CERMIN: Perjalanan Membawamu
Sabtu, 16 Juli 2022 - 18:16 WIB
JAKARTA - Tahun 2005. Saya bersiap memulai perjalanan terbesar dalam hidup saya. Pada tahun yang sama, saya berkenalan dengan Reda – pemuda Prancis Maroko, yang menemani ayahnya berkelana dari Prancis menuju Makkah.
Dalam Le Grand Voyage, kita memahami bahwa perjalanan dalam film sesungguhnya bukan sekadar perjalanan. Ia juga perjalanan untuk memahami diri sendiri, juga dunia sekeliling. Perjalanan dalam film juga adalah perjalanan untuk menemukan, bahkan berdamai dengan diri sendiri.
Oleh sutradara Ishmael Ferroukhi, Le Grand Voyage berbicara tentang banyak hal. Mulai dari perbedaan pemahaman ayah yang ingin mendekatkan dirinya kepada Tuhan, juga anak yang bahkan tak memahami konsep Ketuhanan.
Ada pula tentang gambaran perbedaan pemahaman yang memperlebar jurang pengertian di antara keduanya. Sang ayah dianggap tak memahami putra bungsunya, sementara sang anak dianggap tak sungguh-sungguh menemani ayahnya melakukan perjalanan ibadah itu.
Foto: Mahakarya Pictures
Konsep perjalanan untuk menemukan diri masing-masing semakin banyak ditemukan dalam berbagai film. Dalam khazanah sinema Indonesia ada Mencari Hilaldari sutradara Ismail Basbeth dengan konsep yang mirip dengan yang kita tonton dalam Le Grand Voyage.
Ayah dan anak yang tak satu frekuensi terpaksa melakukan perjalanan, berantem sepanjang jalan untuk kemudian berdamai di akhir kisah dengan cara paling mengharukan. Namun Perjalanan Pertamatak “seambisius” dua film yang saya sebutkan di atas. Begitupun perjalanan yang dilakukan kakek dan cucu ini akan membuka banyak rahasia yang sudah lama ingin diketahui sang cucu yang tak pernah tahu siapa ayah dan ibunya.
Baca Juga: CERMIN: Pada Mulanya adalah Niat Mulia
Ketika sineas membawa kita bersama mereka melakukan perjalanan dalam filmnya, sering kali kita juga menemukan kejutan-kejutan. Dalam Perjalanan Pertama, kita dibuat terpukau dengan indahnya lanskap Sumatera Barat.
Bukan sebagaimana tergambar dalam iklan pariwisata, tapi lebih mirip video-video pendek yang kita temukan dalam reels Instagram. Ia terlihat lebih menarik karena minim polesan. Ia terlihat lebih membumi karena disajikan apa adanya.
Foto: Mahakarya Pictures
Indonesia yang pada masa lalu sering dijuluki Mooi Indie memang masih punya banyak kejutan di sana-sini yang menunggu untuk ditemukan oleh sineas atau kreator konten. Kita punya lansekap pegunungan yang membius, pemandangan samudera yang membuat kita menahan napas. Juga alam pedesaan di banyak tempat dengan segala keasriannya.
Film bergenre road movie memang punya potensi lebih besar untuk menguak semua itu. Seiring kamera berjalan, mata kita juga ikut menelusuri perjalanan yang dilakukan para karakter di dalamnya, mencermati tempat demi tempat yang disinggahi oleh para karakter dan cara mereka beradaptasi dengan masing-masing lingkungan tersebut.
Dalam Perjalanan Pertama, kita berkenalan dengan Tan dan Yahya. Seorang kakek dengan cucu yang masih berusia 10 tahun. Seorang kakek dengan masa lalu tertutup rapat dan seorang bocah dengan rasa ingin tahu yang besar. Seorang kakek yang menutup diri kepada dunia dengan seorang bocah yang justru baru memulai perjalanannya kepada dunia.
Ada satu masa saat kita mungkin adalah Tan, yang kecewa dengan apa yang kita lakukan pada masa lalu. Merasa berdosa di masa lalu dan melakukan penebusan dosa dengan caranya sendiri.
Dan kita bisa saja adalah Yahya. Yang ingin tahu segala rahasia yang tertutup rapat soal asal usul kita. Yang selalu merasa terpenjara dengan ketidaktahuan itu. Dan yang ingin agar sang kakek bisa berhenti memberinya cerita fiksi tentang siapa dirinya sebenarnya.
Dalam Le Grand Voyage, kita memahami bahwa perjalanan dalam film sesungguhnya bukan sekadar perjalanan. Ia juga perjalanan untuk memahami diri sendiri, juga dunia sekeliling. Perjalanan dalam film juga adalah perjalanan untuk menemukan, bahkan berdamai dengan diri sendiri.
Oleh sutradara Ishmael Ferroukhi, Le Grand Voyage berbicara tentang banyak hal. Mulai dari perbedaan pemahaman ayah yang ingin mendekatkan dirinya kepada Tuhan, juga anak yang bahkan tak memahami konsep Ketuhanan.
Ada pula tentang gambaran perbedaan pemahaman yang memperlebar jurang pengertian di antara keduanya. Sang ayah dianggap tak memahami putra bungsunya, sementara sang anak dianggap tak sungguh-sungguh menemani ayahnya melakukan perjalanan ibadah itu.
Foto: Mahakarya Pictures
Konsep perjalanan untuk menemukan diri masing-masing semakin banyak ditemukan dalam berbagai film. Dalam khazanah sinema Indonesia ada Mencari Hilaldari sutradara Ismail Basbeth dengan konsep yang mirip dengan yang kita tonton dalam Le Grand Voyage.
Ayah dan anak yang tak satu frekuensi terpaksa melakukan perjalanan, berantem sepanjang jalan untuk kemudian berdamai di akhir kisah dengan cara paling mengharukan. Namun Perjalanan Pertamatak “seambisius” dua film yang saya sebutkan di atas. Begitupun perjalanan yang dilakukan kakek dan cucu ini akan membuka banyak rahasia yang sudah lama ingin diketahui sang cucu yang tak pernah tahu siapa ayah dan ibunya.
Baca Juga: CERMIN: Pada Mulanya adalah Niat Mulia
Ketika sineas membawa kita bersama mereka melakukan perjalanan dalam filmnya, sering kali kita juga menemukan kejutan-kejutan. Dalam Perjalanan Pertama, kita dibuat terpukau dengan indahnya lanskap Sumatera Barat.
Bukan sebagaimana tergambar dalam iklan pariwisata, tapi lebih mirip video-video pendek yang kita temukan dalam reels Instagram. Ia terlihat lebih menarik karena minim polesan. Ia terlihat lebih membumi karena disajikan apa adanya.
Foto: Mahakarya Pictures
Indonesia yang pada masa lalu sering dijuluki Mooi Indie memang masih punya banyak kejutan di sana-sini yang menunggu untuk ditemukan oleh sineas atau kreator konten. Kita punya lansekap pegunungan yang membius, pemandangan samudera yang membuat kita menahan napas. Juga alam pedesaan di banyak tempat dengan segala keasriannya.
Film bergenre road movie memang punya potensi lebih besar untuk menguak semua itu. Seiring kamera berjalan, mata kita juga ikut menelusuri perjalanan yang dilakukan para karakter di dalamnya, mencermati tempat demi tempat yang disinggahi oleh para karakter dan cara mereka beradaptasi dengan masing-masing lingkungan tersebut.
Dalam Perjalanan Pertama, kita berkenalan dengan Tan dan Yahya. Seorang kakek dengan cucu yang masih berusia 10 tahun. Seorang kakek dengan masa lalu tertutup rapat dan seorang bocah dengan rasa ingin tahu yang besar. Seorang kakek yang menutup diri kepada dunia dengan seorang bocah yang justru baru memulai perjalanannya kepada dunia.
Ada satu masa saat kita mungkin adalah Tan, yang kecewa dengan apa yang kita lakukan pada masa lalu. Merasa berdosa di masa lalu dan melakukan penebusan dosa dengan caranya sendiri.
Dan kita bisa saja adalah Yahya. Yang ingin tahu segala rahasia yang tertutup rapat soal asal usul kita. Yang selalu merasa terpenjara dengan ketidaktahuan itu. Dan yang ingin agar sang kakek bisa berhenti memberinya cerita fiksi tentang siapa dirinya sebenarnya.
tulis komentar anda