Review Film Rabu yang Bahagia: Satu Hari yang Biasa bagi Danang dan Bapaknya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Saya masih ingat betul peristiwa yang membuat saya harus keluar dari rumah. Untuk kesekian kalinya adik saya yang menggunakan narkoba berulah dan menjual barang paling berharga saya: sebuah tape recorder dua pintu yang saya beli dari hasil menjadi penyiar radio dengan susah payah.
Saya murka dan malam itu juga memutuskan cabut dari rumah. Waktu itu saya masih di tahun kedua kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Usia saya tak lebih dari 20 tahun.
Saya ingat meninggalkan rumah dengan tergesa-gesa. Tak banyak barang yang saya bawa. Dan menuju jalan utama untuk naik angkot.
Tanpa saya sadari, ayah saya mengikuti dengan terengah-engah. Ia membujuk saya untuk tak meninggalkan rumah. Tapi saya bergeming. Niat saya sudah bulat.
Sejak itu hubungan saya dengan Ayah memburuk. Semakin memburuk ketika saya meninggalkan Makassar menuju Jakarta pada akhir tahun 2005 tanpa sepengetahuannya. Ayah saya marah besar karena saya memutuskan untuk tak melanjutkan mengejar cita-cita menjadi dokter.
Foto: Carnival Films
Mungkin karena hubungan saya dengan ayah saya yang buruk itu membuat saya malah menyukai film tentang hubungan ayah dan anak. Salah satu yang menjadi favorit saya adalah film Prancis berjudul Le Grand Voyage yang saya tonton di Jakarta International Film Festival 2005.
Le Grand Voyage membawa kita menyusuri perjalanan jarak jauh dari Prancis ke Makkah sekaligus melihat hubungan berjarak antara ayah dan anak. Sepanjang durasinya, Ismail Ferroukhi membuat saya melihat lebih jernih apa yang sesungguhnya terjadi antara saya dan ayah saya. Ada komunikasi yang macet, ada harapan satu sama lain yang tak tergapai, ada keinginan-keinginan yang tak terucapkan.
Tapi yang dialami Danang dan bapaknya dalam film pendek Rabu yang Bahagia tak separah yang dialami Reda dan ayahnya dalam Le Grand Voyage, juga yang saya alami sendiri. Meski sudah memutuskan tak bekerja kantoran selama dua tahun dan memilih jalan hidupnya menjadi aktor, hidup Danang tak susah-susah amat.
Komunikasi dengan bapaknya pun sesungguhnya cukup lancar. Keduanya masih bisa bercanda, sang bapak masih bisa memukul mesra kepala anaknya dan keduanya pun masih bisa bercakap dengan lancar.
Rabu yang Bahagia yang baru saja meraih Jakarta Film Fund Award dari Jakarta Film Week 2023 hanya ingin memperlihatkan satu hari yang biasa antara anak dan bapaknya. Tak kelihatan ada masalah besar di antara mereka, tak ada urgensi yang membuat Danang harus merasa takut ayahnya tak bisa memahami apa keinginannya untuk menjalani hidup.
Foto: Carnival Films
Tapi sesungguhnya ada yang lebih penting dari pengakuan Danang yaitu kerinduan seorang anak kepada bapaknya. Sayangnya memang hal ini tak dieksplorasi oleh skenario dan bisa membuat film terasa lebih menyentuh hati. Padahal film ini punya durasi hingga 21 menit. Lebih dari cukup untuk bisa mengeksplorasi beberapa hal yang terjadi antara Danang dan bapaknya.
Medium film pendek adalah medium yang unik dan memberi keleluasaan bagi pembuat untuk melakukan eksplorasi seliar yang diinginkan. Saya sudah menyutradarai lima film pendek sejak tahun 2019 dan salah satu materi cerita yang selalu menarik perhatian saya adalah tentang hubungan.
Saya mengeksplorasi hubungan yang tak lagi sehat dari pasangan suami istri dalam Family Room, lantas mengupas hubungan yang rumit antara anak dengan ayah dan ibu yang baru saja meninggal dalam Hari Ke 40, juga memotret hubungan pasangan (mantan) kekasih dalam The Dessert.
Skenario memang selalu menjadi kunci untuk bisa membicarakan beberapa hal yang penting dalam cerita sekaligus dalam waktu singkat. Diperlukan keterampilan bercerita yang kuat agar film pendek tak terasa berpanjang-panjang durasinya.
Bisa jadi saya berbeda dengan penonton kebanyakan dari Rabu yang Bahagia. Saya baru merasakan hati saya tersentuh ketika menulis tulisan ini sembari mengingat-ingat apa yang pernah saya alami dengan ayah saya.
Foto: Carnival Films
Ajaibnya hubungan saya dengan ayah justru membaik ketika kami malah tinggal terpisah ribuan kilometer jauhnya. Bahkan semakin membaik ketika saya punya anak. Hingga hari ini jika bertelepon dengan ayah saya, beliau masih saja selalu mengingatkan untuk tak lupa salat. Meski saya sendiri sudah punya dua orang anak, tetap saja saya adalah anak dari ayah saya.
Saya murka dan malam itu juga memutuskan cabut dari rumah. Waktu itu saya masih di tahun kedua kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Usia saya tak lebih dari 20 tahun.
Saya ingat meninggalkan rumah dengan tergesa-gesa. Tak banyak barang yang saya bawa. Dan menuju jalan utama untuk naik angkot.
Tanpa saya sadari, ayah saya mengikuti dengan terengah-engah. Ia membujuk saya untuk tak meninggalkan rumah. Tapi saya bergeming. Niat saya sudah bulat.
Sejak itu hubungan saya dengan Ayah memburuk. Semakin memburuk ketika saya meninggalkan Makassar menuju Jakarta pada akhir tahun 2005 tanpa sepengetahuannya. Ayah saya marah besar karena saya memutuskan untuk tak melanjutkan mengejar cita-cita menjadi dokter.
Foto: Carnival Films
Mungkin karena hubungan saya dengan ayah saya yang buruk itu membuat saya malah menyukai film tentang hubungan ayah dan anak. Salah satu yang menjadi favorit saya adalah film Prancis berjudul Le Grand Voyage yang saya tonton di Jakarta International Film Festival 2005.
Le Grand Voyage membawa kita menyusuri perjalanan jarak jauh dari Prancis ke Makkah sekaligus melihat hubungan berjarak antara ayah dan anak. Sepanjang durasinya, Ismail Ferroukhi membuat saya melihat lebih jernih apa yang sesungguhnya terjadi antara saya dan ayah saya. Ada komunikasi yang macet, ada harapan satu sama lain yang tak tergapai, ada keinginan-keinginan yang tak terucapkan.
Tapi yang dialami Danang dan bapaknya dalam film pendek Rabu yang Bahagia tak separah yang dialami Reda dan ayahnya dalam Le Grand Voyage, juga yang saya alami sendiri. Meski sudah memutuskan tak bekerja kantoran selama dua tahun dan memilih jalan hidupnya menjadi aktor, hidup Danang tak susah-susah amat.
Komunikasi dengan bapaknya pun sesungguhnya cukup lancar. Keduanya masih bisa bercanda, sang bapak masih bisa memukul mesra kepala anaknya dan keduanya pun masih bisa bercakap dengan lancar.
Rabu yang Bahagia yang baru saja meraih Jakarta Film Fund Award dari Jakarta Film Week 2023 hanya ingin memperlihatkan satu hari yang biasa antara anak dan bapaknya. Tak kelihatan ada masalah besar di antara mereka, tak ada urgensi yang membuat Danang harus merasa takut ayahnya tak bisa memahami apa keinginannya untuk menjalani hidup.
Foto: Carnival Films
Tapi sesungguhnya ada yang lebih penting dari pengakuan Danang yaitu kerinduan seorang anak kepada bapaknya. Sayangnya memang hal ini tak dieksplorasi oleh skenario dan bisa membuat film terasa lebih menyentuh hati. Padahal film ini punya durasi hingga 21 menit. Lebih dari cukup untuk bisa mengeksplorasi beberapa hal yang terjadi antara Danang dan bapaknya.
Medium film pendek adalah medium yang unik dan memberi keleluasaan bagi pembuat untuk melakukan eksplorasi seliar yang diinginkan. Saya sudah menyutradarai lima film pendek sejak tahun 2019 dan salah satu materi cerita yang selalu menarik perhatian saya adalah tentang hubungan.
Saya mengeksplorasi hubungan yang tak lagi sehat dari pasangan suami istri dalam Family Room, lantas mengupas hubungan yang rumit antara anak dengan ayah dan ibu yang baru saja meninggal dalam Hari Ke 40, juga memotret hubungan pasangan (mantan) kekasih dalam The Dessert.
Skenario memang selalu menjadi kunci untuk bisa membicarakan beberapa hal yang penting dalam cerita sekaligus dalam waktu singkat. Diperlukan keterampilan bercerita yang kuat agar film pendek tak terasa berpanjang-panjang durasinya.
Bisa jadi saya berbeda dengan penonton kebanyakan dari Rabu yang Bahagia. Saya baru merasakan hati saya tersentuh ketika menulis tulisan ini sembari mengingat-ingat apa yang pernah saya alami dengan ayah saya.
Foto: Carnival Films
Ajaibnya hubungan saya dengan ayah justru membaik ketika kami malah tinggal terpisah ribuan kilometer jauhnya. Bahkan semakin membaik ketika saya punya anak. Hingga hari ini jika bertelepon dengan ayah saya, beliau masih saja selalu mengingatkan untuk tak lupa salat. Meski saya sendiri sudah punya dua orang anak, tetap saja saya adalah anak dari ayah saya.