10 Film Spin-off Paling Rungkad, Maksa Banget buat Dibikin!
loading...
A
A
A
Franchise film itu gampang-gampang susah untuk ditangani dan bahkan lebih sulit untuk dibuat. Terlalu banyak konten bisa membanjiri dan membuat penggemar menjauuh. Bahkan, serial paling sukses pun bisa terpeleset kalau mereka terlalu jauh—itulah kondisi yang sudah cukup dibuktikan Marvel Cinematic Universe (MCU) saat ini.
Tapi, kesuksesan sebuah film original selalu menggoda studio untuk membuatkan franchise-nya. Ketika franchise itu sukses, mereka akan mencari sela untuk membuat spin-off yang diharapkan bisa sama-sama sukses dan tetap menjaga relevansi seri aslinya. Dan, tidak semua studio berhasil melakukannya.
Spin-off secara khusus sulit untuk dieksekusi secara sukses. Di puncak terbaiknya, spin-off bisa memberikan sorotan kepada karakter underrated dan mengeluarkan dunia mereka. Tapi, sebaliknya, sempalan ini bisa jadi tidak berguna dan usaha menarik uang yang merentangkan kontennya dengan sangat tipis, sehingga tidak menarik bagi audiens. Ada sejumlah spin-off yang memang sangat jelek, tidak menawarkan banyak ide original, dan kekurangan nilai hiburan. Apa saja? Mengutip Collider, simak ulasannya berikut!
Foto: IndieWire
Dwayne “The Rock” Johnson menderita kesalahan terbesar dalam kariernya dengan film superhero Black Adam yang dirilis 2022. Sebuah usaha yang tidak bertujuan dan tidak bisa dijelaskan untuk mengubah penjahat DC kelas B menjadi antihero modern, Black Adam terasa tidak fokus dan sia-sia. Bahkan, dengan standar DC.
Sudah banyak yang mengungkapkan tentang drama di balik layar film itu. Tapi, masalah nyatanya adalah apa yang ada di layar. Black Adam adalah karakter yang populer di kalangan penggemar komik. Tapi, penonton mainstream tidak mengenalnya dan tidak tertarik mengenalnya. Dengan mempertimbangkan konten superhero yang sudah ada saat ini, audiens tentu tidak mau menginvestasikan waktu mereka pada karakter dengan kekuatan yang sama dengan karakter lain yang tidak membuat mereka tertarik.
Foto: Vox
Serial Toy Story adalah bagian menyenangkan dari sinema modern yang sudah memperpanjang sambutannya. Film itu punya finale yang juara dan memuaskan dengan Toy Story 3 sebelum ketamakan menginspirasi film keempat yang menodai warisan trilogi itu. Film kelima sudah diumumkan, meskipun kekecewaan terhadap spin-off Lightyear seharusnya menyebabkan keprihatinan.
Lightyear adalah definisi atas film “siapa sih yang minta?” Buzz Lightyear adalah karakter asyik. Tapi, dia bagian dari tim, bukan pemeran utama—dia bahkan bukan bintangnya film Toy Story! Chris Evans melakukan yang terbaik dan animasinya bagus. Tapi, lini cerita yang malas dan vibe membingungkan membuat film ini nyaris mustahil buat dinikmati penonton.
Foto: TNT
Sekilas, tidak sulit melihat mengapa Universal memilih membuat spin-off untuk hit kejutan mereka, Bruce Almighty, pada 2003. Pada 2007, Steve Carell adalah komedian terpanas di Hollywood, pasca-Little Miss Sunshine, dan mengendarai gelombang kesuksesan The Office. Dia pun terpilih menjadi pemeran utama di Evan Almighty.
Sayang, Evan Almighty salah memahami apa yang membuat film aslinya begitu sukses, yaitu dengan membiarkan pemeran utama cowoknya berlarian dengan liar dan bebas. Film itu juga salah memahami apa yang membuat Evan Baxter menjadi karakter yang begitu diingat, dengan mengubahnya dari seorang antagonis brengsek menjadi protagonis underdog. Evan Almighty menyia-nyiakan waktu semua orang, termasuk Steve, Morgan Freeman, dan orang-orang yang membayar tiket untuk menontonnya.
Foto: The Playlist
Dengan banyak cara, Dwayne “The Rock” Johnson punya karier membuat spin-off—beberapa di antaranya lebih sukses dari yang lainnya. Usaha pertamanya, The Scorpion King, membawanya kembali ke perannya dari The Mummy Returns. Dengan cara khas Dwayne, karakter itu berubah dari penjahat menjadi pahlawan tragis dengan film itu berkisah tentang cerita asal usulnya sebagai prajurit kuat.
The Scorpion King itu cheesy dan, kadang, konyol luar biasa. Karakternya jelek di The Mummy Returns. Sementara, film solonya berusaha keras membuatnya menarik, usaha itu pada akhirnya gagal. The Scorpion King membuktikan ada kualitas pemeran utama yang bersembunyi di diri The Rock, meski itu juga mengonfirmasi kalau petualangan Mummy di layar lebar hanya bekerja ketika Brendan Fraser menjadi bintangnya.
Foto: Syfy
Selalu menyenangkan melihat Jennifer Garner di layar. Perannya di Alias mengokohkan tempatnya sebagai ikon action modern dan dia telah lebih dari membuktikan keserbagunaannya sebagai aktris di proyek seperti Juno dan13 Going on 30. Jennifer akan menjadi kendaraan layar lebar. Sayang, dia harus membintangi Elektra.
Film yang menjadi asalnya, Daredevil, terkenal jelek. Pendekatan Jennifer terhadap Elektra juga tidak terlalu diterima dengan baik. Lalu, Elektra bukanlah karakter Marvel kelas A dan itu adalah era pra-MCU ketika audiens hanya tertarik pada pemain utama Marvel. Elektra direncanakan untuk gagal dari awal dan fakta kalau studionya masih memilih membuatnya tetap menjadi tanda tanya.
Foto: The New York Times
Film Harry Potter jelas merupakan fenomena besar pada 2000. Franchise ini telah memproduksi delapan film yang menjadi hit di box office. Serial spin-off-nya, Fantastic Beast, terbukti kurang sukses. Ini terutama karena betapa kurang tujuan dan perulangannya.
Penggemar sudah menonton plot kebaikan melawan kejahatan dengan Harry dan Voldemort. Yang tidak membantu adalah Newt Scamader kurang menarik ketimbang Harry dan Grindelwald kurang sangar ketimbang Voldemort. Kontroversi di kehidupan nyata adalah paku terakhir di peti serial yang tidak banyak dipedulikan penggemar Harry Potter ini.
Foto: The Daily Beast
Trilogi Bourne karya Paul Greengrass unggul karena sejumlah alasan. Matt Damon adalah protagonis yang menarik dan kompleks, action-nya ketat dan seru, dan plot film itu terus jadi intensif dengan setiap entry barunya. Dengan cerita Bourne yang sepertinya selesai setelah The Bourne Ultimatum, Universal memilih melanjutkan serial itu dengan karakter utama lain, yang menghasilkan The Bourne Legacy.
Sayang, Aaron Cross yang diperankan Jeremy Renner hanya terlihat seperti imitasi pucat dari Bourne yang diperankan Matt Damon. Meskipun, Jeremy sudah berusaha sebaik mungkin. Pendekatan berlebihan Tony Gilroy menyebabkan premis yang kurang menarik, gagal menjustifikasi eksistensi film dan mengokohkan opini kalau film itu secara resmi telah memperpanjang sambutannya.
Foto: Polygon
Pendekatan Michelle Pfeiffer terhadap Catwoman telah mengubah karakter itu menjadi ikon sinematik yang tidak lekang waktu. Penggemar pun jadi ingin lebih banyak menyaksikan aksinya, terutama setelah ending ambigu Batman Returns. Tapi, proyek solonya terkatung-katung dalam pengembangan selama bertahun-tahun. Peran itu pun akhirnya menjalani casting ulang.
Halle Berry adalah pilihan yang menginspirasi untuk peran itu. Tapi, naskah Catwoman gagal menyampaikan apa yang diinginkan penonton dari film solo Catwoman. Hilanglah kompleksitas Michelle dengan peran dan penampilannya yang rapuh tapi seksi sebagai antihero yang digantikan dengan cerita yang terburu-buru yang berbatasan dengan absurditas. Di mana penggemar ingin melhat lebih banyak tentang antihero dari Batman Returns itu, Catwoman memberikan versi yang benar-benar berbeda yang terbukti tidak populer dengan kritikus dan audiens yang tidak tertarik pada vibe campy yang dimaksudkan film itu.
Foto: Wired
Begitu Star Wars jatuh ke tangan Disney, Rumah Tikus itu memulai rencananya untuk memerah setiap tetes susu dari sapi perah baru mereka itu. Mereka memberi lampu hijau untuk trilogi baru, berbagai spin-off, dan serial televisi. Itu termasuk cerita asal usul salah satu karakter mereka paling terkenal, Han Solo.
Tapi, Disney salah perhitungan karena audiens bukanlah penggemar karakter itu, tapi pada cara Harrison Ford memerankannya. Solo: A Star Wars Story juga tidak berutung karena dirilis di titik terendah fandom Star Wars setelah review negatif pada The Rise of Skywalker. Solo adalah film yang menyenangkan, tapi sulit bagi orang bersuka cita menonton karakter sebelum hari-harinya bersama Rebellion, terutama karena Harrison tidak memerankannya.
Foto: The Hollywood Reporter
Morbius punya semua yang melawannya. Dia adalah penjahat kelas B yang tidak dikenal sebagian besar penggemar mainstream, pemeran utama tanpa kekuatan bintang, dan jadwal perilisan yang membuat film tidak akan laku. Ditambah sejumlah penundaan terkait pandemi dan kampanye negatif dari mulut ke mulut, film ini selalu ditakdirkan untuk gagal.
Yang lebih pentingnya, penggemar hanya tidak tertarik pada film seputar penjahat minor dari dunia Spider-Man. Bahkan, karakter populer seperti Venom pun harus berjuang mati-matian tanpa kehadiran manusia laba-laba itu. Kengototan Sony memproduksi spin-off Spider-Man pada akhirnya akan merusak merek itu karena jelas kalau audiens tidak tertarik pada konten Spider-Man tanpa Spider-Man.
Tapi, kesuksesan sebuah film original selalu menggoda studio untuk membuatkan franchise-nya. Ketika franchise itu sukses, mereka akan mencari sela untuk membuat spin-off yang diharapkan bisa sama-sama sukses dan tetap menjaga relevansi seri aslinya. Dan, tidak semua studio berhasil melakukannya.
Spin-off secara khusus sulit untuk dieksekusi secara sukses. Di puncak terbaiknya, spin-off bisa memberikan sorotan kepada karakter underrated dan mengeluarkan dunia mereka. Tapi, sebaliknya, sempalan ini bisa jadi tidak berguna dan usaha menarik uang yang merentangkan kontennya dengan sangat tipis, sehingga tidak menarik bagi audiens. Ada sejumlah spin-off yang memang sangat jelek, tidak menawarkan banyak ide original, dan kekurangan nilai hiburan. Apa saja? Mengutip Collider, simak ulasannya berikut!
10. Black Adam
Foto: IndieWire
Dwayne “The Rock” Johnson menderita kesalahan terbesar dalam kariernya dengan film superhero Black Adam yang dirilis 2022. Sebuah usaha yang tidak bertujuan dan tidak bisa dijelaskan untuk mengubah penjahat DC kelas B menjadi antihero modern, Black Adam terasa tidak fokus dan sia-sia. Bahkan, dengan standar DC.
Sudah banyak yang mengungkapkan tentang drama di balik layar film itu. Tapi, masalah nyatanya adalah apa yang ada di layar. Black Adam adalah karakter yang populer di kalangan penggemar komik. Tapi, penonton mainstream tidak mengenalnya dan tidak tertarik mengenalnya. Dengan mempertimbangkan konten superhero yang sudah ada saat ini, audiens tentu tidak mau menginvestasikan waktu mereka pada karakter dengan kekuatan yang sama dengan karakter lain yang tidak membuat mereka tertarik.
9. Lightyear
Foto: Vox
Serial Toy Story adalah bagian menyenangkan dari sinema modern yang sudah memperpanjang sambutannya. Film itu punya finale yang juara dan memuaskan dengan Toy Story 3 sebelum ketamakan menginspirasi film keempat yang menodai warisan trilogi itu. Film kelima sudah diumumkan, meskipun kekecewaan terhadap spin-off Lightyear seharusnya menyebabkan keprihatinan.
Lightyear adalah definisi atas film “siapa sih yang minta?” Buzz Lightyear adalah karakter asyik. Tapi, dia bagian dari tim, bukan pemeran utama—dia bahkan bukan bintangnya film Toy Story! Chris Evans melakukan yang terbaik dan animasinya bagus. Tapi, lini cerita yang malas dan vibe membingungkan membuat film ini nyaris mustahil buat dinikmati penonton.
8. Evan Almighty
Foto: TNT
Sekilas, tidak sulit melihat mengapa Universal memilih membuat spin-off untuk hit kejutan mereka, Bruce Almighty, pada 2003. Pada 2007, Steve Carell adalah komedian terpanas di Hollywood, pasca-Little Miss Sunshine, dan mengendarai gelombang kesuksesan The Office. Dia pun terpilih menjadi pemeran utama di Evan Almighty.
Sayang, Evan Almighty salah memahami apa yang membuat film aslinya begitu sukses, yaitu dengan membiarkan pemeran utama cowoknya berlarian dengan liar dan bebas. Film itu juga salah memahami apa yang membuat Evan Baxter menjadi karakter yang begitu diingat, dengan mengubahnya dari seorang antagonis brengsek menjadi protagonis underdog. Evan Almighty menyia-nyiakan waktu semua orang, termasuk Steve, Morgan Freeman, dan orang-orang yang membayar tiket untuk menontonnya.
7. The Scorpion King
Foto: The Playlist
Dengan banyak cara, Dwayne “The Rock” Johnson punya karier membuat spin-off—beberapa di antaranya lebih sukses dari yang lainnya. Usaha pertamanya, The Scorpion King, membawanya kembali ke perannya dari The Mummy Returns. Dengan cara khas Dwayne, karakter itu berubah dari penjahat menjadi pahlawan tragis dengan film itu berkisah tentang cerita asal usulnya sebagai prajurit kuat.
The Scorpion King itu cheesy dan, kadang, konyol luar biasa. Karakternya jelek di The Mummy Returns. Sementara, film solonya berusaha keras membuatnya menarik, usaha itu pada akhirnya gagal. The Scorpion King membuktikan ada kualitas pemeran utama yang bersembunyi di diri The Rock, meski itu juga mengonfirmasi kalau petualangan Mummy di layar lebar hanya bekerja ketika Brendan Fraser menjadi bintangnya.
6. Elektra
Foto: Syfy
Selalu menyenangkan melihat Jennifer Garner di layar. Perannya di Alias mengokohkan tempatnya sebagai ikon action modern dan dia telah lebih dari membuktikan keserbagunaannya sebagai aktris di proyek seperti Juno dan13 Going on 30. Jennifer akan menjadi kendaraan layar lebar. Sayang, dia harus membintangi Elektra.
Film yang menjadi asalnya, Daredevil, terkenal jelek. Pendekatan Jennifer terhadap Elektra juga tidak terlalu diterima dengan baik. Lalu, Elektra bukanlah karakter Marvel kelas A dan itu adalah era pra-MCU ketika audiens hanya tertarik pada pemain utama Marvel. Elektra direncanakan untuk gagal dari awal dan fakta kalau studionya masih memilih membuatnya tetap menjadi tanda tanya.
5. Fantastic Beasts
Foto: The New York Times
Film Harry Potter jelas merupakan fenomena besar pada 2000. Franchise ini telah memproduksi delapan film yang menjadi hit di box office. Serial spin-off-nya, Fantastic Beast, terbukti kurang sukses. Ini terutama karena betapa kurang tujuan dan perulangannya.
Penggemar sudah menonton plot kebaikan melawan kejahatan dengan Harry dan Voldemort. Yang tidak membantu adalah Newt Scamader kurang menarik ketimbang Harry dan Grindelwald kurang sangar ketimbang Voldemort. Kontroversi di kehidupan nyata adalah paku terakhir di peti serial yang tidak banyak dipedulikan penggemar Harry Potter ini.
4. The Bourne Legacy
Foto: The Daily Beast
Trilogi Bourne karya Paul Greengrass unggul karena sejumlah alasan. Matt Damon adalah protagonis yang menarik dan kompleks, action-nya ketat dan seru, dan plot film itu terus jadi intensif dengan setiap entry barunya. Dengan cerita Bourne yang sepertinya selesai setelah The Bourne Ultimatum, Universal memilih melanjutkan serial itu dengan karakter utama lain, yang menghasilkan The Bourne Legacy.
Sayang, Aaron Cross yang diperankan Jeremy Renner hanya terlihat seperti imitasi pucat dari Bourne yang diperankan Matt Damon. Meskipun, Jeremy sudah berusaha sebaik mungkin. Pendekatan berlebihan Tony Gilroy menyebabkan premis yang kurang menarik, gagal menjustifikasi eksistensi film dan mengokohkan opini kalau film itu secara resmi telah memperpanjang sambutannya.
3. Catwoman
Foto: Polygon
Pendekatan Michelle Pfeiffer terhadap Catwoman telah mengubah karakter itu menjadi ikon sinematik yang tidak lekang waktu. Penggemar pun jadi ingin lebih banyak menyaksikan aksinya, terutama setelah ending ambigu Batman Returns. Tapi, proyek solonya terkatung-katung dalam pengembangan selama bertahun-tahun. Peran itu pun akhirnya menjalani casting ulang.
Halle Berry adalah pilihan yang menginspirasi untuk peran itu. Tapi, naskah Catwoman gagal menyampaikan apa yang diinginkan penonton dari film solo Catwoman. Hilanglah kompleksitas Michelle dengan peran dan penampilannya yang rapuh tapi seksi sebagai antihero yang digantikan dengan cerita yang terburu-buru yang berbatasan dengan absurditas. Di mana penggemar ingin melhat lebih banyak tentang antihero dari Batman Returns itu, Catwoman memberikan versi yang benar-benar berbeda yang terbukti tidak populer dengan kritikus dan audiens yang tidak tertarik pada vibe campy yang dimaksudkan film itu.
2. Solo: A Star Wars Story
Foto: Wired
Begitu Star Wars jatuh ke tangan Disney, Rumah Tikus itu memulai rencananya untuk memerah setiap tetes susu dari sapi perah baru mereka itu. Mereka memberi lampu hijau untuk trilogi baru, berbagai spin-off, dan serial televisi. Itu termasuk cerita asal usul salah satu karakter mereka paling terkenal, Han Solo.
Tapi, Disney salah perhitungan karena audiens bukanlah penggemar karakter itu, tapi pada cara Harrison Ford memerankannya. Solo: A Star Wars Story juga tidak berutung karena dirilis di titik terendah fandom Star Wars setelah review negatif pada The Rise of Skywalker. Solo adalah film yang menyenangkan, tapi sulit bagi orang bersuka cita menonton karakter sebelum hari-harinya bersama Rebellion, terutama karena Harrison tidak memerankannya.
1. Morbius
Foto: The Hollywood Reporter
Morbius punya semua yang melawannya. Dia adalah penjahat kelas B yang tidak dikenal sebagian besar penggemar mainstream, pemeran utama tanpa kekuatan bintang, dan jadwal perilisan yang membuat film tidak akan laku. Ditambah sejumlah penundaan terkait pandemi dan kampanye negatif dari mulut ke mulut, film ini selalu ditakdirkan untuk gagal.
Yang lebih pentingnya, penggemar hanya tidak tertarik pada film seputar penjahat minor dari dunia Spider-Man. Bahkan, karakter populer seperti Venom pun harus berjuang mati-matian tanpa kehadiran manusia laba-laba itu. Kengototan Sony memproduksi spin-off Spider-Man pada akhirnya akan merusak merek itu karena jelas kalau audiens tidak tertarik pada konten Spider-Man tanpa Spider-Man.
(alv)