SOROT: Ketika Penonton Malas Nonton Film Indonesia di Bioskop, Tunggu Tayang di Layanan Streaming
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pada dua bulan pertama tahun 2023, kita terhenyak. Dua film yang digadang-gadang akan beroleh penonton membludak di bioskop ternyata malah flop. Kedua film adalah film berbiaya jumboBalada Si Roydan film ulang buat Gita Cinta dari SMA.
Saya sempat membahas kegagalan kedua film dalam tulisan di kolom ini beberapa waktu lalu. Waktu itu saya menuding sejumlah faktor yang menyebabkan kedua film tak beroleh antuasiasme sebagaimana yang diharapkan.
Tapi ternyata ada satu faktor lagi yang luput dari perhatian saya. Faktor ini rupanya berpengaruh pada industri film Indonesia secara keseluruhan, yaitu betapa cepatnya film-film produksi rumah produksi besar turun dari bioskop, dan lantas bisa ditonton di layanan streaming video.
Film Balada Si Royyang tayang di bioskop pada 19 Januari sudah bisa disaksikan di Prime Video pada 8 Juni. Sementara Gita Cinta dari SMAyang tayang di bioskop pada 9 Februari sudah bisa disaksikan di Netflix pada 8 Juni.
Foto: IDN Pictures
Saya tak menyadari faktor ini hingga ketika terlibat percakapan dengan Tim ISP NULIS via WA Group kami soal tak mampunya film Ganjil Genapmembuat penonton berduyun-duyun datang ke bioskop. Padahal film tersebut rilis pada hari libur (cuti bersama) yang biasanya akan digunakan oleh masyarakat untuk membanjiri bioskop.
Seorang penulis kami, Arai Amelya yang berdomisili di Malang, berujar seperti ini, “Teman-temanku banyak yang ogah nonton film Indonesia di bioskop karena biasanya tak butuh waktu lama bisa nonton film tersebut di OTT”. Saya pun terhenyak.
Lebih dari 10 tahun lalu, ada masa saat film dan televisi pun menghadapi situasi unik seperti yang dihadapi film dan layanan streaming saat ini. Waktu itu televisi selalu mengincar film-film Indonesia yang dianggapnya cocok dengan target pasar masing-masing untuk diputar di slot “Tayang Perdana”. RCTI dan SCTV hampir selalu bersaing memperebutkan film-film Indonesia yang dianggap potensial dan berani membayar mahal.
Waktu itu pun sempat muncul dilema serupa. Beberapa judul film Indonesia bahkan tayang hanya tiga bulan setelah dirilis di bioskop. Pada akhirnya ada kendala yang bisa jadi tak disukai penonton dari televisi: ada iklan yang bejibun yang mengurangi kenikmatan menonton, dan sering kali pun beberapa adegan di film terkena gunting/sensor yang juga menjadi nilai minus.
Tapi layanan streaming adalah teritori berbeda. Kita bisa menonton film apa pun di sana kapan saja dan tanpa interupsi iklan. Kita bisa menontonnya utuh, bahkan tanpa sensor (regulasi lembaga sensor film sepertinya belum merambah ranah layanan streaming). Satu hal yang juga menjadi catatan penting adalah film yang tayang di layanan streaming begitu mudah dibajak dan dibagikan ulang secara gratis dengan kualitas bening.
Foto: Starvision Plus
Sebagaimana yang juga saya bahas di salah satu tulisan di kolom ini beberapa waktu lalu, tahun ini menjadi tahun pembuktian bagi film Indonesia. Tahun lalu industri film Indonesia melakukan rebound yang sangat cemerlang dan menghasilkan rekor jumlah penonton film Indonesia terbanyak sepanjang masa.
Tahun ini film Indonesia mesti membuktikan apakah jumlah penonton akan stabil atau justru menurun tajam dari tahun sebelumnya. Berdasar catatan akun Twitter Bicara Box Office, sejauh ini baru tercatat penjualan tiket untuk film Indonesia sebanyak 17,1 juta lembar. Merosot lebih dari 50% dari tahun sebelumnya.
Pertanyaan paling mendasar yang muncul setelah melihat data ini adalah faktor-faktor apa saja yang menyebabkan penurunan drastis ini? Juga apakah mungkin faktor film Indonesia terlalu cepat diputar di layanan streaming cukup berperan penting?
Beberapa hal yang memang perlu dicermati lebih lanjut adalah ketika beberapa judul film Indonesia yang dianggap punya IP (Intellectual Property) yang cukup bagus, juga dipromosikan dengan cukup baik dan terutama punya kualitas yang cukup oke, ternyata disambut begitu-begitu saja oleh penonton?
Saya sempat salah duga ketika pemutaran khusus sebelum rilis resmi dari film Hati Suhitayang disambut gegap gempita di berbagai daerah di Jawa ternyata 'hanya' menghasilkan jumlah penonton kurang dari 500 ribu orang. Padahal saya optimistis bahwa film ini bisa menembus angka box office 1 juta penonton. Nyatanya hingga 29 Juni, film produksi Starvision tersebut baru ditonton 472.625 orang.
Foto: MD Pictures
Sama seperti halnya dengan film Ganjil Genapproduksi MD Pictures. Melihat rekam jejak dari Bene Dion selaku sutradara yang mengagetkan industri dengan Ngeri-Ngeri Sedap (beroleh lebih dari 2,8 juta penonton), kita pun menunggu film tersebut dengan deg-degan.
Saya menontonnya di hari kedua rilis tepat pada hari Iduladha di show kedua di Blok M Square. Saya terhenyak. Jumlah penonton terbilang sedikit padahal filmnya menurut saya cukup bagus dan menjadi salah satucerita komedi romantis lokal favorit saya sejauh ini. Dalam dua hari pertama rilis, Ganjil Genaphanya beroleh 46.718 orang.
Saya sempat membahas kegagalan kedua film dalam tulisan di kolom ini beberapa waktu lalu. Waktu itu saya menuding sejumlah faktor yang menyebabkan kedua film tak beroleh antuasiasme sebagaimana yang diharapkan.
Tapi ternyata ada satu faktor lagi yang luput dari perhatian saya. Faktor ini rupanya berpengaruh pada industri film Indonesia secara keseluruhan, yaitu betapa cepatnya film-film produksi rumah produksi besar turun dari bioskop, dan lantas bisa ditonton di layanan streaming video.
Film Balada Si Royyang tayang di bioskop pada 19 Januari sudah bisa disaksikan di Prime Video pada 8 Juni. Sementara Gita Cinta dari SMAyang tayang di bioskop pada 9 Februari sudah bisa disaksikan di Netflix pada 8 Juni.
Foto: IDN Pictures
Saya tak menyadari faktor ini hingga ketika terlibat percakapan dengan Tim ISP NULIS via WA Group kami soal tak mampunya film Ganjil Genapmembuat penonton berduyun-duyun datang ke bioskop. Padahal film tersebut rilis pada hari libur (cuti bersama) yang biasanya akan digunakan oleh masyarakat untuk membanjiri bioskop.
Seorang penulis kami, Arai Amelya yang berdomisili di Malang, berujar seperti ini, “Teman-temanku banyak yang ogah nonton film Indonesia di bioskop karena biasanya tak butuh waktu lama bisa nonton film tersebut di OTT”. Saya pun terhenyak.
Lebih dari 10 tahun lalu, ada masa saat film dan televisi pun menghadapi situasi unik seperti yang dihadapi film dan layanan streaming saat ini. Waktu itu televisi selalu mengincar film-film Indonesia yang dianggapnya cocok dengan target pasar masing-masing untuk diputar di slot “Tayang Perdana”. RCTI dan SCTV hampir selalu bersaing memperebutkan film-film Indonesia yang dianggap potensial dan berani membayar mahal.
Waktu itu pun sempat muncul dilema serupa. Beberapa judul film Indonesia bahkan tayang hanya tiga bulan setelah dirilis di bioskop. Pada akhirnya ada kendala yang bisa jadi tak disukai penonton dari televisi: ada iklan yang bejibun yang mengurangi kenikmatan menonton, dan sering kali pun beberapa adegan di film terkena gunting/sensor yang juga menjadi nilai minus.
Tapi layanan streaming adalah teritori berbeda. Kita bisa menonton film apa pun di sana kapan saja dan tanpa interupsi iklan. Kita bisa menontonnya utuh, bahkan tanpa sensor (regulasi lembaga sensor film sepertinya belum merambah ranah layanan streaming). Satu hal yang juga menjadi catatan penting adalah film yang tayang di layanan streaming begitu mudah dibajak dan dibagikan ulang secara gratis dengan kualitas bening.
Foto: Starvision Plus
Sebagaimana yang juga saya bahas di salah satu tulisan di kolom ini beberapa waktu lalu, tahun ini menjadi tahun pembuktian bagi film Indonesia. Tahun lalu industri film Indonesia melakukan rebound yang sangat cemerlang dan menghasilkan rekor jumlah penonton film Indonesia terbanyak sepanjang masa.
Tahun ini film Indonesia mesti membuktikan apakah jumlah penonton akan stabil atau justru menurun tajam dari tahun sebelumnya. Berdasar catatan akun Twitter Bicara Box Office, sejauh ini baru tercatat penjualan tiket untuk film Indonesia sebanyak 17,1 juta lembar. Merosot lebih dari 50% dari tahun sebelumnya.
Pertanyaan paling mendasar yang muncul setelah melihat data ini adalah faktor-faktor apa saja yang menyebabkan penurunan drastis ini? Juga apakah mungkin faktor film Indonesia terlalu cepat diputar di layanan streaming cukup berperan penting?
Beberapa hal yang memang perlu dicermati lebih lanjut adalah ketika beberapa judul film Indonesia yang dianggap punya IP (Intellectual Property) yang cukup bagus, juga dipromosikan dengan cukup baik dan terutama punya kualitas yang cukup oke, ternyata disambut begitu-begitu saja oleh penonton?
Saya sempat salah duga ketika pemutaran khusus sebelum rilis resmi dari film Hati Suhitayang disambut gegap gempita di berbagai daerah di Jawa ternyata 'hanya' menghasilkan jumlah penonton kurang dari 500 ribu orang. Padahal saya optimistis bahwa film ini bisa menembus angka box office 1 juta penonton. Nyatanya hingga 29 Juni, film produksi Starvision tersebut baru ditonton 472.625 orang.
Foto: MD Pictures
Sama seperti halnya dengan film Ganjil Genapproduksi MD Pictures. Melihat rekam jejak dari Bene Dion selaku sutradara yang mengagetkan industri dengan Ngeri-Ngeri Sedap (beroleh lebih dari 2,8 juta penonton), kita pun menunggu film tersebut dengan deg-degan.
Saya menontonnya di hari kedua rilis tepat pada hari Iduladha di show kedua di Blok M Square. Saya terhenyak. Jumlah penonton terbilang sedikit padahal filmnya menurut saya cukup bagus dan menjadi salah satucerita komedi romantis lokal favorit saya sejauh ini. Dalam dua hari pertama rilis, Ganjil Genaphanya beroleh 46.718 orang.