CERMIN: Perempuan-Perempuan yang Bertempur dengan Masa Lalu dan Luka-Luka
loading...
A
A
A
JAKARTA - Selamat datang di Losmen Bu Broto. Kita kembali melintasi waktu ke tahun 1986 ketika pertama kali kita bertemu dengan karakter-karakter menarik di seputar losmen.
Dari pasangan suami istri, Pak dan Bu Broto, Jeng Pur, Jeng Sri dan Tarjo, semuanya hadir dengan kisah-kisahnya sendiri dalam serial yang tayang di TVRI hingga tahun 1989.
Losmen Bu Brotoyang kini tayang di Disney+ Hoststar bukanlah upaya perdana untuk meremajakan cerita ini melalui film bioskop. Setahun setelah serial tersebut diterima dengan baik oleh masyarakat, Penginapan Bu Brotodirilis di bioskop. Yang menarik karena duet pasangan suami istri, Wahyu Sihombing dan Tatiek Maliyati kembali dilibatkan sebagai kreatornya.
Lalu 24 tahun berselang, kita melihat karakter-karakter itu muncul kembali. Diperankan oleh pemain-pemain yang berbeda, juga mengedepankan masalah-masalah yang berbeda. Dalam Losmen Bu Broto, kita akan kembali berkenalan dengan tiga karakter perempuan yang menjadi pusat dari semesta cerita ini: Bu Broto, Jeng Pur, dan Jeng Sri.
Foto: Fourcolours Films
Ketiga perempuan hadir dengan ceritanya masing-masing. Dengan masa lalunya masing-masing. Juga dengan luka-luka yang membebani mereka. Bu Broto yang tegas dan tampak otoriter berupaya keras menjadikan segala sesuatu di sekitarnya tampak sempurna termasuk anak-anaknya.
Losmen adalah semesta kehidupannya dan semua orang-orang yang berada di sekitarnya mesti tunduk pada upaya bagaimana kesempurnaan itu selalu menjadi representasi dari penginapan itu. Tapi kita tahu kesempurnaan itu nisbi, sering kali tak ada. Yang terjadi adalah menyembunyikan kelemahan-kelemahan demi memaksa diri tampak sempurna.
Lantas kita melihat bagaimana duet Ifa Isfansyah dan Eddie Cahyono menghadirkan pergumulan Bu Broto dengan Tante Willem secara singkat. Tak jelas betul apa yang terjadi pada masa lalu kedua sepupu jauh ini sehingga Bu Broto seperti terperangkap di dalamnya.
Ketika Tante Willem hendak berkunjung, Bu Broto ingin menutupi segala sesuatu yang berpotensi membuat losmen yang dikelolanya kehilangan kesempurnaannya. Tapi kita tahu hal tersebut tak bisa diwujudkan.
Foto: Fourcolours Films
Ketidaksempurnaan itu diwakili oleh dua anak perempuannya, Jeng Pur dan Jeng Sri. Sekilas keduanya tampak sempurna. Pur cantik, jago masak, dan telaten dengan pekerjaannya. Tapi ia kehilangan calon suaminya yang membuatnya hancur berkeping-keping. Tak ada apa pun yang bisa merekatkan kembali hatinya yang patah.
Sementara Jeng Sri juga cantik, jago nyanyi dan selalu teliti dengan amanah yang dibebankan ibunya kepadanya. Tapi ia membiarkan dirinya dihamili seorang laki-laki yang lantas meninggalkannya begitu saja. Seperti Pur, hati Sri luluh lantak.
Tapi Sri punya sahabat yang tak membiarkannya berduka. Dan seorang pangeran tampan pun siap menjadi penyelamat.
Sosok laki-laki dalam Losmen Bu Brotonyaris tak berdaya. Pak Broto seperti kehilangan taringnya ketika berhadapan dengan kekerasan hati istrinya. Sementara Tarjo, si bungsu, pun tak kelihatan bagaimana ia mengambil bagian penting dari keluarga ini. Kesempurnaan yang diinginkan Bu Broto justru menjadi ketidaksempurnaan ketika melihat dua laki-laki yang tampak tak berdaya dalam semestanya.
Foto: Fourcolours Films
Tapi mungkin Losmen Bu Brotomemang tak ingin bercerita soal laki-laki. Yang menjadi sentral dari cerita tentang bagaimana tiga perempuan bertempur dengan masa lalu dan luka-lukanya. Dalam waktu 113 menit, Alim Sudio yang menulis skenarionya menghadirkan begitu banyak karakter lalu-lalang yang mengakibatkan sebagian di antaranya tak tergali dengan baik. Bahkan karakter Tante Willem pun hadir sekilas dan pergi begitu saja tanpa meninggalkan kesan mendalam.
Karenanya kita pun menjadi kesulitan terhubung dengan karakter demi karakter dalam film ini. Tapi yang menarik adalah di luar begitu sempitnya durasi untuk menceritakan Jeng Pur, Putri Marino masih bisa mencuri perhatian dan membuat kita bersimpati penuh padanya.
Saya merasa bisa memahami beban berat yang ada di pundaknya sebagai anak tertua. Saya merasa bisa memahami luka-luka yang mungkin terlalu lama bersarang di hatinya. Saya juga merasa bisa memahami bagaimana rasanya selalu dibanding-sandingkan dengan adik perempuannya.
Mungkin memang sudah saatnya kita berhenti untuk menjadi sempurna. Karena kita tak akan pernah bisa mencapainya. Karena kelemahan-kelemahan itulah yang membuat kita menjadi manusia yang tak akan pernah bisa menjadi sempurna.
LOSMEN BU BROTO
Produser: Andi Boediman, Pandu Birantoro, Robert Ronny
Sutradara: Ifa Isfansyah, Eddie Cahyono
Penulis Skenario: Alim Sudio
Pemain: Maudy Koesnady, Putri Marino, Maudy Ayunda
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Dari pasangan suami istri, Pak dan Bu Broto, Jeng Pur, Jeng Sri dan Tarjo, semuanya hadir dengan kisah-kisahnya sendiri dalam serial yang tayang di TVRI hingga tahun 1989.
Losmen Bu Brotoyang kini tayang di Disney+ Hoststar bukanlah upaya perdana untuk meremajakan cerita ini melalui film bioskop. Setahun setelah serial tersebut diterima dengan baik oleh masyarakat, Penginapan Bu Brotodirilis di bioskop. Yang menarik karena duet pasangan suami istri, Wahyu Sihombing dan Tatiek Maliyati kembali dilibatkan sebagai kreatornya.
Lalu 24 tahun berselang, kita melihat karakter-karakter itu muncul kembali. Diperankan oleh pemain-pemain yang berbeda, juga mengedepankan masalah-masalah yang berbeda. Dalam Losmen Bu Broto, kita akan kembali berkenalan dengan tiga karakter perempuan yang menjadi pusat dari semesta cerita ini: Bu Broto, Jeng Pur, dan Jeng Sri.
Foto: Fourcolours Films
Ketiga perempuan hadir dengan ceritanya masing-masing. Dengan masa lalunya masing-masing. Juga dengan luka-luka yang membebani mereka. Bu Broto yang tegas dan tampak otoriter berupaya keras menjadikan segala sesuatu di sekitarnya tampak sempurna termasuk anak-anaknya.
Losmen adalah semesta kehidupannya dan semua orang-orang yang berada di sekitarnya mesti tunduk pada upaya bagaimana kesempurnaan itu selalu menjadi representasi dari penginapan itu. Tapi kita tahu kesempurnaan itu nisbi, sering kali tak ada. Yang terjadi adalah menyembunyikan kelemahan-kelemahan demi memaksa diri tampak sempurna.
Lantas kita melihat bagaimana duet Ifa Isfansyah dan Eddie Cahyono menghadirkan pergumulan Bu Broto dengan Tante Willem secara singkat. Tak jelas betul apa yang terjadi pada masa lalu kedua sepupu jauh ini sehingga Bu Broto seperti terperangkap di dalamnya.
Ketika Tante Willem hendak berkunjung, Bu Broto ingin menutupi segala sesuatu yang berpotensi membuat losmen yang dikelolanya kehilangan kesempurnaannya. Tapi kita tahu hal tersebut tak bisa diwujudkan.
Foto: Fourcolours Films
Ketidaksempurnaan itu diwakili oleh dua anak perempuannya, Jeng Pur dan Jeng Sri. Sekilas keduanya tampak sempurna. Pur cantik, jago masak, dan telaten dengan pekerjaannya. Tapi ia kehilangan calon suaminya yang membuatnya hancur berkeping-keping. Tak ada apa pun yang bisa merekatkan kembali hatinya yang patah.
Sementara Jeng Sri juga cantik, jago nyanyi dan selalu teliti dengan amanah yang dibebankan ibunya kepadanya. Tapi ia membiarkan dirinya dihamili seorang laki-laki yang lantas meninggalkannya begitu saja. Seperti Pur, hati Sri luluh lantak.
Tapi Sri punya sahabat yang tak membiarkannya berduka. Dan seorang pangeran tampan pun siap menjadi penyelamat.
Sosok laki-laki dalam Losmen Bu Brotonyaris tak berdaya. Pak Broto seperti kehilangan taringnya ketika berhadapan dengan kekerasan hati istrinya. Sementara Tarjo, si bungsu, pun tak kelihatan bagaimana ia mengambil bagian penting dari keluarga ini. Kesempurnaan yang diinginkan Bu Broto justru menjadi ketidaksempurnaan ketika melihat dua laki-laki yang tampak tak berdaya dalam semestanya.
Foto: Fourcolours Films
Tapi mungkin Losmen Bu Brotomemang tak ingin bercerita soal laki-laki. Yang menjadi sentral dari cerita tentang bagaimana tiga perempuan bertempur dengan masa lalu dan luka-lukanya. Dalam waktu 113 menit, Alim Sudio yang menulis skenarionya menghadirkan begitu banyak karakter lalu-lalang yang mengakibatkan sebagian di antaranya tak tergali dengan baik. Bahkan karakter Tante Willem pun hadir sekilas dan pergi begitu saja tanpa meninggalkan kesan mendalam.
Karenanya kita pun menjadi kesulitan terhubung dengan karakter demi karakter dalam film ini. Tapi yang menarik adalah di luar begitu sempitnya durasi untuk menceritakan Jeng Pur, Putri Marino masih bisa mencuri perhatian dan membuat kita bersimpati penuh padanya.
Saya merasa bisa memahami beban berat yang ada di pundaknya sebagai anak tertua. Saya merasa bisa memahami luka-luka yang mungkin terlalu lama bersarang di hatinya. Saya juga merasa bisa memahami bagaimana rasanya selalu dibanding-sandingkan dengan adik perempuannya.
Mungkin memang sudah saatnya kita berhenti untuk menjadi sempurna. Karena kita tak akan pernah bisa mencapainya. Karena kelemahan-kelemahan itulah yang membuat kita menjadi manusia yang tak akan pernah bisa menjadi sempurna.
LOSMEN BU BROTO
Produser: Andi Boediman, Pandu Birantoro, Robert Ronny
Sutradara: Ifa Isfansyah, Eddie Cahyono
Penulis Skenario: Alim Sudio
Pemain: Maudy Koesnady, Putri Marino, Maudy Ayunda
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)