Review Aquaman and the Lost Kingdom: Pameran Aksi Minim Esensi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Aquaman and the Lost Kingdom tayang mulai hari ini (20/12), dan menjadi film ke-15 alias penutup cerita panjang DC Extended Universe (DCEU).
Dari 15 film tersebut, hanya Aquaman (2018) yang sanggup menembus pendapatan hingga USD1 miliar. Ini membuktikan film garapan James Wan tersebut tergolong anomali di antara deretan film-film DCEU, yang harus diakui secara keseluruhan lebih dekat dengan julukan "gagal" dibanding "berhasil".
Meski begitu, catatan skor Aquaman sebenarnya juga tak terlalu impresif. Di situs web Rotten Tomatoes, rating dari kritikus hanya 65%/100% dari 400 lebih orang. Sementara dari penonton umum sebesar 72% dari lebih 25 ribu orang. Adapun di IMDb, ratingnya lebih kecil lagi, hanya 6,8/10 dari 500-an ribu pemberi nilai.
Walau begitu, satu kunci yang dipahami betul oleh James Wan saat membuat Aquaman adalah, penonton hanya ingin bersenang-senang di dalam studio bioskop. Karena itulah, resep membuat film blockbuster yang secara jor-joran menampilkan adegan action penuh CGI nyaris tanpa jeda, berhasil dan membuat Warner Bros. Pictures meraup untung.
Rumus ini pula yang kembali dipakai Wan dalam membuat sekuelnya, Aquaman and the Lost Kingdom. Dengan kembali membawa para pemain utama, Wan juga lantas menambah dosis adegan laganya menjadi berlipat-lipat dari sebelumnya, memakai lokasi yang lebih banyak lagi.
Foto: Warner Bros. Pictures
Untuk melakukannya, diciptakanlah cerita tentang David Kane alias Black Manta (Yahya Abdul-Mateen II) yang masih menyimpan bara dendam pada Aquaman karena kematian ayahnya. Dibantu ilmuwan Dr. Shin (Randall Park), ia mencuri sumber daya penting dari Atlantis yang dipakai untuk menambah kekuatannya dalam rangka menumbangkan Aquaman.
Sementara itu, Aquaman yang menyadari kekuatan Black Manta bertambah berlipat-lipat, akhirnya meminta bantuan adiknya yang ia penjarakan, Orm (Patrick Wilson), untuk membantunya. Dari sini, kisah tentang kerajaan yang hilang, ambisi yang membabi buta, pemanasan global, serta bromance menyelip mengisi jalannya durasi film.
Untuk menggambarkan ini semua, James Wan menggunakan sedikitnya lima dunia yang berbeda. Dibuka dengan dunia daratan di rumah Aquaman yang hangat, lalu berpindah ke kapal selam mahaluas buatan Dr. Shin dan Black Manta, berlanjut ke Atlantis dan kerajaan lainnya, lalu ke gurun pasir, dan berakhir di Necrus, kerajaan yang hilang.
Foto: Warner Bros. Pictures
Masing-masing dunia ini diciptakan dengan kekuatan CGI yang impresif, meski kadang adegan laganya jadi tak tertangkap mata dengan baik, terutama pertarungan yang terjadi di dalam lautan. Lebih gila lagi, di setiap dunia itu selalu ada pertarungan tanpa jeda yang menunjukkan kekuatan fisik Aquaman.
Dalam scene-scene tersebut, Aquaman akan selalu terlihat berlari dan berenang dengan sangat cepat, melempar senjatanya, menggebuk orang, dan berbagai aksi lainnya. Meski tak banyak variasi kekuatan yang ditampilkan, tapi bagi penyuka adegan laga, ini rasanya sudah sangat cukup.
Aquaman and the Lost Kingdombisa dibilang adalah definisi yang tepat untuk menyebut film blockbuster; besar, bising, konyol, dan sering kali minim esensi. James Wan sepertinya memang memilih untuk tidak mengisi durasinya dengan kisah atau penceritaan yang lebih kuat dan menarik di samping gumpalan besar adegan action.
Foto: Warner Bros. Pictures
Padahal, kisah bromance Arthur dan Orm sebagai kakak beradik sangat asyik jika dieksplorasi lagi. Chemistry mereka yang kuat jelas melesat jauh meninggalkan interaksi Arthur dengan Mera (Amber Heard), yang kini porsi kemunculannya sangat jauh berkurang.
Gambaran keluarga Arthur yang kini telah memiliki bayi laki-laki juga menarik. Apalagi filmnya dibuka dengan menggambarkan sosok Aquaman sebagai ayah yang menyentuh sekaligus kocak. Namun sekali lagi, sayangnya Wan memilih tak memakai 'senjata'tersebut sebagai pemikat sekuel ini.
Dengan pilihan tersebut, Aquaman and the Lost Kingdom mungkin masih tetap akan memuaskan penonton film pertamanya. Namun bagi yang mencari sesuatu yang segar, film ini bisa jadi akan membosankan.
Dari 15 film tersebut, hanya Aquaman (2018) yang sanggup menembus pendapatan hingga USD1 miliar. Ini membuktikan film garapan James Wan tersebut tergolong anomali di antara deretan film-film DCEU, yang harus diakui secara keseluruhan lebih dekat dengan julukan "gagal" dibanding "berhasil".
Meski begitu, catatan skor Aquaman sebenarnya juga tak terlalu impresif. Di situs web Rotten Tomatoes, rating dari kritikus hanya 65%/100% dari 400 lebih orang. Sementara dari penonton umum sebesar 72% dari lebih 25 ribu orang. Adapun di IMDb, ratingnya lebih kecil lagi, hanya 6,8/10 dari 500-an ribu pemberi nilai.
Walau begitu, satu kunci yang dipahami betul oleh James Wan saat membuat Aquaman adalah, penonton hanya ingin bersenang-senang di dalam studio bioskop. Karena itulah, resep membuat film blockbuster yang secara jor-joran menampilkan adegan action penuh CGI nyaris tanpa jeda, berhasil dan membuat Warner Bros. Pictures meraup untung.
Rumus ini pula yang kembali dipakai Wan dalam membuat sekuelnya, Aquaman and the Lost Kingdom. Dengan kembali membawa para pemain utama, Wan juga lantas menambah dosis adegan laganya menjadi berlipat-lipat dari sebelumnya, memakai lokasi yang lebih banyak lagi.
Foto: Warner Bros. Pictures
Untuk melakukannya, diciptakanlah cerita tentang David Kane alias Black Manta (Yahya Abdul-Mateen II) yang masih menyimpan bara dendam pada Aquaman karena kematian ayahnya. Dibantu ilmuwan Dr. Shin (Randall Park), ia mencuri sumber daya penting dari Atlantis yang dipakai untuk menambah kekuatannya dalam rangka menumbangkan Aquaman.
Sementara itu, Aquaman yang menyadari kekuatan Black Manta bertambah berlipat-lipat, akhirnya meminta bantuan adiknya yang ia penjarakan, Orm (Patrick Wilson), untuk membantunya. Dari sini, kisah tentang kerajaan yang hilang, ambisi yang membabi buta, pemanasan global, serta bromance menyelip mengisi jalannya durasi film.
Untuk menggambarkan ini semua, James Wan menggunakan sedikitnya lima dunia yang berbeda. Dibuka dengan dunia daratan di rumah Aquaman yang hangat, lalu berpindah ke kapal selam mahaluas buatan Dr. Shin dan Black Manta, berlanjut ke Atlantis dan kerajaan lainnya, lalu ke gurun pasir, dan berakhir di Necrus, kerajaan yang hilang.
Foto: Warner Bros. Pictures
Masing-masing dunia ini diciptakan dengan kekuatan CGI yang impresif, meski kadang adegan laganya jadi tak tertangkap mata dengan baik, terutama pertarungan yang terjadi di dalam lautan. Lebih gila lagi, di setiap dunia itu selalu ada pertarungan tanpa jeda yang menunjukkan kekuatan fisik Aquaman.
Dalam scene-scene tersebut, Aquaman akan selalu terlihat berlari dan berenang dengan sangat cepat, melempar senjatanya, menggebuk orang, dan berbagai aksi lainnya. Meski tak banyak variasi kekuatan yang ditampilkan, tapi bagi penyuka adegan laga, ini rasanya sudah sangat cukup.
Aquaman and the Lost Kingdombisa dibilang adalah definisi yang tepat untuk menyebut film blockbuster; besar, bising, konyol, dan sering kali minim esensi. James Wan sepertinya memang memilih untuk tidak mengisi durasinya dengan kisah atau penceritaan yang lebih kuat dan menarik di samping gumpalan besar adegan action.
Foto: Warner Bros. Pictures
Padahal, kisah bromance Arthur dan Orm sebagai kakak beradik sangat asyik jika dieksplorasi lagi. Chemistry mereka yang kuat jelas melesat jauh meninggalkan interaksi Arthur dengan Mera (Amber Heard), yang kini porsi kemunculannya sangat jauh berkurang.
Gambaran keluarga Arthur yang kini telah memiliki bayi laki-laki juga menarik. Apalagi filmnya dibuka dengan menggambarkan sosok Aquaman sebagai ayah yang menyentuh sekaligus kocak. Namun sekali lagi, sayangnya Wan memilih tak memakai 'senjata'tersebut sebagai pemikat sekuel ini.
Dengan pilihan tersebut, Aquaman and the Lost Kingdom mungkin masih tetap akan memuaskan penonton film pertamanya. Namun bagi yang mencari sesuatu yang segar, film ini bisa jadi akan membosankan.
(ita)