Review Film Talk to Me: Permainan Kerasukan yang Kurang Seram
loading...
A
A
A
Talk to Me menjanjikan tontonan horor mencekam yang bakal bikin bulu kaki merinding. Film ini berlatar Australia yang tentunya punya atmosfir berbeda dari film horor luar buatan Hollywood. Sejak trailer-nya dirilis beberapa bulan lalu, hype-nya sungguh luar biasa.
Film itu berpusat pada sebuah tangan keramat yang bisa membuat orang kerasukan. Mereka yang punya jiwa pemberani ditantang untuk memegang tangan itu dan mengatakan “talk to me” atau “bicaralah padaku” lalu disusul “I let you in” atau “aku izinkan kamu masuk”. Setelah itu, si pemegang tangan akan kerasukan arwah.
Konsepnya memang menarik. Ini mirip permainan jailangkung atau Ouija dengan level berbeda. Di jailangkung atau Ouija, obyek benda matinya yang kerasukan. Tapi, di Talk to Me, manusianyalah yang kerasukan arwah tersebut.
Meski terlihat menakutkan, tapi film ini sama sekali tidak seram. Kerasukannya pun bukan model yang mengerikan seperti film-film horor Indonesia atau pun Hollywood. Bahkan, lebih seram film buatan lokal untuk tema seperti ini.
Foto: Entertainment Weekly
Sementara, film ini juga mengangkat masalah rasa duka cita dan kehilangan yang amat sangat. Di film ini, karakter utamanya, Mia, kehilangan ibunya dua tahun silam karena bunuh diri. Tapi, sampai peristiwa di film itu, Mia ternyata belum mengikhlaskan kepergian sang bunda. Jadi, ketika arwahnya datang, Mia dengan mudah terpengaruh.
Obsesi Mia pada arwah ibunya terbukti berbahaya. Kegiatan berbicara dengan tangan yang awalnya hanyalah permainan anak-anak muda gabut akhirnya berakhir dengan tragedi. Mia merusak semua yang telah ada padanya akibat permainan itu dan juga ketidakmampuannya untuk mengikhlaskan kepergian ibunya.
Film ini sebenarnya sudah tepat dalam menggambarkan betapa rasa duka cita itu akan menghancurkan seseorang kalau tidak ditangani dengan baik. Sophie Wilde dengan sangat baik menggambarkan betapa terganggunya Mia dengan obsesinya itu. Tapi, ya sebatas itu.
Foto: Bloody Disgusting
Arwah-arwah yang ditampilkan di film ini kurang seram dan atmosfir horornya sangat kurang. Ada jump scare, tapi bukan yang spektakuler. Film ini kurang bikin merinding meskipun dibangun seperti itu.
Selama 95 menit, penonton akan disuguhi tontonan pembangunan cerita yang agak lambat. Di bagian awal, film ini dengan cepat memberikan tontonan plot twist yang agak bikin kaget. Tapi, setelahnya, banyak plot hole dan penjelasan terkait tangan itu juga kurang memuaskan.
Bahkan, klimaksnya pun kurang greget. Duo sutradaranya, Danny dan Michael Philippou, bermaksud memberikan sesuatu yang spektakuler di akhir film itu. Sayang, itu malah kurang menarik karena pengemasannya yang terasa “meh”. Penonton yang sudah sering menonton tayang sejenis pastinya sudah bisa menebak apa yang terjadi.
Foto: The Digital Fix
Secara konsep, film ini memang menarik dengan memberikan alternatif tontonan tentang kerasukan. Bahwa di masa sekarang, anak-anak muda menganggap fenomena seperti itu adalah sebuah permainan yang bisa jadi viral. Mereka sama sekali tidak mempedulikan konsekuensinya dan tidak semua orang menganggap hal itu sebagai sebuah permainan belaka.
Film ini juga bergantung pada gore yang tidak terlalu total dibuat. Jadi, ada kesan, film ini agak setengah-setengah antara ingin memberikan tontonan yang bikin merinding dan gore yang berdarah-darah. Departemen makeup-nya lumayan. Tapi, atmosfir seramnya sama sekali tidak terasa.
Sebagai sebuah tontonan yang menjanjikan kemerindingan, Talk to Me agak mengecewakan. Atmosfir seramnya gagal dibangun dan banyak plot hole di dalam ceritanya. Prekuelnya mungkin akan menjawab semua plot hole tersebut. Selain penampilan oke Sophie Wilde, pemain lainnya tampil biasa-biasa saja.
Talk to Me mulai tayang di bioskop di seluruh Indonesia pada hari ini, Rabu (23/8). Film ini berating 17 tahun ke atas karena bahasanya yang vulgar, kasar, dan adegan kejam berdarah-darah. Selamat menyaksikan!
Film itu berpusat pada sebuah tangan keramat yang bisa membuat orang kerasukan. Mereka yang punya jiwa pemberani ditantang untuk memegang tangan itu dan mengatakan “talk to me” atau “bicaralah padaku” lalu disusul “I let you in” atau “aku izinkan kamu masuk”. Setelah itu, si pemegang tangan akan kerasukan arwah.
Konsepnya memang menarik. Ini mirip permainan jailangkung atau Ouija dengan level berbeda. Di jailangkung atau Ouija, obyek benda matinya yang kerasukan. Tapi, di Talk to Me, manusianyalah yang kerasukan arwah tersebut.
Meski terlihat menakutkan, tapi film ini sama sekali tidak seram. Kerasukannya pun bukan model yang mengerikan seperti film-film horor Indonesia atau pun Hollywood. Bahkan, lebih seram film buatan lokal untuk tema seperti ini.
Foto: Entertainment Weekly
Sementara, film ini juga mengangkat masalah rasa duka cita dan kehilangan yang amat sangat. Di film ini, karakter utamanya, Mia, kehilangan ibunya dua tahun silam karena bunuh diri. Tapi, sampai peristiwa di film itu, Mia ternyata belum mengikhlaskan kepergian sang bunda. Jadi, ketika arwahnya datang, Mia dengan mudah terpengaruh.
Obsesi Mia pada arwah ibunya terbukti berbahaya. Kegiatan berbicara dengan tangan yang awalnya hanyalah permainan anak-anak muda gabut akhirnya berakhir dengan tragedi. Mia merusak semua yang telah ada padanya akibat permainan itu dan juga ketidakmampuannya untuk mengikhlaskan kepergian ibunya.
Film ini sebenarnya sudah tepat dalam menggambarkan betapa rasa duka cita itu akan menghancurkan seseorang kalau tidak ditangani dengan baik. Sophie Wilde dengan sangat baik menggambarkan betapa terganggunya Mia dengan obsesinya itu. Tapi, ya sebatas itu.
Foto: Bloody Disgusting
Arwah-arwah yang ditampilkan di film ini kurang seram dan atmosfir horornya sangat kurang. Ada jump scare, tapi bukan yang spektakuler. Film ini kurang bikin merinding meskipun dibangun seperti itu.
Selama 95 menit, penonton akan disuguhi tontonan pembangunan cerita yang agak lambat. Di bagian awal, film ini dengan cepat memberikan tontonan plot twist yang agak bikin kaget. Tapi, setelahnya, banyak plot hole dan penjelasan terkait tangan itu juga kurang memuaskan.
Bahkan, klimaksnya pun kurang greget. Duo sutradaranya, Danny dan Michael Philippou, bermaksud memberikan sesuatu yang spektakuler di akhir film itu. Sayang, itu malah kurang menarik karena pengemasannya yang terasa “meh”. Penonton yang sudah sering menonton tayang sejenis pastinya sudah bisa menebak apa yang terjadi.
Foto: The Digital Fix
Secara konsep, film ini memang menarik dengan memberikan alternatif tontonan tentang kerasukan. Bahwa di masa sekarang, anak-anak muda menganggap fenomena seperti itu adalah sebuah permainan yang bisa jadi viral. Mereka sama sekali tidak mempedulikan konsekuensinya dan tidak semua orang menganggap hal itu sebagai sebuah permainan belaka.
Film ini juga bergantung pada gore yang tidak terlalu total dibuat. Jadi, ada kesan, film ini agak setengah-setengah antara ingin memberikan tontonan yang bikin merinding dan gore yang berdarah-darah. Departemen makeup-nya lumayan. Tapi, atmosfir seramnya sama sekali tidak terasa.
Sebagai sebuah tontonan yang menjanjikan kemerindingan, Talk to Me agak mengecewakan. Atmosfir seramnya gagal dibangun dan banyak plot hole di dalam ceritanya. Prekuelnya mungkin akan menjawab semua plot hole tersebut. Selain penampilan oke Sophie Wilde, pemain lainnya tampil biasa-biasa saja.
Talk to Me mulai tayang di bioskop di seluruh Indonesia pada hari ini, Rabu (23/8). Film ini berating 17 tahun ke atas karena bahasanya yang vulgar, kasar, dan adegan kejam berdarah-darah. Selamat menyaksikan!
(alv)