5 Film Korea dengan Tema yang Tabu di Negaranya tapi Sukses Besar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Korea Selatan termasuk negara yang ketat dalam melakukan penyensoran, bahkan sejak zaman invasi Jepang di negara itu.
Pada masa invasi Jepang, mengutip Korea Herald, seluruh karya terkait opini terhadap pemerintahan Jepang banyak diawasi dan disensor. Hal ini terus berlanjut setelah Korea Selatan merdeka dan pemerintahan jatuh ke tangan rezim militer pimpinan Park Chung-hee dan Chun Doo-hwan (1973 – 1992).
Pada masa modern, sensor pun tak sepenuhnya hilang. Dengan masyarakat yang konservatif, hal-hal tabu dari mulai sejarah Korea terkait dengan Jepang dan Korea Utara, hal terkait seksualitas, hingga kasus tragedi masih 'menakutkan' bagi sineas Korea Selatan untuk diceritakan karena bisa saja karyanya disensor secara berlebihan.
Nah, berikut ini lima film Korea yang mengangkat topik yang dianggap tabu di negaranya, tapi ternyata bisa tetap sukses besar.
Foto: CJ Entertainment
The Handmaiden banyak dibicarakan di Korea Selatan karena menyatukan dua tema yang tabu. Pertama adalah tentang masa pendudukan Jepang di Korea. Kedua adalah tentang penggambaran seksualitas yang cukup ekstrem, termasuk di antaranya tentang hubungan sesama jenis.
The Handmaiden yang digarap sutradara Park Chan-wook ini terinspirasi dari novel Fingersmith karya Sarah Waters. Bergenre psikologi thriller dan erotis, ceritanya tentang penipu ulung Fujiwara (Ha Jung-woo) yang mempekerjakan pencuri bernama Sook-hee (Kim Tae-ri) di rumah Hideko (Kim Min-hee).
Hideko adalah perempuan kaya raya yang juga seorang ahli waris. Misi Fijiwara adalah menggunakan Sook-hee agar dirinya bisa menikahi Hideko lantas memasukkan perempuan Jepang itu ke rumah sakit jiwa. Namun ternyata banyak peristiwa tak terduga yang kemudian terjadi.
The Handmaiden jadi salah satu film klasik Korea yang sangat populer, menghasilkan pendapatan nyaris USD38 juta (Rp567 miliar) di seluruh dunia. Filmnya juga berkompetisi di Cannes Film Festival dan memenangkan film terbaik berbahasa non-Inggris dari British Academy Film Awards (BAFTA).
Foto: CJ Entertainment
Masih dari sutradara Park Chan-wook, Joint Security Area membahas hal tabu seputar hubungan Korea Selatan dan Korea Utara. Latarnya adalah di Zona Demiliterasi Korea (DMZ) yang memisahkan kedua negara.
Joint Security Area mengisahkan tentang Lee Soo-hyuk (Lee Byung-hun), tentara Korea Selatan yang dituduh membunuh dua tentara Korea Utara di DMZ. Kondisi ini tentu membuat hubungan kedua negara jadi panas.
Seorang penyelidik asing dan independen dari militer lantas ditugaskan untuk mengungkap kasus ini. Situasi jadi menarik saat Soo-hyuk dan para saksi dari Korea Utara memberikan keterangan yang bertolak belakang.
Joint Security Area sempat menjadi film dengan pendapatan tertinggi pada masanya, menghasilkan Rp1,8 miliar dari seluruh dunia. Filmnya juga memenangkan gelar film terbaik dari Blue Dragon Film Awards dan Grand Bell Awards.
Foto: Showbox
Yang satu ini menjadi tabu karena mengungkit aksi demonstrasi besar-besaran di Provinsi Gwangju saat masa pemerintahan rezim militer Presiden Chun Doo-hwan pada tahun 1980. Aksi demonstrasi ini dikenal dengan istilah Gwangju Uprising, dan jadi salah satu sejarah kelam Korea Selatan karena menewaskan ratusan orang.
A Taxi Driver mengisahkan tentang Kim Man-seob (Song Kang-oh), seorang sopir taksi yang diminta penumpangnya untuk mengantarkan ke Gwangju. Ia tidak tahu bahwa sang penumpang adalah wartawan dari Jerman yang ingin meliput demonstrasi.
A Taxi Driver jadi film drama laga yang sangat populer dan ditonton oleh lebih dari 12 juta orang di Korea Selatan. Film dari kisah nyata ini bisa ditonton di Netflix.
Foto: Next Entertainment World
Film ini mengangkat kisah nyata yang terjadi pada 1981 alias terjadi pada masa rezim militer. Kisahnya tentang sejumlah murid dan guru yang ditahan oleh polisi tanpa bukti kesalahan yang jelas.
Seorang pengacara yang materialistis bernama Song Woo-suk (Song Kang-ho) terlibat dalam menangani kasus ini, membuatnya malahan jadi sosok yang tulus menolong para korban kesewenang-wenangan pemerintah.
The Attorney ditonton hingga lebih dari 11 juta orang di Korea Selatan, membuatnya duduk dalam daftar film Korea dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa. Pemain lainnya ada Kim Young-ae, Oh Dal-su, Kwak Do-won, Im Si-wan, dan Lee Sung-min.
Foto: Cinemadal
Tragedi kapal ferry Sewol atau Sewol Ferry jadi salah satu sejarah kelam di Korea Selatan. Kecelakaan ini menewaskan lebih dari 300 orang, kebanyakan adalah anak-anak yang sedang melakukan piknik dari sekolahnya.
Tragedi yang terjadi karena kelalaian ini berusaha ditutupi oleh pemerintahan Park Geun-hye dan oleh media-media massa besar di Korea Selatan. Para artis yang terlihat menunjukkan simpati dan dukungan pada para korban bahkan juga terancam tidak bisa tampil di televisi alias kena blokir.
Film dokumenter The Truth Shall Not Sink With Sewol garapan Lee Sang-ho dan Ahn Hae-ryong mencoba menggambarkan hal tersebut, didukung oleh para saksi, wawancara keluarga korban, dan cuplikan berita di media. Filmnya memenangkan piala Grand Prize di Fukuoka Asian Film Festival pada 2015.
Namun saat film ini akan ditayangkan di Busan International Film Festival 2014, Wali Kota Busan Suh Byung-soo yang juga ketua festival melarang film ini diputar. Namun penyelenggara ngotot untuk tetap menayangkannya.
Mengutip Los Angeles Times, setahun berikutnya bujet untuk festival film ini dipotong hingga separuhnya. Penyelenggara pun meyakini bahwa hal ini terjadi karena penolakan mereka untuk tidak menayangkan film tersebut di festival itu.
Pada masa invasi Jepang, mengutip Korea Herald, seluruh karya terkait opini terhadap pemerintahan Jepang banyak diawasi dan disensor. Hal ini terus berlanjut setelah Korea Selatan merdeka dan pemerintahan jatuh ke tangan rezim militer pimpinan Park Chung-hee dan Chun Doo-hwan (1973 – 1992).
Pada masa modern, sensor pun tak sepenuhnya hilang. Dengan masyarakat yang konservatif, hal-hal tabu dari mulai sejarah Korea terkait dengan Jepang dan Korea Utara, hal terkait seksualitas, hingga kasus tragedi masih 'menakutkan' bagi sineas Korea Selatan untuk diceritakan karena bisa saja karyanya disensor secara berlebihan.
Nah, berikut ini lima film Korea yang mengangkat topik yang dianggap tabu di negaranya, tapi ternyata bisa tetap sukses besar.
1. The Handmaiden (2016)
Foto: CJ Entertainment
The Handmaiden banyak dibicarakan di Korea Selatan karena menyatukan dua tema yang tabu. Pertama adalah tentang masa pendudukan Jepang di Korea. Kedua adalah tentang penggambaran seksualitas yang cukup ekstrem, termasuk di antaranya tentang hubungan sesama jenis.
The Handmaiden yang digarap sutradara Park Chan-wook ini terinspirasi dari novel Fingersmith karya Sarah Waters. Bergenre psikologi thriller dan erotis, ceritanya tentang penipu ulung Fujiwara (Ha Jung-woo) yang mempekerjakan pencuri bernama Sook-hee (Kim Tae-ri) di rumah Hideko (Kim Min-hee).
Hideko adalah perempuan kaya raya yang juga seorang ahli waris. Misi Fijiwara adalah menggunakan Sook-hee agar dirinya bisa menikahi Hideko lantas memasukkan perempuan Jepang itu ke rumah sakit jiwa. Namun ternyata banyak peristiwa tak terduga yang kemudian terjadi.
The Handmaiden jadi salah satu film klasik Korea yang sangat populer, menghasilkan pendapatan nyaris USD38 juta (Rp567 miliar) di seluruh dunia. Filmnya juga berkompetisi di Cannes Film Festival dan memenangkan film terbaik berbahasa non-Inggris dari British Academy Film Awards (BAFTA).
2. Joint Security Area (2000)
Foto: CJ Entertainment
Masih dari sutradara Park Chan-wook, Joint Security Area membahas hal tabu seputar hubungan Korea Selatan dan Korea Utara. Latarnya adalah di Zona Demiliterasi Korea (DMZ) yang memisahkan kedua negara.
Joint Security Area mengisahkan tentang Lee Soo-hyuk (Lee Byung-hun), tentara Korea Selatan yang dituduh membunuh dua tentara Korea Utara di DMZ. Kondisi ini tentu membuat hubungan kedua negara jadi panas.
Seorang penyelidik asing dan independen dari militer lantas ditugaskan untuk mengungkap kasus ini. Situasi jadi menarik saat Soo-hyuk dan para saksi dari Korea Utara memberikan keterangan yang bertolak belakang.
Joint Security Area sempat menjadi film dengan pendapatan tertinggi pada masanya, menghasilkan Rp1,8 miliar dari seluruh dunia. Filmnya juga memenangkan gelar film terbaik dari Blue Dragon Film Awards dan Grand Bell Awards.
3. A Taxi Driver (2017)
Foto: Showbox
Yang satu ini menjadi tabu karena mengungkit aksi demonstrasi besar-besaran di Provinsi Gwangju saat masa pemerintahan rezim militer Presiden Chun Doo-hwan pada tahun 1980. Aksi demonstrasi ini dikenal dengan istilah Gwangju Uprising, dan jadi salah satu sejarah kelam Korea Selatan karena menewaskan ratusan orang.
A Taxi Driver mengisahkan tentang Kim Man-seob (Song Kang-oh), seorang sopir taksi yang diminta penumpangnya untuk mengantarkan ke Gwangju. Ia tidak tahu bahwa sang penumpang adalah wartawan dari Jerman yang ingin meliput demonstrasi.
A Taxi Driver jadi film drama laga yang sangat populer dan ditonton oleh lebih dari 12 juta orang di Korea Selatan. Film dari kisah nyata ini bisa ditonton di Netflix.
4. The Attorney (2013)
Foto: Next Entertainment World
Film ini mengangkat kisah nyata yang terjadi pada 1981 alias terjadi pada masa rezim militer. Kisahnya tentang sejumlah murid dan guru yang ditahan oleh polisi tanpa bukti kesalahan yang jelas.
Seorang pengacara yang materialistis bernama Song Woo-suk (Song Kang-ho) terlibat dalam menangani kasus ini, membuatnya malahan jadi sosok yang tulus menolong para korban kesewenang-wenangan pemerintah.
The Attorney ditonton hingga lebih dari 11 juta orang di Korea Selatan, membuatnya duduk dalam daftar film Korea dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa. Pemain lainnya ada Kim Young-ae, Oh Dal-su, Kwak Do-won, Im Si-wan, dan Lee Sung-min.
5. The Truth Shall Not Sink With Sewol (2014)
Foto: Cinemadal
Tragedi kapal ferry Sewol atau Sewol Ferry jadi salah satu sejarah kelam di Korea Selatan. Kecelakaan ini menewaskan lebih dari 300 orang, kebanyakan adalah anak-anak yang sedang melakukan piknik dari sekolahnya.
Tragedi yang terjadi karena kelalaian ini berusaha ditutupi oleh pemerintahan Park Geun-hye dan oleh media-media massa besar di Korea Selatan. Para artis yang terlihat menunjukkan simpati dan dukungan pada para korban bahkan juga terancam tidak bisa tampil di televisi alias kena blokir.
Film dokumenter The Truth Shall Not Sink With Sewol garapan Lee Sang-ho dan Ahn Hae-ryong mencoba menggambarkan hal tersebut, didukung oleh para saksi, wawancara keluarga korban, dan cuplikan berita di media. Filmnya memenangkan piala Grand Prize di Fukuoka Asian Film Festival pada 2015.
Namun saat film ini akan ditayangkan di Busan International Film Festival 2014, Wali Kota Busan Suh Byung-soo yang juga ketua festival melarang film ini diputar. Namun penyelenggara ngotot untuk tetap menayangkannya.
Mengutip Los Angeles Times, setahun berikutnya bujet untuk festival film ini dipotong hingga separuhnya. Penyelenggara pun meyakini bahwa hal ini terjadi karena penolakan mereka untuk tidak menayangkan film tersebut di festival itu.
(ita)