CERMIN: Perempuan Itu Bernama Nana
Rabu, 10 Agustus 2022 - 13:30 WIB
JAKARTA - Tahun 2021. Saya menyaksikan Yunidi bioskop dan dibuat terkagum olehnya. Pertengahan 2022, kembali saya dibuat terpukau oleh Before, Now & Then (Nana)dari pembuat film yang sama.
Menjadi orisinal dalam dunia kreatif, terlebih dalam sinema Indonesia, bisa jadi adalah sesuatu yang sulit. Referensi tumpah ruah dan semua berlomba-lomba untuk berkarya se-stylish mungkin, tapi tanpa identitas dan harga diri. Di tengah-tengahnya ada Kamila Andini yang hadir dengan karya-karya yang khas, seperti tak tertarik masuk dalam pusaran untuk menampilkan identitas sebagai pembuat film yang up-to-date, datang dengan sebuah perlawanan untuk sebuah sinema berwajah Indonesia.
Saya teringat puluhan tahun lalu ketika masih duduk di bangku SMP, ketika Cinta dalam Sepotong Rotiβ dirilis di bioskop. Saya menyaksikannya bertahun-tahun kemudian saat film itu diputar di TVRI. Saya terkagum menyaksikan sebuah film bisa dibuat dengan begitu romantik, meledak-ledak dan seperti melihat film Indonesia kembali didefinisikan ulang oleh sineas baru bernama Garin Nugroho.
Sejak itu saya mengikuti hampir seluruh film Garin. Mencoba mengejar pemutaran film-filmnya yang terbilang sulit ditonton di bioskop. Ketika bisa menyaksikan Opera Jawadiputar dalam rangkaian Jakarta International Film Festival, saya terperangah menyaksikan Garin bisa memasukkan banyak unsur termasuk seni instalasi ke dalam film tanpa merasa film tersebut berusaha ambisius.
Ingatan tentang Garin juga membanjiri benak usai menyaksikan Before, Now & Then (Nana)yang dirilis di Amazon Prime. Setelah menonton Yuniyang menurut saya lebih pantas jadi Film Terbaik FFI 2021, Dini datang dengan film tentang pemberdayaan perempuan, tapi dengan setting masa lalu.
Foto: Prime Video
Bukan itu saja, Dini masih memasukkan unsur antikomunis hingga pernikahan dalam sebuah film dengan mulus. Simbol demi simbol berjejalan dalam film yang tak perlu interpretasi berlebihan, tak perlu analisis sok cerdas untuk mencari tahu apa yang ingin diceritakan Dini kali ini.
Dari rambut yang digelung, kebaya yang mengekang hingga sapi yang masuk ke dalam ruang privat, kita tahu Dini bicara hal-hal besar agar bisa dimengerti secara universal. Film ini memang berbicara di pentas dunia. Mungkin karena isunya yang universal, juga bisa jadi karena film ini mengolah banyak isu penting dengan teliti.
Baca Juga: CERMIN: Diplomasi Masakan
Nana yang dalam film hidup pada era 1960-an masih bisa kita temukan pada masa kini. Perempuan yang menyimpan banyak rahasia dan luka. Perempuan yang berusaha menyembunyikan ketakbahagiaannya demi pengabdian kepada suami. Perempuan yang menutup rapat mimpi-mimpi buruknya demi kebersamaannya dengan anak-anaknya.
Nana menyimpan rahasianya dalam rambut yang selalu digelung, ia menyembunyikan hasratnya dalam kebaya yang mengekang dirinya hingga sesak. Sejak ayahnya dipancung karena dianggap komunis, ia hidup dalam diam.
Ia memilih mengabdi sebagai istri yang baik untuk Kang Lurah, pengabdian yang membuatnya lebih tampak seperti pembantu daripada istri. Ia diam ketika tahu suaminya bermain mata dengan perempuan lain di luar rumah.
Foto: Prime Video
Saya bertemu perempuan yang mirip Nana dalam film Filipina, Seven Sundays. Namanya Cha, satu-satunya perempuan dari empat bersaudara. Ia sedari kecil bermimpi untuk diselamatkan 'prince charming'. Ketika ia menikah dan dikaruniai tiga orang anak, ia menyembunyikan rahasia dari ketiga saudara lelakinya bahwa suaminya gemar berbuat serong dengan perempuan lain.
Alasan yang selalu didengung-dengungkannya ialah, βIa seorang ayah yang baik!β dan selalu memaafkan perbuatan suaminya. Tapi bagaimana bisa menjalani pernikahan tanpa cinta yang membuat sisi jiwanya semakin keropos setiap hari?
Nana, Cha, dan jutaan perempuan lain di muka bumi ini tahu bahwa dirinya terperangkap dalam hubungan tak sehat, terombang-ambing dalam situasi tak wajar dan berusaha mewajarkan apa pun yang terjadi pada diri mereka. Terkadang juga menormalisasi sejumlah perilaku kekerasan dalam rumah tangga dan tak bisa keluar dari penjara hubungan selama bertahun-tahun.
Menjadi orisinal dalam dunia kreatif, terlebih dalam sinema Indonesia, bisa jadi adalah sesuatu yang sulit. Referensi tumpah ruah dan semua berlomba-lomba untuk berkarya se-stylish mungkin, tapi tanpa identitas dan harga diri. Di tengah-tengahnya ada Kamila Andini yang hadir dengan karya-karya yang khas, seperti tak tertarik masuk dalam pusaran untuk menampilkan identitas sebagai pembuat film yang up-to-date, datang dengan sebuah perlawanan untuk sebuah sinema berwajah Indonesia.
Saya teringat puluhan tahun lalu ketika masih duduk di bangku SMP, ketika Cinta dalam Sepotong Rotiβ dirilis di bioskop. Saya menyaksikannya bertahun-tahun kemudian saat film itu diputar di TVRI. Saya terkagum menyaksikan sebuah film bisa dibuat dengan begitu romantik, meledak-ledak dan seperti melihat film Indonesia kembali didefinisikan ulang oleh sineas baru bernama Garin Nugroho.
Sejak itu saya mengikuti hampir seluruh film Garin. Mencoba mengejar pemutaran film-filmnya yang terbilang sulit ditonton di bioskop. Ketika bisa menyaksikan Opera Jawadiputar dalam rangkaian Jakarta International Film Festival, saya terperangah menyaksikan Garin bisa memasukkan banyak unsur termasuk seni instalasi ke dalam film tanpa merasa film tersebut berusaha ambisius.
Ingatan tentang Garin juga membanjiri benak usai menyaksikan Before, Now & Then (Nana)yang dirilis di Amazon Prime. Setelah menonton Yuniyang menurut saya lebih pantas jadi Film Terbaik FFI 2021, Dini datang dengan film tentang pemberdayaan perempuan, tapi dengan setting masa lalu.
Foto: Prime Video
Bukan itu saja, Dini masih memasukkan unsur antikomunis hingga pernikahan dalam sebuah film dengan mulus. Simbol demi simbol berjejalan dalam film yang tak perlu interpretasi berlebihan, tak perlu analisis sok cerdas untuk mencari tahu apa yang ingin diceritakan Dini kali ini.
Dari rambut yang digelung, kebaya yang mengekang hingga sapi yang masuk ke dalam ruang privat, kita tahu Dini bicara hal-hal besar agar bisa dimengerti secara universal. Film ini memang berbicara di pentas dunia. Mungkin karena isunya yang universal, juga bisa jadi karena film ini mengolah banyak isu penting dengan teliti.
Baca Juga: CERMIN: Diplomasi Masakan
Nana yang dalam film hidup pada era 1960-an masih bisa kita temukan pada masa kini. Perempuan yang menyimpan banyak rahasia dan luka. Perempuan yang berusaha menyembunyikan ketakbahagiaannya demi pengabdian kepada suami. Perempuan yang menutup rapat mimpi-mimpi buruknya demi kebersamaannya dengan anak-anaknya.
Nana menyimpan rahasianya dalam rambut yang selalu digelung, ia menyembunyikan hasratnya dalam kebaya yang mengekang dirinya hingga sesak. Sejak ayahnya dipancung karena dianggap komunis, ia hidup dalam diam.
Ia memilih mengabdi sebagai istri yang baik untuk Kang Lurah, pengabdian yang membuatnya lebih tampak seperti pembantu daripada istri. Ia diam ketika tahu suaminya bermain mata dengan perempuan lain di luar rumah.
Foto: Prime Video
Saya bertemu perempuan yang mirip Nana dalam film Filipina, Seven Sundays. Namanya Cha, satu-satunya perempuan dari empat bersaudara. Ia sedari kecil bermimpi untuk diselamatkan 'prince charming'. Ketika ia menikah dan dikaruniai tiga orang anak, ia menyembunyikan rahasia dari ketiga saudara lelakinya bahwa suaminya gemar berbuat serong dengan perempuan lain.
Alasan yang selalu didengung-dengungkannya ialah, βIa seorang ayah yang baik!β dan selalu memaafkan perbuatan suaminya. Tapi bagaimana bisa menjalani pernikahan tanpa cinta yang membuat sisi jiwanya semakin keropos setiap hari?
Nana, Cha, dan jutaan perempuan lain di muka bumi ini tahu bahwa dirinya terperangkap dalam hubungan tak sehat, terombang-ambing dalam situasi tak wajar dan berusaha mewajarkan apa pun yang terjadi pada diri mereka. Terkadang juga menormalisasi sejumlah perilaku kekerasan dalam rumah tangga dan tak bisa keluar dari penjara hubungan selama bertahun-tahun.
tulis komentar anda