CERMIN: Bisakah Laki-Laki dan Perempuan Bersahabat hingga Puluhan Tahun?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1989. Nora Ephron menulis skenario film When Harry Met Sally dan menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan susah betul untuk berteman tanpa saling tertarik satu sama lain.
Lalu 34 tahun kemudian, pasangan suami istri penulis, Nicholas Stoller dan Francesca Delbanco, membantah hipotesis Nora melalui serial Platonic yang tayang di Apple TV.
Sebagaimana judulnya yang straightforward, kita tahu bahwa serial 10 episode ini akan bercerita soal hubungan dari dua karakter utama, Sylvia dan Will. Keduanya berteman sejak masa kuliah dan lantas menjalin persahabatan yang kental. Keduanya menjalani kegilaan demi kegilaan yang terpikirkan oleh anak muda berusia 20-an tahun.
Keduanya terus menjalani persahabatan itu hingga ketika Will memutuskan menikah dengan Audrey. No, Sylvia bukannya cemburu dengan Audrey, hanya saja ia tak suka pada istri si sahabat. Lagipula Sylvia sudah menikah dan berbahagia dengan Charlie dan ketiga anak-anak mereka yang lucu.
Foto: Apple TV
Persahabatan mereka terputus begitu saja. Lalu 13 tahun kemudian, persahabatan itu tersambung kembali ketika Charlie memberitahu ke istrinya soal Will yang bercerai dari Audrey. Charlie justru menyemangati istrinya agar kembali terkoneksi dengan sahabatnya sejak masa kuliah. Setelahnya kita akan melihat bagaimana dua orang dewasa dengan kehidupan masing-masing ternyata masih bisa bersahabat meskipun juga masih bisa berantem dengan sengit.
Serial Platonicbisa jadi lebih menarik bagi mereka yang berusia 30-40 tahun seperti saya. Seperti Will, saya pun pernah punya sahabat semasa kuliah dan ke mana-mana selalu berdua. Teman-teman seangkatan kaget luar biasa ketika tiba-tiba beredar undangan pernikahan dari sahabat saya itu dan saya bukan pengantin prianya.
Well, kami memang tak pernah pacaran. Saya bahkan sudah berteman baik dengannya sejak kami masih sama-sama duduk di bangku SMA.
Tapi ekspektasi mungkin sudah telanjur terbangun bahwa laki-laki dan perempuan sulit betul bersahabat hingga puluhan tahun. Saya pun merasakannya. Setelah lulus kuliah dan punya kehidupan masing-masing, terlebih setelah saya hijrah ke kota lain, persahabatan kami pun perlahan meredup. Pernah sekali waktu kami kembali terkoneksi, tapi tak pernah seperti yang diperlihatkan oleh Sylvia dan Will.
Foto: Apple TV
Jadi sangat asyik melihat bagaimana Platonicmenggambarkan persahabatan dua orang dewasa dengan begitu jujur. Bagaimana ekspektasi orang-orang di sekeliling memandang persahabatan itu, dan terutama bagaimana kedua sahabat menjalaninya tanpa justru pernah memedulikan ekspektasi itu.
Sylvia dan Will hanya peduli satu sama lain sebagai sahabat. Will yang tampak autentik menggambarkan bagaimana kerapuhan seorang laki-laki yang baru saja bercerai dengan segala kejutan dan tingkah kekanakannya. Hal ini selalu bisa ditolerir oleh Sylvia yang lebih dewasa dan jauh lebih pengertian.
Tapi kita juga bisa melihat Will yang begitu menghormati Sylvia sebagai perempuan dan membelanya habis-habisan ketika sahabatnya itu diperlukan tak senonoh oleh seseorang. Keduanya saling mendukung dengan cara yang kadang mungkin sulit dipahami oleh siapa pun, termasuk oleh suami Sylvia sekali pun.
Platonic bisa terasa sangat relevan terutama karena faktor reaksi kimiawi yang pas antara Rose Byrne dan Seth Rogen. Rose bisa menenggelamkan dirinya ke dalam tubuh Sylvia dan melakukan banyak hal-hal bodoh yang justru membuatnya tampak manusiawi. Sementara Seth Rogen seperti ditakdirkan untuk peran Will yang sering kali menyebalkan, sesekali menyenangkan, dan anehnya selalu bisa membuat penonton bisa peduli padanya.
Foto: Apple TV
Tapi reaksi kimiawi Rose dan Seth tak akan bisa bekerja sama padu tanpa skenario yang terasa padat, selalu bergerak lincah dan sesekali mengejutkan, dengan karakterisasi yang konsisten dan pada akhirnya membuat penonton peduli. Sebagai penonton, kita peduli pada Sylvia yang menjalani hari-harinya yang membosankan sebagai istri dan ibu tiga anak sebelum badai bernama Will kembali 'memporakporandakan' kehidupannya.
Sebagai penonton, kita juga peduli pada Will yang masih terus senewen dengan mantan istrinya yang dianggapnya terlalu cepat move on dan sering kali membuatnya merasa dirinya tak berharga. Sebagai penonton, kita peduli pada bagaimana Sylvia dan Will tetap bersahabat dengan jujur, tak pernah berusaha menjadi orang lain hanya karena mereka bertambah usia.
Juga sebagai penonton, sangat menyenangkan melihat bagaimana persahabatan keduanya kembali terkoneksi dan akhirnya bertumbuh ke arah yang lebih baik seiring waktu berjalan.
Saya pernah ada di posisi Will. Menjalani kehidupan liar, mengalami fase pernikahan yang berantakan, sering kali marah pada keadaan dan melakukan hal-hal di luar dugaan. Tapi Will beruntung punya Sylvia. Mungkin saya pun berharap bisa bertemu kembali dengan sahabat seperti Sylvia.
Platonic
Produser: O’Shea Read, Werner Walian
Sutradara: Nicholas Stoller, Francesca Delbanco
Penulis Skenario: Nicholas Stoller, Francesca Delbanco, Brittany Miller, Guy Endore-Kaiser, Andrew Gurland, Justin Nowell, Ron Weiner
Pemain: Rose Byrne, Seth Rogen, Luke Macfarlane
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Lalu 34 tahun kemudian, pasangan suami istri penulis, Nicholas Stoller dan Francesca Delbanco, membantah hipotesis Nora melalui serial Platonic yang tayang di Apple TV.
Sebagaimana judulnya yang straightforward, kita tahu bahwa serial 10 episode ini akan bercerita soal hubungan dari dua karakter utama, Sylvia dan Will. Keduanya berteman sejak masa kuliah dan lantas menjalin persahabatan yang kental. Keduanya menjalani kegilaan demi kegilaan yang terpikirkan oleh anak muda berusia 20-an tahun.
Keduanya terus menjalani persahabatan itu hingga ketika Will memutuskan menikah dengan Audrey. No, Sylvia bukannya cemburu dengan Audrey, hanya saja ia tak suka pada istri si sahabat. Lagipula Sylvia sudah menikah dan berbahagia dengan Charlie dan ketiga anak-anak mereka yang lucu.
Foto: Apple TV
Persahabatan mereka terputus begitu saja. Lalu 13 tahun kemudian, persahabatan itu tersambung kembali ketika Charlie memberitahu ke istrinya soal Will yang bercerai dari Audrey. Charlie justru menyemangati istrinya agar kembali terkoneksi dengan sahabatnya sejak masa kuliah. Setelahnya kita akan melihat bagaimana dua orang dewasa dengan kehidupan masing-masing ternyata masih bisa bersahabat meskipun juga masih bisa berantem dengan sengit.
Serial Platonicbisa jadi lebih menarik bagi mereka yang berusia 30-40 tahun seperti saya. Seperti Will, saya pun pernah punya sahabat semasa kuliah dan ke mana-mana selalu berdua. Teman-teman seangkatan kaget luar biasa ketika tiba-tiba beredar undangan pernikahan dari sahabat saya itu dan saya bukan pengantin prianya.
Well, kami memang tak pernah pacaran. Saya bahkan sudah berteman baik dengannya sejak kami masih sama-sama duduk di bangku SMA.
Tapi ekspektasi mungkin sudah telanjur terbangun bahwa laki-laki dan perempuan sulit betul bersahabat hingga puluhan tahun. Saya pun merasakannya. Setelah lulus kuliah dan punya kehidupan masing-masing, terlebih setelah saya hijrah ke kota lain, persahabatan kami pun perlahan meredup. Pernah sekali waktu kami kembali terkoneksi, tapi tak pernah seperti yang diperlihatkan oleh Sylvia dan Will.
Foto: Apple TV
Jadi sangat asyik melihat bagaimana Platonicmenggambarkan persahabatan dua orang dewasa dengan begitu jujur. Bagaimana ekspektasi orang-orang di sekeliling memandang persahabatan itu, dan terutama bagaimana kedua sahabat menjalaninya tanpa justru pernah memedulikan ekspektasi itu.
Sylvia dan Will hanya peduli satu sama lain sebagai sahabat. Will yang tampak autentik menggambarkan bagaimana kerapuhan seorang laki-laki yang baru saja bercerai dengan segala kejutan dan tingkah kekanakannya. Hal ini selalu bisa ditolerir oleh Sylvia yang lebih dewasa dan jauh lebih pengertian.
Tapi kita juga bisa melihat Will yang begitu menghormati Sylvia sebagai perempuan dan membelanya habis-habisan ketika sahabatnya itu diperlukan tak senonoh oleh seseorang. Keduanya saling mendukung dengan cara yang kadang mungkin sulit dipahami oleh siapa pun, termasuk oleh suami Sylvia sekali pun.
Platonic bisa terasa sangat relevan terutama karena faktor reaksi kimiawi yang pas antara Rose Byrne dan Seth Rogen. Rose bisa menenggelamkan dirinya ke dalam tubuh Sylvia dan melakukan banyak hal-hal bodoh yang justru membuatnya tampak manusiawi. Sementara Seth Rogen seperti ditakdirkan untuk peran Will yang sering kali menyebalkan, sesekali menyenangkan, dan anehnya selalu bisa membuat penonton bisa peduli padanya.
Foto: Apple TV
Tapi reaksi kimiawi Rose dan Seth tak akan bisa bekerja sama padu tanpa skenario yang terasa padat, selalu bergerak lincah dan sesekali mengejutkan, dengan karakterisasi yang konsisten dan pada akhirnya membuat penonton peduli. Sebagai penonton, kita peduli pada Sylvia yang menjalani hari-harinya yang membosankan sebagai istri dan ibu tiga anak sebelum badai bernama Will kembali 'memporakporandakan' kehidupannya.
Sebagai penonton, kita juga peduli pada Will yang masih terus senewen dengan mantan istrinya yang dianggapnya terlalu cepat move on dan sering kali membuatnya merasa dirinya tak berharga. Sebagai penonton, kita peduli pada bagaimana Sylvia dan Will tetap bersahabat dengan jujur, tak pernah berusaha menjadi orang lain hanya karena mereka bertambah usia.
Baca Juga
Juga sebagai penonton, sangat menyenangkan melihat bagaimana persahabatan keduanya kembali terkoneksi dan akhirnya bertumbuh ke arah yang lebih baik seiring waktu berjalan.
Saya pernah ada di posisi Will. Menjalani kehidupan liar, mengalami fase pernikahan yang berantakan, sering kali marah pada keadaan dan melakukan hal-hal di luar dugaan. Tapi Will beruntung punya Sylvia. Mungkin saya pun berharap bisa bertemu kembali dengan sahabat seperti Sylvia.
Platonic
Produser: O’Shea Read, Werner Walian
Sutradara: Nicholas Stoller, Francesca Delbanco
Penulis Skenario: Nicholas Stoller, Francesca Delbanco, Brittany Miller, Guy Endore-Kaiser, Andrew Gurland, Justin Nowell, Ron Weiner
Pemain: Rose Byrne, Seth Rogen, Luke Macfarlane
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)