CERMIN: Bagaimana Mendefinisikan Film Religi?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1977. Film Al Kautsargarapan Chaerul Umam dirilis dan hingga hari ini sering kali disebut sebagai film religi pertama di Indonesia.
Apa sesungguhnya yang dimaksud sebagai film religi? Apa saja yang menjadi ciri-ciri dari sebuah film hingga pantas melekatkan label “religi” kepadanya? Hingga hari ini belum ada penelitian komprehensif yang bisa menjawab dengan lugas terkait dua pertanyaan tersebut.
Namun yang mungkin bisa kita sepakati bersama bahwa film religi adalah film yang memasukkan nilai-nilai agama tertentu yang kental ke dalam film. Jadi sesungguhnya film religi tak melulu eksklusif menjadi 'hak' dari umat Muslim semata.
Begitupun di negeri yang mayoritas warganya beragama Islam, citra film religi disandingkan erat dengan film Islami. “Banyak sekali film sepanjang 1970-an sampai 1980-an yang sebetulnya punya nuansa religius,“ ujar kritikus film Hikmat Darmawan, dikutip dari CNN Indonesia.
Judul-judul seperti Al Kautsar, Para Perintis Kemerdekaan (1977) dan Titian Serambut Dibelah Tujuh(1982) juga dianggap Hikmat sebagai film religi. Hingga akhirnya film religi direkonstruksi oleh film populer berjudul Ayat-Ayat Cinta pada2008.
Foto: Beehave Pictures
Jika sebelumnya film religi yang dirilis pada era 1970-1980-an membicarakan isu-isu besar terkait umat, maka pasca Ayat-Ayat Cintayang dibicarakan adalah Islam dalam lingkup yang lebih kecil, dalam hal ini keluarga. Terjadi pergeseran dari tema-tema seputar kesalehan sosial menjadi kesalehan individual.
Lantas berdiri di manakah film berjudul Airmata di Ujung Sajadahbesutan Key Mangunsong?
Dari pemilihan judul yang menarik dan kata kunci “sajadah”, pembuat film tampak ingin menegaskan dari awal bahwa filmnya kelak akan memuat nilai-nilai Islami yang mungkin bisa menjadi panduan bagi penonton ketika mengalami masalah yang serupa dengan yang dialami para tokoh-tokohnya. Tapi betulkah demikian?
Airmata Di Ujung Sajadah” menggulirkan cerita dari perspektif Aqilla, seorang gadis yang sekilas punya segalanya. Ia menjalani kehidupan akademik yang menyenangkan, punya rumah megah, juga punya pacar yang ganteng.
Namun sang bunda tak merestui lelaki pilihan Aqilla. Tak gentar dengan ancaman ibunya, Aqilla gagah berani meninggalkan segala kenyamanan hidup. Ia meninggalkan ibunya begitu saja dan memilih menikahi kekasihnya.
Kita tak pernah diberi tahu bagaimana Aqilla bisa menikahi kekasihnya secara sah dalam hukum Islam. Yang jelas mereka berdua akhirnya menikah dan hidup bahagia.
Foto: Beehave Pictures
Tapi skenario memilih plot berliku yang kerap ditempuh sinetron dengan ratusan episode. Suami Aqilla mengalami kecelakaan tragis tepat di depan matanya. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi, tahu-tahu Aqilla sudah meraung-raung di tengah masyarakat yang merubung.
Lalu tiba-tiba saja Aqilla hamil. Dengan segala ketiba-tibaan yang sudah terjadi sejak awal, kita sudah tak kaget lagi ketika bayi yang Aqila lahirkan diserahkan oleh ibunya ke pasangan Arif dan Yumna. Sekali lagi setelah tak mencoba mengulas soal hukum Islam dalam pernikahan, skenario juga emoh mengobrolkan soal hukum adopsi dalam Islam yang lazim disebut tabbani. Rasulullah SAW bahkan mencontohkannya langsung ketika mengadopsi seorang anak bernama Zaid bin Haritsah.
Untuk seseorang dengan pekerjaan yang tergolong layak dan hidup yang terlihat berkecukupan, betapa bodohnya Arif ketika tak mengurus segala hal terkait adopsi dari Baskara, anak yang diserahkan kepadanya, sejak awal. Tapi mungkin memang itu yang diinginkan skenario agar cerita ini bisa terus berjalan hingga ke puluhan menit berikutnya.
Karena inilah yang menjadi inti dari cerita Airmata di Ujung Sajadah. Ceritanyatentang seorang ibu kandung yang merindukan anak semata wayangnya dan jika memungkinkan ingin kembali diambilnya.
Dengan pendekatan ketiba-tibaan yang telah berlangsung sejak awal cerita, juga dengan logika cerita yang sulit dipahami penonton kritis, tahulah kitabahwa pembuat film ini dengan cerdik menyasar pangsa pasar penonton sinetron. Ini adalah jenis penonton yang mungkin hanya sekali setahun ke bioskop demi bisa menyaksikan film seperti Airmata di Ujung Sajadah.
Foto:Beehave Pictures
Bumbu religi pun sesungguhnya nyaris tak ada sepanjang durasi film berjalan, hanya dua adegan ketika Aqilla menunaikan salat dan menumpahkan airmata di sajadah yang digunakannya. Juga ketika Arif mengajarkan Al-qur’an kepada Baskara.
Padahal sesungguhnya banyak hal menarik yang bisa dikupas dari aspek Islam yang bisa menjadi perspektif baru bagi penonton. Misalnya dari sisi hukum adopsi. Saya ingat sebuah film India berjudul Mimi (2021) yang bisa ditonton di Netflix dengan premis yang mirip.
Yang menarik dari Mimiadalah pembuat filmnya membenturkan soal konflik moral dari orang tua yang ingin mengadopsi dengan ibu yang mengandung bayinya. Kita juga diperlihatkan soal betapa kompleksnya persoalan adopsi ini.
Jika ingin tampil segar dan menarik, sebenarnya Airmata di Ujung Sajadahbisa dibawa ke arah drama pengadilan mengharu biru soal perebutan anak dari ibu kandung dan orang tua angkatnya. Sayangnya hal tersebut tak terjadi.
Tapi yang menjadi kekhawatiran terbesar bagi saya selaku sesama pembuat film maupun sebagai penonton adalah betapa label film religi bakal semakin mudah dilekatkan ke film yang sesungguhnya tak sungguh-sungguh mengolah nilai-nilai Islami di dalamnya demi pertimbangan komersial. Kita akan menjadi semakin kabur mengidentifikasi sebuah film apakah layak dilabeli film religi atau tidak.
Airmata di Ujung Sajadah
Produser: Ronny Irawan, Nafa Urbach
Sutradara: Key Mangunsong
Penulis Skenario: Titien Wattimena
Pemain: Titi Kamal, Fedi Nuril, Citra Kirana
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Apa sesungguhnya yang dimaksud sebagai film religi? Apa saja yang menjadi ciri-ciri dari sebuah film hingga pantas melekatkan label “religi” kepadanya? Hingga hari ini belum ada penelitian komprehensif yang bisa menjawab dengan lugas terkait dua pertanyaan tersebut.
Namun yang mungkin bisa kita sepakati bersama bahwa film religi adalah film yang memasukkan nilai-nilai agama tertentu yang kental ke dalam film. Jadi sesungguhnya film religi tak melulu eksklusif menjadi 'hak' dari umat Muslim semata.
Begitupun di negeri yang mayoritas warganya beragama Islam, citra film religi disandingkan erat dengan film Islami. “Banyak sekali film sepanjang 1970-an sampai 1980-an yang sebetulnya punya nuansa religius,“ ujar kritikus film Hikmat Darmawan, dikutip dari CNN Indonesia.
Judul-judul seperti Al Kautsar, Para Perintis Kemerdekaan (1977) dan Titian Serambut Dibelah Tujuh(1982) juga dianggap Hikmat sebagai film religi. Hingga akhirnya film religi direkonstruksi oleh film populer berjudul Ayat-Ayat Cinta pada2008.
Foto: Beehave Pictures
Jika sebelumnya film religi yang dirilis pada era 1970-1980-an membicarakan isu-isu besar terkait umat, maka pasca Ayat-Ayat Cintayang dibicarakan adalah Islam dalam lingkup yang lebih kecil, dalam hal ini keluarga. Terjadi pergeseran dari tema-tema seputar kesalehan sosial menjadi kesalehan individual.
Lantas berdiri di manakah film berjudul Airmata di Ujung Sajadahbesutan Key Mangunsong?
Dari pemilihan judul yang menarik dan kata kunci “sajadah”, pembuat film tampak ingin menegaskan dari awal bahwa filmnya kelak akan memuat nilai-nilai Islami yang mungkin bisa menjadi panduan bagi penonton ketika mengalami masalah yang serupa dengan yang dialami para tokoh-tokohnya. Tapi betulkah demikian?
Airmata Di Ujung Sajadah” menggulirkan cerita dari perspektif Aqilla, seorang gadis yang sekilas punya segalanya. Ia menjalani kehidupan akademik yang menyenangkan, punya rumah megah, juga punya pacar yang ganteng.
Namun sang bunda tak merestui lelaki pilihan Aqilla. Tak gentar dengan ancaman ibunya, Aqilla gagah berani meninggalkan segala kenyamanan hidup. Ia meninggalkan ibunya begitu saja dan memilih menikahi kekasihnya.
Kita tak pernah diberi tahu bagaimana Aqilla bisa menikahi kekasihnya secara sah dalam hukum Islam. Yang jelas mereka berdua akhirnya menikah dan hidup bahagia.
Foto: Beehave Pictures
Tapi skenario memilih plot berliku yang kerap ditempuh sinetron dengan ratusan episode. Suami Aqilla mengalami kecelakaan tragis tepat di depan matanya. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi, tahu-tahu Aqilla sudah meraung-raung di tengah masyarakat yang merubung.
Lalu tiba-tiba saja Aqilla hamil. Dengan segala ketiba-tibaan yang sudah terjadi sejak awal, kita sudah tak kaget lagi ketika bayi yang Aqila lahirkan diserahkan oleh ibunya ke pasangan Arif dan Yumna. Sekali lagi setelah tak mencoba mengulas soal hukum Islam dalam pernikahan, skenario juga emoh mengobrolkan soal hukum adopsi dalam Islam yang lazim disebut tabbani. Rasulullah SAW bahkan mencontohkannya langsung ketika mengadopsi seorang anak bernama Zaid bin Haritsah.
Untuk seseorang dengan pekerjaan yang tergolong layak dan hidup yang terlihat berkecukupan, betapa bodohnya Arif ketika tak mengurus segala hal terkait adopsi dari Baskara, anak yang diserahkan kepadanya, sejak awal. Tapi mungkin memang itu yang diinginkan skenario agar cerita ini bisa terus berjalan hingga ke puluhan menit berikutnya.
Karena inilah yang menjadi inti dari cerita Airmata di Ujung Sajadah. Ceritanyatentang seorang ibu kandung yang merindukan anak semata wayangnya dan jika memungkinkan ingin kembali diambilnya.
Dengan pendekatan ketiba-tibaan yang telah berlangsung sejak awal cerita, juga dengan logika cerita yang sulit dipahami penonton kritis, tahulah kitabahwa pembuat film ini dengan cerdik menyasar pangsa pasar penonton sinetron. Ini adalah jenis penonton yang mungkin hanya sekali setahun ke bioskop demi bisa menyaksikan film seperti Airmata di Ujung Sajadah.
Foto:Beehave Pictures
Bumbu religi pun sesungguhnya nyaris tak ada sepanjang durasi film berjalan, hanya dua adegan ketika Aqilla menunaikan salat dan menumpahkan airmata di sajadah yang digunakannya. Juga ketika Arif mengajarkan Al-qur’an kepada Baskara.
Padahal sesungguhnya banyak hal menarik yang bisa dikupas dari aspek Islam yang bisa menjadi perspektif baru bagi penonton. Misalnya dari sisi hukum adopsi. Saya ingat sebuah film India berjudul Mimi (2021) yang bisa ditonton di Netflix dengan premis yang mirip.
Yang menarik dari Mimiadalah pembuat filmnya membenturkan soal konflik moral dari orang tua yang ingin mengadopsi dengan ibu yang mengandung bayinya. Kita juga diperlihatkan soal betapa kompleksnya persoalan adopsi ini.
Jika ingin tampil segar dan menarik, sebenarnya Airmata di Ujung Sajadahbisa dibawa ke arah drama pengadilan mengharu biru soal perebutan anak dari ibu kandung dan orang tua angkatnya. Sayangnya hal tersebut tak terjadi.
Tapi yang menjadi kekhawatiran terbesar bagi saya selaku sesama pembuat film maupun sebagai penonton adalah betapa label film religi bakal semakin mudah dilekatkan ke film yang sesungguhnya tak sungguh-sungguh mengolah nilai-nilai Islami di dalamnya demi pertimbangan komersial. Kita akan menjadi semakin kabur mengidentifikasi sebuah film apakah layak dilabeli film religi atau tidak.
Airmata di Ujung Sajadah
Produser: Ronny Irawan, Nafa Urbach
Sutradara: Key Mangunsong
Penulis Skenario: Titien Wattimena
Pemain: Titi Kamal, Fedi Nuril, Citra Kirana
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)