional terbaik 2023. Judul film disusun berdasarkan alfabet.
Foto:Warner Bros. Pictures
Tak pernah sedikit pun terbayangkan bahwa Barbie, sosok boneka paling terkenal sedunia yang juga diserang karena mencitrakan perempuan dengan standar kecantikan yang sulit digapai, akan menjadi pintu masuk bagi Greta Gerwig untuk memberi semacam kuliah filsafat dan sosiokultural yang asyik selama hampir dua jam. Tapi Greta, juga pasangannya, sesama sutradara sekaligus penulis, Noah Baumbach, bisa melakukannya seakan-akan ini adalah hal termudah di dunia.
Barbie dan Ken mengalami pengalaman yang berbeda di dunia nyata dan membuat Dunia Barbie berantakan ketika mereka kembali. Untungnya memang ada Gloria, satu-satunya pekerja perempuan di Mattel, perusahaan yang memproduksi boneka Barbie. Dalam pidatonya yang panjang dan sekaligus menggugah, Gloria menyentil kita yang selalu melihat perempuan dalam berbagai standar yang kerap kali mengungkung mereka.
Apa yang dibicarakan Gloria bisa jadi akan beresonansi hingga seabad mendatang terkait eksistensialisme perempuan. Bisa jadi ia akan dikutip banyak jurnal hingga tulisan panjang nan serius karena keberhasilannya menyadarkan kita bahwa selama ini hampir selalu kita memasukkan perempuan ke dalam kotak tertentu.
Foto: Paramount Pictures
Selama 3,5 jam Martin Scorsese memperlihatkan bahwa ketamakan bisa menjadi akar dari segala kejahatan termasuk kejahatan yang paling keji. Nyawa manusia tak lagi berarti, ia hanya sebanding dengan sebidang tanah yang terus menerus mengeluarkan minyak dari perut bumi. Ketamakan membuat manusia kehilangan kemanusiaannya, ketamakan membuat manusia kehilangan kewarasannya, dan ketamakan membuat manusia berhenti menjadi manusia begitu saja.
Dalam buku yang menjadi materi asli film ini, David Grann menuturkan dari kacamata agen FBI, Tom White, yang membongkar kejahatan demi kejahatan yang dilakukan dengan sistematis dan berdarah dingin atas suku Osage di Oklahoma pada tahun 1920-an. Sementara filmnya mendekatkan dirinya pada sumber cerita dan berpusat pada Ernest Burkhart, keponakan sekaligus kaki tangan dari William King Hale yang menjadi otak dari segala kejahatan biadab itu. Martin berani melakukan perombakan besar-besaran terutama terkait dari sisi perspektif bagaimana cerita ini dikisahkan.
Foto: Golden Village
La Luna memang pantas disaksikan di layar besar. Siapa yang tak tergelitik dengan premisnya tentang kehadiran toko pakaian dalam perempuan yang hadir di sebuah desa yang sangat Islami dan kelak mengguncang sendi-sendi kehidupan di dalamnya. Di tangan sutradara Raihan Halim, kritik soal susahnya kita menerima perubahan bisa tersampaikan dengan begitu jenaka tapi pada saat bersamaan juga bisa begitu jernih dan telak.
Tak tercium pretensi untuk menceramahi penonton akan terjadinya pergeseran nilai karena kita melihat Raihan sekadar menghidangkan yang sebenarnya sudah kita ketahui, mungkin juga kita alami, dengan lebih jelas di depan mata kita.
Pelan-pelan pula kita melihat Raihan menggeser La Luna dari komedi pengocok tawa menjadi sebuah kritik sosial yang sesungguhnya pedas. Kita juga melihat La Luna berubah menjadi tempat aman bagi perempuan yang mengalami KDRT dari suaminya.
Sebagaimana yang diucapkan Hanie ketika ditanya mengapa lampu penanda La Luna yang terang benderang perlu menyala sepanjang malam, ia menjawab bahwa pada suatu masa lampu penanda itu diartikan sebagian perempuan pelanggannya sebagai beacon of hope (suar harapan).
Selama lampu itu menyala, selama itu pula ada ruang aman bagi perempuan untuk menyelamatkan diri dari kemalangan yang hendak menimpanya.
Foto: Netflix
Dari A Star Is Born ke Maestro adalah lompatan luar biasa jauh bagi Bradley Cooper. Ia kini mendorong dirinya ke luar dari kenyamanan, masuk menelikung ke dalam kehidupan Lenny (panggilan Leonard) dan istrinya, Felicia, yang tak banyak diketahui orang.
Bradley menulis skenarionya bersama Josh Singer dan sekaligus memainkan peran sebagai Leonard. Bahkan Martin Scorsese dan Steven Spielberg yang menjadi produser dalam Maestro tak bisa melakukan yang dilakoni Bradley sekaligus.
Di tangan Bradley, kita melihat sosok flamboyan Lenny sejak awal. Mudah sekali akrab dengan siapa pun berkat pembawaannya yang ceria dan sekaligus karismatik, juga tentu saja dengan kepiawaiannya melakoni beragam peran (sebagaimana Bradley). Lenny adalah seorang dirigen, komposer, serta pencipta lagu.
Tapi Lenny juga adalah seorang suami bagi Felicia yang sangat mencintainya dan tiga orang anak yang sangat mengidolakan ayahnya. Kita tahu ada 'musim panas' yang terus menggelegak dalam diri Lenny yang sudah dilihat Felicia sejak awal. 'Musim panas' itulah yang membuatnya hidup dan membuatnya bisa mengisi hidupnya dengan musik.
Foto:O'Brother Distribution
Kisah Clara dalam film The Night of the 12th yang diputar sebagai bagian dari Festival Sinema Prancis 2023 adalah sebuah kisah fiksi. Ia terinspirasi dari kisah nyata yang ditulis novelis Pauline Guena dalam sebuah buku yang sama menggetarkannya dengan tulisan Hikayat Kebo berjudul 18.3: A Year at the Station.
Dalam laman Books From France, buku ini ditulis sebagai “sebuah kisah yang luar biasa: untuk pertama kalinya, sebuah kantor polisi membuka pintunya bagi seorang novelis, yang menghabiskan satu tahun bersama pasukannya.Selama setahun, novelis Pauline Guéna magang di kantor polisi dekat Paris dalam regu kejahatan, narkoba, dan anti-kejahatan terorganisir".
"Siang dan malam, dari kantor yang kotor hingga tempat kejadian perkara, dari penangkapan hingga interogasi, dari petugas koroner hingga ibu yang menangis, dia melihat dan mencatat semuanya. Hasilnya adalah sebuah kisah sastra yang luar biasa, karena kegeniusan kreatif para penulis dengan mudah menyaingi para penjahat".
Dominic Moll merentang kisah Clara dalam sebuah penyelidikan yang meresahkan, membuat frustasi dan mengubah cara pandang kita tentang kemanusiaan. Yohan, polisi yang memimpin penyelidikan atas kasus Clara, awalnya seperti kita semua, ingin sesegera mungkin mengupas tuntas kasus kejahatan ini.
Bersama timnya, ia menyisir tempat kejadian perkara (TKP), mengumpulkan sejumlah bukti, mewawancarai banyak orang, tak hanya orang tua Clara yang remuk dengan peristiwa mengerikan, tapi juga para pria yang dianggap menjadi kawanan “pria yang salah yang dijatuhi cinta oleh Clara".
Foto:Universal Pictures
Yang membuat terkesima adalah cara Christopher Nolan mengambil pendekatan yang tak pernah terbayangkan. Ia menjadikan kisah bagaimana Robert J. Oppenheimer yang sebelumnya dianggap berjasa oleh negaranya lantas integritasnya hendak dihancurkan oleh kalangan tertentu hanya karena dendam pribadi.
Kita pun melihat Robert sama saja seperti kita, yang tak pernah imun dengan prasangka, selalu bergulat dengan emosi-emosi internalnya yang kompleks dan tak tercerabut dari statusnya sebagai seorang suami dan ayah. Selama tiga jam dipaku ke kursi bioskop, kita menyadari satu hal yang tak pernah sejelas ini sebelumnya: begini seharusnya kita membuat film biopik. Fokus, intens, dan memuat pergulatan-pergulatan emosi seorang manusia.
Dalam sebuah wawancara, pembuat film dokumenter peraih Oscar, Alex Gibney, mengatakan bahwa film biopik memang selayaknya punya esensi dan tahu titik serangnya. “It’s finding an essence. It’s finding an attack.” Ditambahkannya lagi bahwa film biopik yang bagus selayaknya menghindar dari keinginan melakukan semuanya. “I think the ones that are less successful are the ones that dutifully try to do everything, and in trying to do everything, end up with nothing.”
Foto: CJ ENM
Past Lives membentangkan ceritanya dari usia Nora menginjak 12 tahun dan bersahabat dengan Hae Sung. Lebih tepatnya menjadi sahabat yang kompetitif. Terutama Nora yang selalu ingin mendapat peringkat di kelas yang lebih baik dari Hae Sung.
Tapi kita tahu bahwa cinta pertama bisa terjadi dengan beragam cara. Bagi Hae Sung, Nora adalah cinta pertamanya. Dan kita tahu cinta pertama susah betul dilupakan.
Bahkan hingga 24 tahun kemudian. Ketika Nora sudah bertahun-tahun bermigrasi ke Kanada dan akhirnya menikah dengan pria berkebangsaan Amerika. Hae Sung tetap setia dengan perasaan yang dipeliharanya bertahun-tahun. Perlahan Celine memperkenalkan kita dengan sebuah konsep yang menurutnya dikenal secara universal di Asia, tak hanya di Korea. Sebuah konsep yang dikenal dengan nama Inyeon.
Dalam konsep Budhisme Korea, in mengacu pada “penyebab langsung” dan yeon berarti “penyebab tidak langsung”, atau kondisi yang memungkinkan suatu hasil. Bersama-sama, in dan yeon memberikan penjelasan mengapa makhluk tertentu bertemu di tempat dan waktu tertentu.
Tidak jauh dari karma, inyeon dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana suatu hubungan terbentuk atau diberikan dari surga. Kata yeon lainnya yang sama dari inyeon ditemukan dalam pepatah Korea, cheon-saeng-yeon-bun,atau “pasangan yang dibuat di surga”. Inyeon tidak hanya ada di Korea, sebuah pepatah Tiongkok menyatakan bahwa jika ditakdirkan, orang akan bertemu meskipun mereka terpisah ribuan mil.
Foto: Apple TV+
Sebagaimana novelnya yang meski awalnya tak dilirik, serialnya pun pelan-pelan menjaring pemirsa setia. Bisa jadi tak banyak yang membayangkan bahwa serial dengan enam episode dalam setiap musimnya tersebut bisa tampil mengejutkan.
Kreator sekaligus penulis skenario, Will Smith, berada di balik sukses Slow Horses karena berhasil mengeksekusi cerita dengan tensi ketegangan yang diperhitungkan secara presisi dalam tiap episodenya. Sebelumnya Will berpengalaman dalam serial Veep yang membuatnya beroleh Primetime Emmy sebanyak dua kali.
Selain faktor skenario, karakterisasi juga memegang peranan penting dalam sukses serial Slow Horses. Kita melihat karakter-karakter anomali yang bisa jadi belum pernah kita lihat dalam film-film yang sebelumnya mengetengahkan karakter agen rahasia.
Di sini kita melihat sosok para agen tangguh yang bekerja tanpa dukungan besar, rela mempertaruhkan nyawa, dan yang paling penting tak kurang cemerlang dari para agen rahasia yang mendapat fasilitas berlimpah di Regent Park. Jackson yang menjadi pemimpin bukanlah jenis pemimpin yang biasa kita lihat dalam rantai komando agen rahasia.
Penampilan fisiknya sama sekali tak mendukung, ia juga tak pernah berusaha menonjol, tapi kita tahu betapa cemerlangnya ia. Betapa intuitifnya ia merasakan sebuah ancaman akan terjadi dan betapa tenangnya ia mengantisipasi setiap kejadian.
Foto: HBO Go
Serial Succesion tayang perdana di HBO Go pada 3 Juni 2018. Sebuah serial yang tak pernah menjadi unggulan dan kelak menjadi game changer dalam industri televisi. Sebuah potret mencekam tentang suksesi kepemimpinan di sebuah keluarga kaya yang brutal dan kejam. Sebuah kisah yang mengingatkan kita pada tragedi Yunani dan mitos Romawi.
Dengan gaya penceritaan yang khas dan sering terasa mirip seperti dokumenter, kita diajak memasuki kehidupan keluarga konglomerat, Logan Roy dan keempat anaknya, Connor, Kendall, Siobhan, dan Roman. Pendekatan sedemikian efektif membuat kita terjerumus ke dalam cerita dengan lebih dalam dan diajak melihat segala ketelanjangan sikap, karakter dan dosa-dosa yang dimiliki keluarga kaya ini.
Dan Succession memang terasa betul mengingatkan kita pada tragedi Yunani dan mitos Romawi. Dalam beberapa episode, referensi itu juga ditabur secara cermat oleh tim penulis yang brilyan.
Dalam salah satu episode, salah satu anggota dewan Waystar Royco berucap pada Roman, “You and Kendall are thinking of killing your dad? Well, that’s a little Greek tragedy”. Dalam episode lainnya saat sebuah perjamuan, Logan bahkan memperkenalkan keluarganya sebagai, “Like Romans among the Greeks. I’m sure you find us all rather, you know, big, vulgar, and boisterous”.
Foto: Apple TV+
Serial Ted Lasso tayang perdana di Apple TV pada 14 Agustus 2020, saat seantero dunia tengah dilanda ketakutan akibat jutaan orang meninggal karena COVID-19. Sosok Ted menyeruak di ruang keluarga, memberi tontonan yang memberi rasa hangat di hati dan memperkenalkan kembali sosok Jason Sudeikis ke tengah masyarakat.
NamunTed Lasso tak cuma mahir menampilkan sisi tiga dimensi dari karakter utamanya. Serial ini juga dengan brilian dan realistis memotret situasi yang terjadi pada sebuah klub sepak bola dengan segala macam tingkah para pemainnya, dengan beragam situasi yang melingkupinya, juga dengan kisah sampingan seputar manajer hingga humas klub.
Selama tiga musim, kita melihat bagaimana serial ini bertumbuh dan semakin cemerlang kualitasnya dari waktu ke waktu. Kita juga melihat bagaimana karakter-karakternya diberi ruang lebar untuk bertumbuh, memperlihatkan bahwa mereka juga manusia,
Bukan sekadar wayang yang ditiupkan nyawa oleh para penulis skenario. Terutama kita melihat bagaimana Ted berjuang untuk tak lagi sekadar membahagiakan sekelilingnya, tapi terutama menjadi bahagia untuk dirinya sendiri.
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Lihat Juga: 5 Drama China Terpopuler pada November 2024, Rekomendasi Terbaik untuk Pecinta Serial Asia
CERMIN justru ingin mencari tahu sesungguhnya apa yang ingin disampaikan para pembuatnya melalui karya-karya yang dibuatnya. Oleh karena itu, bagi saya yang juga pembuat film, penting sekali untuk menentukan perspektif atau sudut pandang yang akan saya ambil sebelum memutuskan film atau serial mana saja yang penting untuk dibahas.
Pada akhirnya saya memang harus sangat selektif karena hanya bisa memilih dua judul dari sekian banyak film maupun serial yang diluncurkan setiap minggunya, baik melalui bioskop maupun layanan streaming.
CERMIN terbit pertama kali pada 28 Mei 2022 dan sejauh ini sudah menerbitkan 160 tulisan. CERMIN edisi perdana membahas film Top Gun Maverick. Awalnya CERMIN diniatkan untuk terbit seminggu sekali, tapi setelah melihat respons positif dalam penerbitan beberapa edisi akhirnya diputuskan menerbitkannya dua kali seminggu.
Baca Juga:
CERMIN AWARDS menjadi salah satu apresiasi dari saya dan tim yang bekerja di balik layar CERMIN selama lebih dari setahun ini. Apresiasi yang kami berikan tulus untuk para pembuat film yang masih menjunjung tinggi idealisme, para pemberani yang tak takut melontarkan gagasan segar dan menarik, serta para perintis yang selalu bisa melihat bahwa film maupun serial tak sekadar karya hiburan semata.
Inilah 1st CERMIN AWARDS 2023 edisi 10 film dan serial internasional terbaik 2023. Judul film disusun berdasarkan alfabet.
1. Barbie (Sutradara: Greta Gerwig)
Foto:Warner Bros. Pictures
Tak pernah sedikit pun terbayangkan bahwa Barbie, sosok boneka paling terkenal sedunia yang juga diserang karena mencitrakan perempuan dengan standar kecantikan yang sulit digapai, akan menjadi pintu masuk bagi Greta Gerwig untuk memberi semacam kuliah filsafat dan sosiokultural yang asyik selama hampir dua jam. Tapi Greta, juga pasangannya, sesama sutradara sekaligus penulis, Noah Baumbach, bisa melakukannya seakan-akan ini adalah hal termudah di dunia.
Barbie dan Ken mengalami pengalaman yang berbeda di dunia nyata dan membuat Dunia Barbie berantakan ketika mereka kembali. Untungnya memang ada Gloria, satu-satunya pekerja perempuan di Mattel, perusahaan yang memproduksi boneka Barbie. Dalam pidatonya yang panjang dan sekaligus menggugah, Gloria menyentil kita yang selalu melihat perempuan dalam berbagai standar yang kerap kali mengungkung mereka.
Apa yang dibicarakan Gloria bisa jadi akan beresonansi hingga seabad mendatang terkait eksistensialisme perempuan. Bisa jadi ia akan dikutip banyak jurnal hingga tulisan panjang nan serius karena keberhasilannya menyadarkan kita bahwa selama ini hampir selalu kita memasukkan perempuan ke dalam kotak tertentu.
2. Killers of the Flower Moon (Sutradara: Martin Scorsese)
Foto: Paramount Pictures
Selama 3,5 jam Martin Scorsese memperlihatkan bahwa ketamakan bisa menjadi akar dari segala kejahatan termasuk kejahatan yang paling keji. Nyawa manusia tak lagi berarti, ia hanya sebanding dengan sebidang tanah yang terus menerus mengeluarkan minyak dari perut bumi. Ketamakan membuat manusia kehilangan kemanusiaannya, ketamakan membuat manusia kehilangan kewarasannya, dan ketamakan membuat manusia berhenti menjadi manusia begitu saja.
Dalam buku yang menjadi materi asli film ini, David Grann menuturkan dari kacamata agen FBI, Tom White, yang membongkar kejahatan demi kejahatan yang dilakukan dengan sistematis dan berdarah dingin atas suku Osage di Oklahoma pada tahun 1920-an. Sementara filmnya mendekatkan dirinya pada sumber cerita dan berpusat pada Ernest Burkhart, keponakan sekaligus kaki tangan dari William King Hale yang menjadi otak dari segala kejahatan biadab itu. Martin berani melakukan perombakan besar-besaran terutama terkait dari sisi perspektif bagaimana cerita ini dikisahkan.
3. La Luna (Sutradara: Raihan Halim)
Foto: Golden Village
La Luna memang pantas disaksikan di layar besar. Siapa yang tak tergelitik dengan premisnya tentang kehadiran toko pakaian dalam perempuan yang hadir di sebuah desa yang sangat Islami dan kelak mengguncang sendi-sendi kehidupan di dalamnya. Di tangan sutradara Raihan Halim, kritik soal susahnya kita menerima perubahan bisa tersampaikan dengan begitu jenaka tapi pada saat bersamaan juga bisa begitu jernih dan telak.
Tak tercium pretensi untuk menceramahi penonton akan terjadinya pergeseran nilai karena kita melihat Raihan sekadar menghidangkan yang sebenarnya sudah kita ketahui, mungkin juga kita alami, dengan lebih jelas di depan mata kita.
Pelan-pelan pula kita melihat Raihan menggeser La Luna dari komedi pengocok tawa menjadi sebuah kritik sosial yang sesungguhnya pedas. Kita juga melihat La Luna berubah menjadi tempat aman bagi perempuan yang mengalami KDRT dari suaminya.
Sebagaimana yang diucapkan Hanie ketika ditanya mengapa lampu penanda La Luna yang terang benderang perlu menyala sepanjang malam, ia menjawab bahwa pada suatu masa lampu penanda itu diartikan sebagian perempuan pelanggannya sebagai beacon of hope (suar harapan).
Selama lampu itu menyala, selama itu pula ada ruang aman bagi perempuan untuk menyelamatkan diri dari kemalangan yang hendak menimpanya.
4. MAESTRO (Sutradara: Bradley Cooper)
Foto: Netflix
Dari A Star Is Born ke Maestro adalah lompatan luar biasa jauh bagi Bradley Cooper. Ia kini mendorong dirinya ke luar dari kenyamanan, masuk menelikung ke dalam kehidupan Lenny (panggilan Leonard) dan istrinya, Felicia, yang tak banyak diketahui orang.
Bradley menulis skenarionya bersama Josh Singer dan sekaligus memainkan peran sebagai Leonard. Bahkan Martin Scorsese dan Steven Spielberg yang menjadi produser dalam Maestro tak bisa melakukan yang dilakoni Bradley sekaligus.
Di tangan Bradley, kita melihat sosok flamboyan Lenny sejak awal. Mudah sekali akrab dengan siapa pun berkat pembawaannya yang ceria dan sekaligus karismatik, juga tentu saja dengan kepiawaiannya melakoni beragam peran (sebagaimana Bradley). Lenny adalah seorang dirigen, komposer, serta pencipta lagu.
Tapi Lenny juga adalah seorang suami bagi Felicia yang sangat mencintainya dan tiga orang anak yang sangat mengidolakan ayahnya. Kita tahu ada 'musim panas' yang terus menggelegak dalam diri Lenny yang sudah dilihat Felicia sejak awal. 'Musim panas' itulah yang membuatnya hidup dan membuatnya bisa mengisi hidupnya dengan musik.
5. The Night of the 12th (Sutradara: Dominik Moll)
Foto:O'Brother Distribution
Kisah Clara dalam film The Night of the 12th yang diputar sebagai bagian dari Festival Sinema Prancis 2023 adalah sebuah kisah fiksi. Ia terinspirasi dari kisah nyata yang ditulis novelis Pauline Guena dalam sebuah buku yang sama menggetarkannya dengan tulisan Hikayat Kebo berjudul 18.3: A Year at the Station.
Dalam laman Books From France, buku ini ditulis sebagai “sebuah kisah yang luar biasa: untuk pertama kalinya, sebuah kantor polisi membuka pintunya bagi seorang novelis, yang menghabiskan satu tahun bersama pasukannya.Selama setahun, novelis Pauline Guéna magang di kantor polisi dekat Paris dalam regu kejahatan, narkoba, dan anti-kejahatan terorganisir".
"Siang dan malam, dari kantor yang kotor hingga tempat kejadian perkara, dari penangkapan hingga interogasi, dari petugas koroner hingga ibu yang menangis, dia melihat dan mencatat semuanya. Hasilnya adalah sebuah kisah sastra yang luar biasa, karena kegeniusan kreatif para penulis dengan mudah menyaingi para penjahat".
Dominic Moll merentang kisah Clara dalam sebuah penyelidikan yang meresahkan, membuat frustasi dan mengubah cara pandang kita tentang kemanusiaan. Yohan, polisi yang memimpin penyelidikan atas kasus Clara, awalnya seperti kita semua, ingin sesegera mungkin mengupas tuntas kasus kejahatan ini.
Bersama timnya, ia menyisir tempat kejadian perkara (TKP), mengumpulkan sejumlah bukti, mewawancarai banyak orang, tak hanya orang tua Clara yang remuk dengan peristiwa mengerikan, tapi juga para pria yang dianggap menjadi kawanan “pria yang salah yang dijatuhi cinta oleh Clara".
6. Oppenheimer (Sutradara: Christopher Nolan)
Foto:Universal Pictures
Yang membuat terkesima adalah cara Christopher Nolan mengambil pendekatan yang tak pernah terbayangkan. Ia menjadikan kisah bagaimana Robert J. Oppenheimer yang sebelumnya dianggap berjasa oleh negaranya lantas integritasnya hendak dihancurkan oleh kalangan tertentu hanya karena dendam pribadi.
Kita pun melihat Robert sama saja seperti kita, yang tak pernah imun dengan prasangka, selalu bergulat dengan emosi-emosi internalnya yang kompleks dan tak tercerabut dari statusnya sebagai seorang suami dan ayah. Selama tiga jam dipaku ke kursi bioskop, kita menyadari satu hal yang tak pernah sejelas ini sebelumnya: begini seharusnya kita membuat film biopik. Fokus, intens, dan memuat pergulatan-pergulatan emosi seorang manusia.
Dalam sebuah wawancara, pembuat film dokumenter peraih Oscar, Alex Gibney, mengatakan bahwa film biopik memang selayaknya punya esensi dan tahu titik serangnya. “It’s finding an essence. It’s finding an attack.” Ditambahkannya lagi bahwa film biopik yang bagus selayaknya menghindar dari keinginan melakukan semuanya. “I think the ones that are less successful are the ones that dutifully try to do everything, and in trying to do everything, end up with nothing.”
7. Pasti Lives (Sutradara: Celine Song)
Foto: CJ ENM
Past Lives membentangkan ceritanya dari usia Nora menginjak 12 tahun dan bersahabat dengan Hae Sung. Lebih tepatnya menjadi sahabat yang kompetitif. Terutama Nora yang selalu ingin mendapat peringkat di kelas yang lebih baik dari Hae Sung.
Tapi kita tahu bahwa cinta pertama bisa terjadi dengan beragam cara. Bagi Hae Sung, Nora adalah cinta pertamanya. Dan kita tahu cinta pertama susah betul dilupakan.
Bahkan hingga 24 tahun kemudian. Ketika Nora sudah bertahun-tahun bermigrasi ke Kanada dan akhirnya menikah dengan pria berkebangsaan Amerika. Hae Sung tetap setia dengan perasaan yang dipeliharanya bertahun-tahun. Perlahan Celine memperkenalkan kita dengan sebuah konsep yang menurutnya dikenal secara universal di Asia, tak hanya di Korea. Sebuah konsep yang dikenal dengan nama Inyeon.
Dalam konsep Budhisme Korea, in mengacu pada “penyebab langsung” dan yeon berarti “penyebab tidak langsung”, atau kondisi yang memungkinkan suatu hasil. Bersama-sama, in dan yeon memberikan penjelasan mengapa makhluk tertentu bertemu di tempat dan waktu tertentu.
Tidak jauh dari karma, inyeon dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana suatu hubungan terbentuk atau diberikan dari surga. Kata yeon lainnya yang sama dari inyeon ditemukan dalam pepatah Korea, cheon-saeng-yeon-bun,atau “pasangan yang dibuat di surga”. Inyeon tidak hanya ada di Korea, sebuah pepatah Tiongkok menyatakan bahwa jika ditakdirkan, orang akan bertemu meskipun mereka terpisah ribuan mil.
8. Slow Horses (Kreator: Will Smith)
Foto: Apple TV+
Sebagaimana novelnya yang meski awalnya tak dilirik, serialnya pun pelan-pelan menjaring pemirsa setia. Bisa jadi tak banyak yang membayangkan bahwa serial dengan enam episode dalam setiap musimnya tersebut bisa tampil mengejutkan.
Kreator sekaligus penulis skenario, Will Smith, berada di balik sukses Slow Horses karena berhasil mengeksekusi cerita dengan tensi ketegangan yang diperhitungkan secara presisi dalam tiap episodenya. Sebelumnya Will berpengalaman dalam serial Veep yang membuatnya beroleh Primetime Emmy sebanyak dua kali.
Selain faktor skenario, karakterisasi juga memegang peranan penting dalam sukses serial Slow Horses. Kita melihat karakter-karakter anomali yang bisa jadi belum pernah kita lihat dalam film-film yang sebelumnya mengetengahkan karakter agen rahasia.
Di sini kita melihat sosok para agen tangguh yang bekerja tanpa dukungan besar, rela mempertaruhkan nyawa, dan yang paling penting tak kurang cemerlang dari para agen rahasia yang mendapat fasilitas berlimpah di Regent Park. Jackson yang menjadi pemimpin bukanlah jenis pemimpin yang biasa kita lihat dalam rantai komando agen rahasia.
Penampilan fisiknya sama sekali tak mendukung, ia juga tak pernah berusaha menonjol, tapi kita tahu betapa cemerlangnya ia. Betapa intuitifnya ia merasakan sebuah ancaman akan terjadi dan betapa tenangnya ia mengantisipasi setiap kejadian.
9. Succession (Kreator: Jesse Armstrong)
Foto: HBO Go
Serial Succesion tayang perdana di HBO Go pada 3 Juni 2018. Sebuah serial yang tak pernah menjadi unggulan dan kelak menjadi game changer dalam industri televisi. Sebuah potret mencekam tentang suksesi kepemimpinan di sebuah keluarga kaya yang brutal dan kejam. Sebuah kisah yang mengingatkan kita pada tragedi Yunani dan mitos Romawi.
Dengan gaya penceritaan yang khas dan sering terasa mirip seperti dokumenter, kita diajak memasuki kehidupan keluarga konglomerat, Logan Roy dan keempat anaknya, Connor, Kendall, Siobhan, dan Roman. Pendekatan sedemikian efektif membuat kita terjerumus ke dalam cerita dengan lebih dalam dan diajak melihat segala ketelanjangan sikap, karakter dan dosa-dosa yang dimiliki keluarga kaya ini.
Dan Succession memang terasa betul mengingatkan kita pada tragedi Yunani dan mitos Romawi. Dalam beberapa episode, referensi itu juga ditabur secara cermat oleh tim penulis yang brilyan.
Dalam salah satu episode, salah satu anggota dewan Waystar Royco berucap pada Roman, “You and Kendall are thinking of killing your dad? Well, that’s a little Greek tragedy”. Dalam episode lainnya saat sebuah perjamuan, Logan bahkan memperkenalkan keluarganya sebagai, “Like Romans among the Greeks. I’m sure you find us all rather, you know, big, vulgar, and boisterous”.
10. Ted Lasso (Kreator: Brendan Hunt, Joe Kelly, Billy Lawrence)
Foto: Apple TV+
Serial Ted Lasso tayang perdana di Apple TV pada 14 Agustus 2020, saat seantero dunia tengah dilanda ketakutan akibat jutaan orang meninggal karena COVID-19. Sosok Ted menyeruak di ruang keluarga, memberi tontonan yang memberi rasa hangat di hati dan memperkenalkan kembali sosok Jason Sudeikis ke tengah masyarakat.
NamunTed Lasso tak cuma mahir menampilkan sisi tiga dimensi dari karakter utamanya. Serial ini juga dengan brilian dan realistis memotret situasi yang terjadi pada sebuah klub sepak bola dengan segala macam tingkah para pemainnya, dengan beragam situasi yang melingkupinya, juga dengan kisah sampingan seputar manajer hingga humas klub.
Selama tiga musim, kita melihat bagaimana serial ini bertumbuh dan semakin cemerlang kualitasnya dari waktu ke waktu. Kita juga melihat bagaimana karakter-karakternya diberi ruang lebar untuk bertumbuh, memperlihatkan bahwa mereka juga manusia,
Bukan sekadar wayang yang ditiupkan nyawa oleh para penulis skenario. Terutama kita melihat bagaimana Ted berjuang untuk tak lagi sekadar membahagiakan sekelilingnya, tapi terutama menjadi bahagia untuk dirinya sendiri.
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Lihat Juga: 5 Drama China Terpopuler pada November 2024, Rekomendasi Terbaik untuk Pecinta Serial Asia
(ita)