CERMIN: Benturan Teori Kelas Karl Marx dan Mitologi Romawi/Yunani
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1848. The Communist Manifesto dipublikasikan pertama kali sebagai pamflet politik oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, dan kelak memperkenalkan teori kelas yang populer.
Dalam teori kelas Karl Marx, ia mengemukakan bahwa kelas-kelas sosial dapat terbentuk karena adanya faktor-faktor ekonomi seperti hubungan antara kepemilikan alat produksi dan nonkepemilikan alat produksi. Dalam buku The Communist Manifesto(sebelumnya lebih dikenal sebagai Manifesto of the Communist Party), Karl mengidentifikasikan kesenjangan dua kelas yaitu kelas proletariat (rakyat biasa) dan kelas borjuis (kalangan atas) dalam masyarakat kapitalisme.
Sejak pertama kali terbit sebagai novel pada 14 September 2008, The Hunger Games mencuri perhatian karena memperlihatkan apa yang terjadi pada sebuah masa distopia pasca-apokalips. Suzanne Collins dengan sangat menarik menggambarkan bagaimana kesenjangan luar biasa besar terjadi antara dua kelas tersebut di Capitol, ibu kota negara Panem. Kesenjangan yang terjadi dengan begitu disengaja, begitu berlarut-larut yang kelak tak pelak akan memunculkan benih-benih pemberontakan.
Kondisi di atas sesungguhnya sudah disadari sejak lama. Karl pun sudah menulis dalam bukunya yang termasyhur itu bahwa dengan berbagai cara, kelas yang lebih tinggi akan selalu menindas kelas yang lebih rendah dan itu adalah sejarah lazim yang dialami manusia. Dan tentu saja menjadi bahan baku yang menarik bagi The Hunger Games yang kelak menjadi franchise luar biasa mewujud menjadi empat judul film super-laris yang dirilis terentang sepanjang tahun 2012-2015.
Setelah 11 tahun berlalu sejak perilisan perdana film The Hunger Games, apa yang akan tersisa dengan judul baru The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes?
Foto: Lionsgate
Jika empat judul film sebelumnya terasa sangat kuat membenturkan sistem kelas, maka judul terbaru justru terasa sangat kuat pengaruh mitologi Romawi/Yunani. Dalam sebuah wawancara, Suzanne memang secara terang-terangan bilang bahwa ia dipengaruhi oleh mitologi Romawi/Yunani.
“Cerita ini sangat didasarkan pada mitos Theseus dan Minotaur yang saya baca ketika saya berumur delapan tahun. Saya adalah penggemar berat mitologi Yunani dan Romawi. Sebagai hukuman karena tidak menyenangkan Kreta, Athena secara berkala harus mengirim tujuh pemuda dan tujuh gadis ke Kreta, mereka dilemparkan ke labirin dan dimakan oleh Minotaur, yaitu monster setengah manusia dan setengah banteng," ujarnya.
"Bahkan ketika saya masih kecil, ceritanya membuat saya takjub, karena sangat kejam, dan Kreta sangat kejam. Siklus ini tidak berakhir sampai Theseus mengajukan diri untuk pergi, dan dia membunuh Minotaur. Dengan caranya sendiri, Katniss (pahlawan dalam The Hunger Games) adalah Theseus yang futuristik. Tapi saya tidak ingin membuat cerita labirin. Jadi saya memutuskan untuk menulis versi terbaru dari permainan gladiator Romawi,” imbuhnya.
Maka The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes adalah awal dari segalanya. Dasar dari segala pijakan. Pembuka dari segala masalah demi masalah yang akan muncul mengiringi pergesekan antarkelas di Capitol. Penting sekali bagi film ini untuk meletakkannya pada posisi yang tepat mengingat empat jilid The Hunger Games sebelumnya adalah parade sukses yang masif.
Foto: Lionsgate
Sayangnya memang dengan durasi sepanjang 157 menit yang dipunyainya, Francis Lawrence tak bisa dibilang sukses menyajikan kisah yang mencekam, menggugah, sekaligus merangkum banyak hal yang bisa menjelaskan asal muasal dari empat jilid sebelumnya. Di tangan Michael Arndt yang pernah sukses menulis Little Miss Sunshine, ritme film terasa sangat lamban, terjatuh menjadi sangat membosankan dan tidak bisa membongkar banyak hal.
Kompleksitas masa lalu Coriolanus Snow yang seharusnya menjadi daya tarik terbesar pun terasa dituturkan ala kadarnya sehingga kita melihat Coryo (sebagaimana panggilan teman-temannya) hanya seperti seorang pemuda yang ambisius semata, bukan bakal calon presiden Panem.
Alih-alih fokus membongkar kompleksitas masa lalu Coryo, skenario justru terasa mencoba berlama-lama menyorot sosok Lucy Gray. Di tangan Rachel Zegler yang memeraninya, Lucy memang menjadi sosok yang magnetik dan membius dengan lagu-lagu baladanya.
Namun tak lebih dari itu. Rachel Zegler bukanlah Jennifer Lawrence yang memang aslinya berkarakter kuat sehingga dengan mudah menyatu menjadi simbol pemberontakan kelas dalam wujud Katniss Everdeen.
Foto: Lionsgate
Karena itulah yang bisa kita kenang dari The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes mungkin hanyalah sebuah awal mula dari sebuah acara reality show yang mengadu para pemuda dari berbagai distrik untuk saling membunuh. Tak lebih dari itu.
Francis dan Michael sukses menisbikan yang sudah dibangun dengan menarik oleh Suzanne dalam novelnya: tentang pergesekan antarkelas, tentang penindasan kelas yang lebih rendah, dan terutama tentang pemberontakan dari mereka yang merasa diperlakukan tak adil oleh negara.
Sesuatu yang sebenarnya masih sangat relevan dengan yang kita lihat hari-hari ini di banyak tempat di dunia ini. Apa boleh buat, duet Francis dan Michael kali ini mengacaukan hal yang paling kita cintai dari franchise ini yang entah kenapa mirip dengan yang dikatakan Coryo. “It’s the things we love most, that destroy us”.
The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes
Produser: Nina Jacobson, Francis Lawrence, Brad Simpson
Sutradara: Francis Lawrence
Penulis Skenario: Michael Arndt, Michael Lesslie
Pemain: Tom Blyth, Rachel Zegler, Viola Davis
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Dalam teori kelas Karl Marx, ia mengemukakan bahwa kelas-kelas sosial dapat terbentuk karena adanya faktor-faktor ekonomi seperti hubungan antara kepemilikan alat produksi dan nonkepemilikan alat produksi. Dalam buku The Communist Manifesto(sebelumnya lebih dikenal sebagai Manifesto of the Communist Party), Karl mengidentifikasikan kesenjangan dua kelas yaitu kelas proletariat (rakyat biasa) dan kelas borjuis (kalangan atas) dalam masyarakat kapitalisme.
Sejak pertama kali terbit sebagai novel pada 14 September 2008, The Hunger Games mencuri perhatian karena memperlihatkan apa yang terjadi pada sebuah masa distopia pasca-apokalips. Suzanne Collins dengan sangat menarik menggambarkan bagaimana kesenjangan luar biasa besar terjadi antara dua kelas tersebut di Capitol, ibu kota negara Panem. Kesenjangan yang terjadi dengan begitu disengaja, begitu berlarut-larut yang kelak tak pelak akan memunculkan benih-benih pemberontakan.
Kondisi di atas sesungguhnya sudah disadari sejak lama. Karl pun sudah menulis dalam bukunya yang termasyhur itu bahwa dengan berbagai cara, kelas yang lebih tinggi akan selalu menindas kelas yang lebih rendah dan itu adalah sejarah lazim yang dialami manusia. Dan tentu saja menjadi bahan baku yang menarik bagi The Hunger Games yang kelak menjadi franchise luar biasa mewujud menjadi empat judul film super-laris yang dirilis terentang sepanjang tahun 2012-2015.
Setelah 11 tahun berlalu sejak perilisan perdana film The Hunger Games, apa yang akan tersisa dengan judul baru The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes?
Foto: Lionsgate
Jika empat judul film sebelumnya terasa sangat kuat membenturkan sistem kelas, maka judul terbaru justru terasa sangat kuat pengaruh mitologi Romawi/Yunani. Dalam sebuah wawancara, Suzanne memang secara terang-terangan bilang bahwa ia dipengaruhi oleh mitologi Romawi/Yunani.
“Cerita ini sangat didasarkan pada mitos Theseus dan Minotaur yang saya baca ketika saya berumur delapan tahun. Saya adalah penggemar berat mitologi Yunani dan Romawi. Sebagai hukuman karena tidak menyenangkan Kreta, Athena secara berkala harus mengirim tujuh pemuda dan tujuh gadis ke Kreta, mereka dilemparkan ke labirin dan dimakan oleh Minotaur, yaitu monster setengah manusia dan setengah banteng," ujarnya.
"Bahkan ketika saya masih kecil, ceritanya membuat saya takjub, karena sangat kejam, dan Kreta sangat kejam. Siklus ini tidak berakhir sampai Theseus mengajukan diri untuk pergi, dan dia membunuh Minotaur. Dengan caranya sendiri, Katniss (pahlawan dalam The Hunger Games) adalah Theseus yang futuristik. Tapi saya tidak ingin membuat cerita labirin. Jadi saya memutuskan untuk menulis versi terbaru dari permainan gladiator Romawi,” imbuhnya.
Maka The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes adalah awal dari segalanya. Dasar dari segala pijakan. Pembuka dari segala masalah demi masalah yang akan muncul mengiringi pergesekan antarkelas di Capitol. Penting sekali bagi film ini untuk meletakkannya pada posisi yang tepat mengingat empat jilid The Hunger Games sebelumnya adalah parade sukses yang masif.
Foto: Lionsgate
Sayangnya memang dengan durasi sepanjang 157 menit yang dipunyainya, Francis Lawrence tak bisa dibilang sukses menyajikan kisah yang mencekam, menggugah, sekaligus merangkum banyak hal yang bisa menjelaskan asal muasal dari empat jilid sebelumnya. Di tangan Michael Arndt yang pernah sukses menulis Little Miss Sunshine, ritme film terasa sangat lamban, terjatuh menjadi sangat membosankan dan tidak bisa membongkar banyak hal.
Kompleksitas masa lalu Coriolanus Snow yang seharusnya menjadi daya tarik terbesar pun terasa dituturkan ala kadarnya sehingga kita melihat Coryo (sebagaimana panggilan teman-temannya) hanya seperti seorang pemuda yang ambisius semata, bukan bakal calon presiden Panem.
Alih-alih fokus membongkar kompleksitas masa lalu Coryo, skenario justru terasa mencoba berlama-lama menyorot sosok Lucy Gray. Di tangan Rachel Zegler yang memeraninya, Lucy memang menjadi sosok yang magnetik dan membius dengan lagu-lagu baladanya.
Namun tak lebih dari itu. Rachel Zegler bukanlah Jennifer Lawrence yang memang aslinya berkarakter kuat sehingga dengan mudah menyatu menjadi simbol pemberontakan kelas dalam wujud Katniss Everdeen.
Foto: Lionsgate
Karena itulah yang bisa kita kenang dari The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes mungkin hanyalah sebuah awal mula dari sebuah acara reality show yang mengadu para pemuda dari berbagai distrik untuk saling membunuh. Tak lebih dari itu.
Francis dan Michael sukses menisbikan yang sudah dibangun dengan menarik oleh Suzanne dalam novelnya: tentang pergesekan antarkelas, tentang penindasan kelas yang lebih rendah, dan terutama tentang pemberontakan dari mereka yang merasa diperlakukan tak adil oleh negara.
Sesuatu yang sebenarnya masih sangat relevan dengan yang kita lihat hari-hari ini di banyak tempat di dunia ini. Apa boleh buat, duet Francis dan Michael kali ini mengacaukan hal yang paling kita cintai dari franchise ini yang entah kenapa mirip dengan yang dikatakan Coryo. “It’s the things we love most, that destroy us”.
The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes
Produser: Nina Jacobson, Francis Lawrence, Brad Simpson
Sutradara: Francis Lawrence
Penulis Skenario: Michael Arndt, Michael Lesslie
Pemain: Tom Blyth, Rachel Zegler, Viola Davis
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)