CERMIN: Suara tentang Palestina dari Jepang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2023. Hamas diberitakan memborbardir Israel secara mendadak pada 7 Oktober lalu. Serangan ini dianggap yang terburuk dialami Israel dalam 75 tahun.
Dan tiba-tiba kita melihat Israel muncul sebagai korban. Sejumlah selebritas Hollywood muncul menyuarakan dukungan kepada Israel termasuk aktris asal Israel, Gal Gadot.
Dan tiba-tiba kita lupa bahwa Israel sudah menjajah Palestina selama puluhan tahun. Entah berapa ratus ribu nyawa yang hilang sia-sia, entah berapa banyak harta benda yang terkubur begitu saja di antara reruntuhan, entah berapa banyak mimpi-mimpi yang menguap begitu saja. Dan entah sampai kapan Israel terus menjalankan misinya “menegakkan keadilan” versi mereka sendiri.
Dan tiba-tiba saja film pembuka Madani Film Festival 2023, R21 AKA Restoring Solidarity, terdengar lebih lantang dari sebelumnya. Sebuah film yang memperlihatkan dukungan solidaritas tak terduga yang datang dari Jepang. Kita pun melihat bahwa tak perlu menjadi Islam untuk peduli dengan Palestina, kita hanya perlu menjadi manusia.
Foto: Doha Film Institute
Dalam informasi tertulis di situs web Madani Film Festival, film besutan Mohanad Yaqubi itu diperkenalkan sebagai “film tentang pembuatan film. Ia juga adalah film tentang film-film yang menyentuh bentuk dokumenter, fiksi, dan arsip. Film ini dibentuk untuk memaparkan narasi dari 20 film yang hendak menyampaikan pesan-pesan solidaritas”.
Pada suatu masa, Yaqubi menemukan harta karun. Ia menemukan gulungan film 16 milimeter di Tokyo, tempat Palestine Liberation Organization (PLO) mendirikan kantor lokal sekaligus menjadi tempat bagi para aktivis Jepang mengumpulkan dan memutar film-film tersebut kepada warganya sebagai bentuk mobilisasi melawan berbagai wajah imperialisme, bisa jadi Amerika atau Israel.
Bagi Yaqubi, juga bagi pembuat film seperti saya, film adalah medium menyimpan kenangan, kegelisahan, gagasan dan ide-ide terliar yang pernah terpikirkan. Untuk film R21 AKA Restoring Solidarity, film adalah tempat untuk menyimpan memori kolektif yang kelak bisa dibuka kapan saja dan bisa dinikmati oleh generasi mana saja. Karena itulah memori tersebut perlu dirawat, perlu dipelihara, juga perlu diperbarui kembali.
Maka makna judul film R21 AKA Restoring Solidarity bisa melampaui apa yang dimaksudkannya. Ia bisa bermakna sebagai sebuah cara untuk merestorasi film-film lama yang mungkin terlupakan begitu saja oleh banyak orang. Tapi ia juga bisa bermakna sebagai sebuah cara untuk membangkitkan kembali solidaritas pada perjuangan Palestina atas nama kemanusiaan, terlepas dari ikatan ideologi hingga agama.
Foto: Doha Film Institute
Maka kita merinding ketika menyaksikan seorang perempuan tua Kristen yang memilih bertahan di Kuneitra, Suriah, setelah invasi Israel pada 1967. Ia diwawancarai untuk menanyakan apa yang akan dilakukannya di kota yang sudah morat-marit itu.
“Tak ada,“ sahutnya tanpa beban. “Yang kamu lihat bisa berbicara sendiri, kan? Jadi tidak perlu penjelasan (tambahan) apa pun,“ jelasnya.
Ia tak menangis, ia tak bersedih, mungkin air matanya sudah habis. Mungkin kesedihan sudah lama pergi dari dirinya atau mungkin juga karena ia tak lagi melihat kemanusiaan yang muncul di kotanya. Solidaritas tak pernah datang padanya dari Jamie Lee Curtis atau Justin Bieber jika ia masih hidup hari ini.
R21 AKA Restoring Solidarity menjadi terdengar begitu lantang hari-hari ini justru karena ia muncul dari masa yang jauh. Juga dari negeri yang tak pernah terbayangkan akan mendukung Palestina sedemikian rupa. Tapi Jepang juga pernah mengalami bombardir Amerika di Hiroshima dan Nagasaki dan mereka tahu betul bagaimana rasanya menjadi Palestina.
Potongan demi potongan film dari tahun 1963-1984 itu dijahit dengan tekun, disunting dengan jernih dan akhirnya menjelma menjadi sebuah suara protes yang keras dari masa lampau. Dari potongan film yang direkam hingga 40 tahun lalu itu, suara protes itu masih relevan kini.
Foto: Doha Film Institute
Salah satu segmen paling menarik dari R21 AKA Restoring Solidarity bisa jadi adalah potongan film pendek tentang sekelompok anak-anak yang menemukan sebuah peluncur rudal yang ditinggalkan. Mereka mulai bermain dengan peluncur rudal itu hanya untuk dihadapkan pada realitas konflik saat mereka menemukan tubuh anak lainnya.
Mereka kemudian muncul dalam seragam militer, diradikalisasi untuk membalas dendam atas nama perjuangan untuk negara. Tanpa dialog sekali pun, kita tahu bahwa segmen ini merekam fragmen paling pedih yang menghiasi hari-hari anak-anak di Palestina sejak puluhan tahun lalu hingga hari ini.
Tapi kita pun perlu sadar bahwa Yaqubi merekonstruksi ulang 20 film tersebut. Ia memilih potongan demi potongan yang senapas dengan hal yang ingin dibicarakannya secara jelas, suatu hal yang lumrah dilakukan oleh pembuat film mana pun.
Namun yang bisa kita sepakati atas kerja keras Yaqubi adalah bahwa ia melihat medium film sering kali melampaui apa yang sering kali sekadar dibebankan kepadanya: sebuah hiburan belaka. Bagi Yaqubi, juga bagi saya, film lebih dari tujuan sesederhana itu.
Kita pun kembali bisa memaknai film dengan lebih jernih sebagaimana yang didengungkan dalam R21 AKA Restoring Solidarity. “Film was a powerful way to keep our memories alive”.
R21 AKA Restoring Solidarity
Produser: Mohanad Yaqubi
Sutradara: Mohanad Yaqubi
Penulis Skenario: Rami Nihawi, Lisa Spilliaert, Mohanad Yaqubi
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Dan tiba-tiba kita melihat Israel muncul sebagai korban. Sejumlah selebritas Hollywood muncul menyuarakan dukungan kepada Israel termasuk aktris asal Israel, Gal Gadot.
Dan tiba-tiba kita lupa bahwa Israel sudah menjajah Palestina selama puluhan tahun. Entah berapa ratus ribu nyawa yang hilang sia-sia, entah berapa banyak harta benda yang terkubur begitu saja di antara reruntuhan, entah berapa banyak mimpi-mimpi yang menguap begitu saja. Dan entah sampai kapan Israel terus menjalankan misinya “menegakkan keadilan” versi mereka sendiri.
Baca Juga
Dan tiba-tiba saja film pembuka Madani Film Festival 2023, R21 AKA Restoring Solidarity, terdengar lebih lantang dari sebelumnya. Sebuah film yang memperlihatkan dukungan solidaritas tak terduga yang datang dari Jepang. Kita pun melihat bahwa tak perlu menjadi Islam untuk peduli dengan Palestina, kita hanya perlu menjadi manusia.
Foto: Doha Film Institute
Dalam informasi tertulis di situs web Madani Film Festival, film besutan Mohanad Yaqubi itu diperkenalkan sebagai “film tentang pembuatan film. Ia juga adalah film tentang film-film yang menyentuh bentuk dokumenter, fiksi, dan arsip. Film ini dibentuk untuk memaparkan narasi dari 20 film yang hendak menyampaikan pesan-pesan solidaritas”.
Pada suatu masa, Yaqubi menemukan harta karun. Ia menemukan gulungan film 16 milimeter di Tokyo, tempat Palestine Liberation Organization (PLO) mendirikan kantor lokal sekaligus menjadi tempat bagi para aktivis Jepang mengumpulkan dan memutar film-film tersebut kepada warganya sebagai bentuk mobilisasi melawan berbagai wajah imperialisme, bisa jadi Amerika atau Israel.
Bagi Yaqubi, juga bagi pembuat film seperti saya, film adalah medium menyimpan kenangan, kegelisahan, gagasan dan ide-ide terliar yang pernah terpikirkan. Untuk film R21 AKA Restoring Solidarity, film adalah tempat untuk menyimpan memori kolektif yang kelak bisa dibuka kapan saja dan bisa dinikmati oleh generasi mana saja. Karena itulah memori tersebut perlu dirawat, perlu dipelihara, juga perlu diperbarui kembali.
Maka makna judul film R21 AKA Restoring Solidarity bisa melampaui apa yang dimaksudkannya. Ia bisa bermakna sebagai sebuah cara untuk merestorasi film-film lama yang mungkin terlupakan begitu saja oleh banyak orang. Tapi ia juga bisa bermakna sebagai sebuah cara untuk membangkitkan kembali solidaritas pada perjuangan Palestina atas nama kemanusiaan, terlepas dari ikatan ideologi hingga agama.
Foto: Doha Film Institute
Maka kita merinding ketika menyaksikan seorang perempuan tua Kristen yang memilih bertahan di Kuneitra, Suriah, setelah invasi Israel pada 1967. Ia diwawancarai untuk menanyakan apa yang akan dilakukannya di kota yang sudah morat-marit itu.
“Tak ada,“ sahutnya tanpa beban. “Yang kamu lihat bisa berbicara sendiri, kan? Jadi tidak perlu penjelasan (tambahan) apa pun,“ jelasnya.
Ia tak menangis, ia tak bersedih, mungkin air matanya sudah habis. Mungkin kesedihan sudah lama pergi dari dirinya atau mungkin juga karena ia tak lagi melihat kemanusiaan yang muncul di kotanya. Solidaritas tak pernah datang padanya dari Jamie Lee Curtis atau Justin Bieber jika ia masih hidup hari ini.
R21 AKA Restoring Solidarity menjadi terdengar begitu lantang hari-hari ini justru karena ia muncul dari masa yang jauh. Juga dari negeri yang tak pernah terbayangkan akan mendukung Palestina sedemikian rupa. Tapi Jepang juga pernah mengalami bombardir Amerika di Hiroshima dan Nagasaki dan mereka tahu betul bagaimana rasanya menjadi Palestina.
Potongan demi potongan film dari tahun 1963-1984 itu dijahit dengan tekun, disunting dengan jernih dan akhirnya menjelma menjadi sebuah suara protes yang keras dari masa lampau. Dari potongan film yang direkam hingga 40 tahun lalu itu, suara protes itu masih relevan kini.
Foto: Doha Film Institute
Salah satu segmen paling menarik dari R21 AKA Restoring Solidarity bisa jadi adalah potongan film pendek tentang sekelompok anak-anak yang menemukan sebuah peluncur rudal yang ditinggalkan. Mereka mulai bermain dengan peluncur rudal itu hanya untuk dihadapkan pada realitas konflik saat mereka menemukan tubuh anak lainnya.
Mereka kemudian muncul dalam seragam militer, diradikalisasi untuk membalas dendam atas nama perjuangan untuk negara. Tanpa dialog sekali pun, kita tahu bahwa segmen ini merekam fragmen paling pedih yang menghiasi hari-hari anak-anak di Palestina sejak puluhan tahun lalu hingga hari ini.
Tapi kita pun perlu sadar bahwa Yaqubi merekonstruksi ulang 20 film tersebut. Ia memilih potongan demi potongan yang senapas dengan hal yang ingin dibicarakannya secara jelas, suatu hal yang lumrah dilakukan oleh pembuat film mana pun.
Namun yang bisa kita sepakati atas kerja keras Yaqubi adalah bahwa ia melihat medium film sering kali melampaui apa yang sering kali sekadar dibebankan kepadanya: sebuah hiburan belaka. Bagi Yaqubi, juga bagi saya, film lebih dari tujuan sesederhana itu.
Kita pun kembali bisa memaknai film dengan lebih jernih sebagaimana yang didengungkan dalam R21 AKA Restoring Solidarity. “Film was a powerful way to keep our memories alive”.
R21 AKA Restoring Solidarity
Produser: Mohanad Yaqubi
Sutradara: Mohanad Yaqubi
Penulis Skenario: Rami Nihawi, Lisa Spilliaert, Mohanad Yaqubi
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)