CERMIN: Segitiga Kesetaraan, Patriarki, dan Kapitalisme

Rabu, 14 Desember 2022 - 14:25 WIB
Film Triangle of Sadness berbicara tentang hal-hal penting dan serius tapi dengan kemasan yang ringan. Foto/KlikFilm
JAKARTA - “Kau tahu, kesetaraan adalah mitos. Untuk beberapa alasan, semua orang menerima kenyataan bahwa perempuan tidak menghasilkan uang sebanyak pria.

Aku tidak mengerti itu? Mengapa kita harus berada di belakang?” [Beyonce – Majalah GQ edisi Februari 2013]

Tahun 2013. Saya mempersiapkan produksi film Hijabers in Love. Kisahnya tentang dua orang remaja perempuan dengan problematikanya masing-masing. Sebuah film yang menempatkan perempuan sebagai sosok sentral. Dan saya merasa sah sebagai pelaku kesetaraan.

Tapi ternyata hal itu tak semudah yang dibayangkan. Saya tetap laki-laki. Dalam beberapa hal, saya menikmati sejumlah privilege berbasis jenis kelamin. Dalam satu hal saya didahulukan, dalam hal lain saya diutamakan.

Maka saya melihat bahwa dunia semakin ideal dan kita semakin peduli dengan isu kesetaraan. Tapi betulkah peduli setara dengan melakukannya? Dan apakah betul kepedulian kita mendorong kita untuk menerapkan kesetaraan dalam kehidupan sehari-hari?





Foto: KlikFilm

Ternyata saya salah. Kesetaraan kadang masih terdengar seperti omong kosong. Kata-kata indah yang selalu disenandungkan agar yang satu menunduk dan terdiam serta tak bersuara lagi. Ruben Ostlund menggunakan platform yang paling dikenalnya untuk mengkritik soal kesetaraan, yaitu film.

Ruben tak hanya memuntahkan uneg-unegnya soal kesetaraan. Ia juga membahas soal patriarki dan kapitalisme dalam segitiga ceritanya dalam film Triangle of Sadnessyang bisa ditonton via KlikFilm.

Baca Juga: CERMIN: Gina S Noer dan Keberpihakan pada Perempuan

Hanya Ruben seorang mungkin sutradara di dunia ini yang bisa mengobrolkan tiga isu penting itu dalam sebuah cerita ringan, dituturkan dengan asyik, tak bikin kening berkerut, membuat kita tersenyum sekaligus merasa tertamparpada saat bersamaan.

Pemenang Palme d’Or Cannes Film Festival 2022 ini layaknya sebuah esai yang ditulis dengan gaya jurnalisme sastrawi oleh seorang penutur brilian sekaligus tekun, serta punya kadar humor luar biasa. Ia punya kemampuan menertawakan banyak hal tanpa merasa perlu menceramahi penonton. Triangle of Sadnessadalah sebuah komedi tentang tiga pilar kehidupan tempat kita berada saat ini.



Foto:KlikFilm

Mari bertemu dengan Yaya dan Carl. Ruben memperkenalkan karakter Carl dengan brilian melalui sesi casting model. Di sela-sela kasting, seorang presenter menghadap ke kameranya, asyik mengomentari kesetaraan walau nyinyir bin nyelekit. Ia mengobrolkan soal kesetaraan yang tak didapatkan para model pria. Bayaran mereka hanya sepertiga dari yang diperoleh model perempuan.

Kesetaraan lantas dibawa oleh Ruben ketika cerita berpindah ke kapal pesiar mewah saat Yaya dan Carl berinteraksi dengan para orang kaya. Di sini ia mulai menyinggung soal kapitalisme.

Bagaimana para orang kaya merasa berkuasa dengan uangnya dan merasa bebas memerintahkan apa pun yang diinginkannya. Seorang istri pengusaha kaya Rusia meminta seluruh kru kapal untuk mencoba seluncuran air di tengah jadwal kerja mereka. Dan sebagai bentuk pelayanan yang baik, mereka semua tak punya kuasa untuk menolak permintaan ajaib tersebut.

Lalu Ruben membawa kita ke bagian ketiga ceritanya saat ia mengolok-olok soal patriarki. Rupanya kapal pesiar mewah tersebut dibajak dan lantas meledak. Sejumlah penumpang kapal selamat termasuk Abigail, seorang manajer toilet.

Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. SINDOnews.com tidak terlibat dalam materi konten ini.
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More