CERMIN: tentang Orpa yang Mencoba Menemukan Jalannya Sendiri
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2016. Akhirnya kita bisa melihat wajah Papua terkini dalam film Indonesia. Denias: Senandung di Atas Awanmenjadi pembuka bagi kita untuk melihat Papua lebih dekat.
Film Denias: Senandung di Atas Awansesungguhnya menyodorkan persoalan klasik yang sudah kita tahu dan maklumi bersama. Bahwa di Papua, sebagaimana di banyak tempat di ujung negeri ini, masih banyak anak-anak yang kesulitan mendapatkan akses pendidikan yang layak.
Tapi Denias: Senandung di Atas Awan masih terasa melihat problematika yang dialami masyarakat Papua dari kacamata penduduk luar. Begitupun kita tahu bahwa pendidikan masih menjadi salah satu agenda terpenting yang seharusnya menjadi prioritas utama dari pemerintah.
Lalu17 tahun berlalu, soal pendidikan masih menjadi isu yang penting dibicarakan di Papua. Bedanya kali ini terasa kejujuran dan orisinalitasnya karena dituturkan dari sudut pandang penduduk asli. Theo Rumansara, sutradara yang kelahiran Biak, Papua, menyodorkan masalah ini diselang-seling dengan isu pernikahan dini hingga pertarungan kaum adat.
Orpamenjadi film panjang pertama yang dibuat langsung oleh warga asli Papua. Film ini menuturkan kisahnya dari sudut pandang Orpa (diperankan dengan menarik oleh pendatang baru, Orsila Murib), gadis remaja yang sesaat lagi lulus SD. Digambarkan sebagai remaja yang cerdas dan suka membaca, Orpa bercita-cita melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Foto: QUN Films
Tapi mimpi Orpa tak sesederhana yang bisa dibayangkan oleh kita yang hidup di kota besar. Orpa harus berhadapan dengan dua hal: paksaan dari ayahnya untuk segera menikah dengan lelaki pilihannya, ataua keluar dari desanya untuk menuju ke kota tempat sekolah menengah pertama berada.
Maka dalam usianya yang masih belia, Orpa dipaksa untuk memperjuangkan hal yang diyakininya. Orpa nekat melarikan diri dari rumahnya. Ibunya yang tahu kehendak besar putrinya tak menghalanginya, malah mendukung sepenuh hati.
Ia hendak menuju ke Wamena, sebuah kota yang diyakininya bisa membukakannya jalan untuk meraih mimpinya. Tapi terkadang memang semesta suka bercanda.
Di perjalanan ia malah bertemu dengan Ryan, musisi asal Jakarta, yang masih membawa lagak petantang-petentengnya memasuki kampung orang. Perjalanan keduanya menemui banyak hambatan, tapi membantu mereka melihat apa yang selama ini tak mereka lihat. Ryan yang lebih pantas dipanggil paman oleh Orpa justru banyak belajar dari gadis remaja ini.
Kita sebagai penonton juga melihat bagaimana dua manusia dari dua dunia yang berbeda mencoba saling mengerti, saling memahami dan saling membantu. Faktor inilah yang bisa jadi membuat Orpaterasa relevan dan lebih universal karena ia membahas hal-hal yang bisa terjadi pada siapa pun dan di mana pun, tak hanya di Papua.
Foto: QUN Films
Saya pernah memproduseri film dokumenter panjang berjudul Cerita Dari Tapal Batasyang menjadi nomine Film Dokumenter Terbaik FFI 2011. Salah satu isu yang mengemuka di sana adalah seputar akses pendidikan.
Tokoh utama dari film tersebut, Bu Martini, bahkan mengeluh di depan kamera bahwa selama ini belum ada satu pun presiden yang masuk hingga ke pelosok di perbatasan untuk melihat sendiri yang terjadi di sana. Dari pengalaman ini saya pun tahu bahwa masalah terbesar yang dihadapi negeri ini bisa jadi adalah karena wilayahnya yang cukup luas dan terdiri dari 17 ribu pulau dan menyebabkan kesulitan untuk menjangkau sebagian besarnya.
Sementara di Papua, rasanya baru Presiden Joko Widodo yang menaruh perhatian cukup besar. Begitupun ketika pembangunan digalakkan, yang sering kali mendapat perhatian adalah pembangunan fisik seperti membangun jalan, jembatan dan seterusnya. Namun membangun fasilitas seperti sekolah hingga di desa terpencil masih sering terabaikan.
Masalah ini memang seperti lingkaran setan yang tak berujung hingga berpuluh tahun lamanya dan membawa masalah-masalah serius. Anggota Komisi X DPR RI Roberth Yoppy Kardinal mengungkapkan bahwa sekitar 620 ribu anak di Papua putus sekolah yang tersebar di enam provinsi, yakni Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan.
Foto:QUN Films
Selain itu, Kardinal juga menyampaikan bahwa masalah lainnya adalah kekurangan tenaga pendidik sebanyak 20.000 guru. Ini sebagaimana disampaikannya saat menyerahkan bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) di halaman SMKN 1 Kota Sorong, pada Juni 2023 lalu.
Meski tak menjadi isu utama, soal pernikahan dini di Papua pun sesungguhnya perlu menjadi masalah yang mendapat perhatian dari pemerintah. Wahana Visi Indonesia (WVI) mempublikasikan penelitiannya pada September 2021 yang mencatat sebanyak 24,71% anak di Papua menikah di bawah umur 19 tahun.
WVI bahkan mencatat ada anak yang menikah pada usia 10 tahun. Data tersebut dihimpun dari hasil penelitian WVI di empat kabupaten/kota yakni Jayapura, Jayawijaya, Biak Numfor, dan Asmat.
Mungkin Theo tak berambisi besar bahwa Orpaakan menjadi pembuka mata bagi pemerintah bahwa masalah yang sudah berlangsung selama puluhan tahun di Papua perlu mendapat perhatian segera. Tapi kita yang hidup di kota besar mungkin bisa lebih berempati dan mensyukuri segala fasilitas yang dengan mudah kita dapatkan dan nikmati.
Mungkin juga kita bisa membantu Orpa-Orpa lainnya untuk menemukan jalannya meraih impian dengan cara-cara yang kita bisa.
Orpa
Produser: Dani Huda, Giovanni Rahmadeva, Cornelio Sunny
Sutradara: Theo Rumansara
Penulis Skenario: Theo Rumansara
Pemain: Orsila Murib, Michael Kho, Otiana Murib
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Film Denias: Senandung di Atas Awansesungguhnya menyodorkan persoalan klasik yang sudah kita tahu dan maklumi bersama. Bahwa di Papua, sebagaimana di banyak tempat di ujung negeri ini, masih banyak anak-anak yang kesulitan mendapatkan akses pendidikan yang layak.
Tapi Denias: Senandung di Atas Awan masih terasa melihat problematika yang dialami masyarakat Papua dari kacamata penduduk luar. Begitupun kita tahu bahwa pendidikan masih menjadi salah satu agenda terpenting yang seharusnya menjadi prioritas utama dari pemerintah.
Lalu17 tahun berlalu, soal pendidikan masih menjadi isu yang penting dibicarakan di Papua. Bedanya kali ini terasa kejujuran dan orisinalitasnya karena dituturkan dari sudut pandang penduduk asli. Theo Rumansara, sutradara yang kelahiran Biak, Papua, menyodorkan masalah ini diselang-seling dengan isu pernikahan dini hingga pertarungan kaum adat.
Orpamenjadi film panjang pertama yang dibuat langsung oleh warga asli Papua. Film ini menuturkan kisahnya dari sudut pandang Orpa (diperankan dengan menarik oleh pendatang baru, Orsila Murib), gadis remaja yang sesaat lagi lulus SD. Digambarkan sebagai remaja yang cerdas dan suka membaca, Orpa bercita-cita melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Foto: QUN Films
Tapi mimpi Orpa tak sesederhana yang bisa dibayangkan oleh kita yang hidup di kota besar. Orpa harus berhadapan dengan dua hal: paksaan dari ayahnya untuk segera menikah dengan lelaki pilihannya, ataua keluar dari desanya untuk menuju ke kota tempat sekolah menengah pertama berada.
Maka dalam usianya yang masih belia, Orpa dipaksa untuk memperjuangkan hal yang diyakininya. Orpa nekat melarikan diri dari rumahnya. Ibunya yang tahu kehendak besar putrinya tak menghalanginya, malah mendukung sepenuh hati.
Ia hendak menuju ke Wamena, sebuah kota yang diyakininya bisa membukakannya jalan untuk meraih mimpinya. Tapi terkadang memang semesta suka bercanda.
Di perjalanan ia malah bertemu dengan Ryan, musisi asal Jakarta, yang masih membawa lagak petantang-petentengnya memasuki kampung orang. Perjalanan keduanya menemui banyak hambatan, tapi membantu mereka melihat apa yang selama ini tak mereka lihat. Ryan yang lebih pantas dipanggil paman oleh Orpa justru banyak belajar dari gadis remaja ini.
Kita sebagai penonton juga melihat bagaimana dua manusia dari dua dunia yang berbeda mencoba saling mengerti, saling memahami dan saling membantu. Faktor inilah yang bisa jadi membuat Orpaterasa relevan dan lebih universal karena ia membahas hal-hal yang bisa terjadi pada siapa pun dan di mana pun, tak hanya di Papua.
Foto: QUN Films
Saya pernah memproduseri film dokumenter panjang berjudul Cerita Dari Tapal Batasyang menjadi nomine Film Dokumenter Terbaik FFI 2011. Salah satu isu yang mengemuka di sana adalah seputar akses pendidikan.
Tokoh utama dari film tersebut, Bu Martini, bahkan mengeluh di depan kamera bahwa selama ini belum ada satu pun presiden yang masuk hingga ke pelosok di perbatasan untuk melihat sendiri yang terjadi di sana. Dari pengalaman ini saya pun tahu bahwa masalah terbesar yang dihadapi negeri ini bisa jadi adalah karena wilayahnya yang cukup luas dan terdiri dari 17 ribu pulau dan menyebabkan kesulitan untuk menjangkau sebagian besarnya.
Sementara di Papua, rasanya baru Presiden Joko Widodo yang menaruh perhatian cukup besar. Begitupun ketika pembangunan digalakkan, yang sering kali mendapat perhatian adalah pembangunan fisik seperti membangun jalan, jembatan dan seterusnya. Namun membangun fasilitas seperti sekolah hingga di desa terpencil masih sering terabaikan.
Masalah ini memang seperti lingkaran setan yang tak berujung hingga berpuluh tahun lamanya dan membawa masalah-masalah serius. Anggota Komisi X DPR RI Roberth Yoppy Kardinal mengungkapkan bahwa sekitar 620 ribu anak di Papua putus sekolah yang tersebar di enam provinsi, yakni Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan.
Foto:QUN Films
Selain itu, Kardinal juga menyampaikan bahwa masalah lainnya adalah kekurangan tenaga pendidik sebanyak 20.000 guru. Ini sebagaimana disampaikannya saat menyerahkan bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) di halaman SMKN 1 Kota Sorong, pada Juni 2023 lalu.
Meski tak menjadi isu utama, soal pernikahan dini di Papua pun sesungguhnya perlu menjadi masalah yang mendapat perhatian dari pemerintah. Wahana Visi Indonesia (WVI) mempublikasikan penelitiannya pada September 2021 yang mencatat sebanyak 24,71% anak di Papua menikah di bawah umur 19 tahun.
WVI bahkan mencatat ada anak yang menikah pada usia 10 tahun. Data tersebut dihimpun dari hasil penelitian WVI di empat kabupaten/kota yakni Jayapura, Jayawijaya, Biak Numfor, dan Asmat.
Mungkin Theo tak berambisi besar bahwa Orpaakan menjadi pembuka mata bagi pemerintah bahwa masalah yang sudah berlangsung selama puluhan tahun di Papua perlu mendapat perhatian segera. Tapi kita yang hidup di kota besar mungkin bisa lebih berempati dan mensyukuri segala fasilitas yang dengan mudah kita dapatkan dan nikmati.
Mungkin juga kita bisa membantu Orpa-Orpa lainnya untuk menemukan jalannya meraih impian dengan cara-cara yang kita bisa.
Orpa
Produser: Dani Huda, Giovanni Rahmadeva, Cornelio Sunny
Sutradara: Theo Rumansara
Penulis Skenario: Theo Rumansara
Pemain: Orsila Murib, Michael Kho, Otiana Murib
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)