CERMIN: Zombi dari London Menyerang Warga Desa di Jawa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2023. Dengan sebuah adegan pembuka yang mencekam, Christine Hakim bergetar menahan takut ketika tahu bahwa virus mematikan yang mengubah manusia menjadi zombi mulai tersebar. Virus dari Indonesia itu kelak akan mengubah dunia secara keseluruhan.
Tentu saja ini sebuah kisah rekaan dari gim populer yang lantas diadaptasi menjadi serial sukses berjudul The Last of Us. Dua tahun sebelumnya, layanan streaming dari Falcon Pictures, Klik Film, memproduksi miniseri berjudul Hitamyang justru menceritakan seorang gadis Indonesia membawa pulang virus dari London yang kelak mengubahnya menjadi zombi.
Miniseri Hitamyang kini kembali tayang di Netflix berkisah tentang Tika yang baru saja pulang kembali ke desanya di Jawa setelah menuntaskan pendidikannya di London. Kepulangannya disambut sumringah oleh ayahnya, Dibyo, yang menjabat sebagai kepala desa. Namun kebahagiaan itu berumur pendek.
Ternyata Tika pulang membawa virus mematikan yang menjangkitinya sebelum ia kelak terbang kembali ke Indonesia. Diawali dengan tanda-tanda biasa seperti merasa tak lapar seharian dan merasa jet lag terus menerus, membuat Dibyo tak menaruh curiga.
Foto: Netflix
Tapi desa yang tenteram itu mulai diguncang teror. Dibyo sendiri menerima tekanan sebagai akibat dari ketegasannya terkait rencana revitalisasi pasar. Awalnya kita menduga semua saling terkait satu sama lain. Misteri pun mulai merebak. Hewan peliharaan seperti kambing mati dalam keadaan mengenaskan.
Seorang warga, Pak Rahmat, lenyap begitu saja dan tak ditemukan hingga berhari-hari. Perlahan kita tahu bahwa sumber segala sumber adalah sebuah virus mematikan dari London yang mengubah Tika menjadi zombi.
Mengedepankan perihal zombi di kancah sinema Indonesia adalah sesuatu yang menarik. Tak banyak yang melakukannya dan jika pun ada yang melakukannya, hanya sedikit yang bisa melakukannya dengan baik.
Meski tak didukung dengan skenario yang cukup mumpuni, Sidharta Tata sebagai sutradara menjalankan tugasnya dengan baik. Ia menambal bolong-bolong yang ada di skenario, meski masih menyisakan dialog demi dialog yang terdengar generik di telinga dan mengangkatnya menjadi sebuah miniseri dengan misteri yang terjalin dengan cukup rapi.
Foto: Netflix
Dengan jangkauan semesta cerita yang tak luas, Sidharta leluasa menggarap yang ada di dalamnya dengan lebih fokus. Ia memberi ruang bagi karakter-karakter untuk berkembang, memperlihatkan jalinan di antara mereka dengan baik, dan terutama memberi sorot yang cukup bagi pendatang baru seperti Sara Fajira untuk bersinar.
Maka kita melihat cara Sidharta memberi ruang bagi penonton untuk melihat hubungan Tika dan ayahnya, masa lalu keduanya yang menghasilkan hubungan tak harmonis kelak, yang mungkin berimbas pada perginya Tika sejenak dari kehidupan Dibyo.
Kita juga melihat Sidharta memberi ruang bagi penonton untuk melihat Gilang kecil masuk ke dalam kehidupan Tika dan Dibyo, dan menjadi bagian penting dari kehidupan mereka. Kita juga melihat Retno yang gusar melihat ayahnya yang menghilang begitu saja, dan ibunya yang tiba-tiba seperti kehilangan akal harus kembali merasakan kehadiran Gilang, yangpada masa lalu bisa jadi pernah menyakiti hatinya.
Terutama juga kita melihat Dibyo sebagai seorang ayah yang bertindak melakukan apa pun untuk melindungi putrinya yang sesungguhnya bukan benar-benar putrinya lagi.
Foto: Netflix
Mungkin itulah yang membuat kita mudah terkoneksi dengan Hitamdibanding dengan film/serial/miniseri asing yang bertema serupa. Orang-orang seperti Dibyo, Tika, Retno, dan Gilang ada di sekitar kita. Bisa jadi mereka adalah kita yang merasa perlu bertindak melebihi yang bisa dibayangkan demi melindungi orang-orang tercinta.
Dibyo yang terasa berjarak dengan putrinya tetap tak tega ketika melihat Tika sudah berubah wujud. Ia melakukan segala cara untuk melindungi putrinya. Kini ia hanya Dibyo yang seorang ayah, bukan lagi Dibyo yang seorang kepala desa.
Sayangnya memang skenario tak menjalin lebih rapi intrik-intrik yang sesungguhnya potensial menarik di balik rencana revitalisasi pasar yang melibatkan Dibyo. Ketika kita akhirnya tahu bahwa misteri terbesar Hitamadalah ketika Tika menjadi zombi, maka sejak itu pula, hal-hal yang terjadi di luar isu ini berangsur lenyap. Karakter sepenting Bambang pun tak difungsikan lebih baik untuk membuat cerita berjalan lebih menarik.
Tapi saya pikir keberadaan miniseri Hitamakan membuka mata para pembuat film bahwa isu ini bisa dieksekusi dengan baik dan dengan biaya yang relatif tak mahal jika mengendarai cerita dan skenario yang mumpuni.
Hitamtak memerlukan bintang-bintang populer dengan tarif mahal untuk membuatnya dikenal. Ia direkognisi karena keberhasilannya membuat isu zombi menjadi lebih terlihat memungkinkan untuk menjadi sebuah karya yang cemerlang.
HITAM
Produser: Ifa Isfansyah
Penulis Skenario: Fajar Martha Santosa, Sandi Paputungan
Sutradara: Sidharta Tata
Pemain: Donny Damara, Sara Fajira, Eka Nusa Pertiwi
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Tentu saja ini sebuah kisah rekaan dari gim populer yang lantas diadaptasi menjadi serial sukses berjudul The Last of Us. Dua tahun sebelumnya, layanan streaming dari Falcon Pictures, Klik Film, memproduksi miniseri berjudul Hitamyang justru menceritakan seorang gadis Indonesia membawa pulang virus dari London yang kelak mengubahnya menjadi zombi.
Miniseri Hitamyang kini kembali tayang di Netflix berkisah tentang Tika yang baru saja pulang kembali ke desanya di Jawa setelah menuntaskan pendidikannya di London. Kepulangannya disambut sumringah oleh ayahnya, Dibyo, yang menjabat sebagai kepala desa. Namun kebahagiaan itu berumur pendek.
Ternyata Tika pulang membawa virus mematikan yang menjangkitinya sebelum ia kelak terbang kembali ke Indonesia. Diawali dengan tanda-tanda biasa seperti merasa tak lapar seharian dan merasa jet lag terus menerus, membuat Dibyo tak menaruh curiga.
Foto: Netflix
Tapi desa yang tenteram itu mulai diguncang teror. Dibyo sendiri menerima tekanan sebagai akibat dari ketegasannya terkait rencana revitalisasi pasar. Awalnya kita menduga semua saling terkait satu sama lain. Misteri pun mulai merebak. Hewan peliharaan seperti kambing mati dalam keadaan mengenaskan.
Seorang warga, Pak Rahmat, lenyap begitu saja dan tak ditemukan hingga berhari-hari. Perlahan kita tahu bahwa sumber segala sumber adalah sebuah virus mematikan dari London yang mengubah Tika menjadi zombi.
Mengedepankan perihal zombi di kancah sinema Indonesia adalah sesuatu yang menarik. Tak banyak yang melakukannya dan jika pun ada yang melakukannya, hanya sedikit yang bisa melakukannya dengan baik.
Meski tak didukung dengan skenario yang cukup mumpuni, Sidharta Tata sebagai sutradara menjalankan tugasnya dengan baik. Ia menambal bolong-bolong yang ada di skenario, meski masih menyisakan dialog demi dialog yang terdengar generik di telinga dan mengangkatnya menjadi sebuah miniseri dengan misteri yang terjalin dengan cukup rapi.
Foto: Netflix
Dengan jangkauan semesta cerita yang tak luas, Sidharta leluasa menggarap yang ada di dalamnya dengan lebih fokus. Ia memberi ruang bagi karakter-karakter untuk berkembang, memperlihatkan jalinan di antara mereka dengan baik, dan terutama memberi sorot yang cukup bagi pendatang baru seperti Sara Fajira untuk bersinar.
Maka kita melihat cara Sidharta memberi ruang bagi penonton untuk melihat hubungan Tika dan ayahnya, masa lalu keduanya yang menghasilkan hubungan tak harmonis kelak, yang mungkin berimbas pada perginya Tika sejenak dari kehidupan Dibyo.
Kita juga melihat Sidharta memberi ruang bagi penonton untuk melihat Gilang kecil masuk ke dalam kehidupan Tika dan Dibyo, dan menjadi bagian penting dari kehidupan mereka. Kita juga melihat Retno yang gusar melihat ayahnya yang menghilang begitu saja, dan ibunya yang tiba-tiba seperti kehilangan akal harus kembali merasakan kehadiran Gilang, yangpada masa lalu bisa jadi pernah menyakiti hatinya.
Terutama juga kita melihat Dibyo sebagai seorang ayah yang bertindak melakukan apa pun untuk melindungi putrinya yang sesungguhnya bukan benar-benar putrinya lagi.
Foto: Netflix
Mungkin itulah yang membuat kita mudah terkoneksi dengan Hitamdibanding dengan film/serial/miniseri asing yang bertema serupa. Orang-orang seperti Dibyo, Tika, Retno, dan Gilang ada di sekitar kita. Bisa jadi mereka adalah kita yang merasa perlu bertindak melebihi yang bisa dibayangkan demi melindungi orang-orang tercinta.
Dibyo yang terasa berjarak dengan putrinya tetap tak tega ketika melihat Tika sudah berubah wujud. Ia melakukan segala cara untuk melindungi putrinya. Kini ia hanya Dibyo yang seorang ayah, bukan lagi Dibyo yang seorang kepala desa.
Sayangnya memang skenario tak menjalin lebih rapi intrik-intrik yang sesungguhnya potensial menarik di balik rencana revitalisasi pasar yang melibatkan Dibyo. Ketika kita akhirnya tahu bahwa misteri terbesar Hitamadalah ketika Tika menjadi zombi, maka sejak itu pula, hal-hal yang terjadi di luar isu ini berangsur lenyap. Karakter sepenting Bambang pun tak difungsikan lebih baik untuk membuat cerita berjalan lebih menarik.
Tapi saya pikir keberadaan miniseri Hitamakan membuka mata para pembuat film bahwa isu ini bisa dieksekusi dengan baik dan dengan biaya yang relatif tak mahal jika mengendarai cerita dan skenario yang mumpuni.
Hitamtak memerlukan bintang-bintang populer dengan tarif mahal untuk membuatnya dikenal. Ia direkognisi karena keberhasilannya membuat isu zombi menjadi lebih terlihat memungkinkan untuk menjadi sebuah karya yang cemerlang.
HITAM
Produser: Ifa Isfansyah
Penulis Skenario: Fajar Martha Santosa, Sandi Paputungan
Sutradara: Sidharta Tata
Pemain: Donny Damara, Sara Fajira, Eka Nusa Pertiwi
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)