CERMIN: Yuni di Bulan Juni
Sabtu, 18 Juni 2022 - 05:58 WIB
JAKARTA - Tahun 1989. Saya membayangkan penyair Sapardi Djoko Damono sedang melayangkan pandangannya ke luar jendela di ruang kerjanya.
Terhampar telaga Situ Gintung di Ciputat yang masih asri. Jari jemarinya kemudian menari-nari di atas mesin ketik dan jadilah puisi yang paling banyak dikutip itu, Hujan di Bulan Juni.
Arawinda Kirana belum lahir pada tahun itu. Tapi melalui bibirnya, puisi itu kembali didengungkan ke generasi terkini. Puisi yang selalu teringat ketika penanggalan menyentuh bulan keenam. Puisi yang punya efek membekas ke banyak orang termasuk saya, juga Kamila Andini.
Pada awalnya saya, seperti halnya sebagian besar orang, mungkin cuma tahu Chairil Anwar. Lantas penyair Sapardi datang. Dengan puisinya yang romantik, sesekali melankolis. Puisi Sapardi bertahan menembus waktu dan generasi dan melalui film Yuni, garapan Kamila Andini yang tayang di Disney+ Hotstar, kita kembali terhipnosis olehnya.
Foto: Disney+ Hotstar
Hujan di Bulan Juni menarik saya menyelami Yunilebih dalam. Masuk ke dalam dunianya lebih jauh. Menyusuri gang-gang kecil tempatnya berdiam bersama neneknya. Melihat sekolahnya berhadapan dengan isu kehamilan remaja dan haramnya musik. Menatap pantai tempat Yuni dan teman-temannya bercengkerama, di sebuah kota kecil di sudut Serang.
Saya menghabiskan masa kecil di Polewali (kini masuk wilayah Sulawesi Barat). Sebuah kota kecil yang juga berada di pinggir laut. Dengan tetangga beragam suku dan agama, yang membuat saya “dipaksa” belajar keberagaman sejak dini. Namun dengan pemahaman yang saya lihat di rumah, bukan diajarkan secara verbal, bahwa perempuan setara hak-haknya dengan laki-laki.
Baca Juga: CERMIN: Harta, Tangga dan Cinta
Fase masa kecil saya pada tahun 1980-1990. Melompat lebih dari 30 tahun kemudian dari Polewali ke Serang, yang saya lihat di Yuniadalah kemunduran. Banyak perempuan yang belum lagi tamat SMA terpaksa menikah. Banyak perempuan yang harus mengubur mimpinya ketika mereka keburu dilamar. Banyak perempuan yang akhirnya harus terkubur di dalam rumahnya sendiri.
Tapi Yuni adalah sebuah anomali. Ia tetap anak yang patuh pada orang tua, tapi ia juga manusia yang punya pemikiran merdeka. Dunianya yang semula sempit menjadi lebih leluasa ketika ia bertemu Suci, yang juga anomali. Sumbu keberaniannya dinyalakan oleh Suci.
Foto: Disney+ Hotstar
Yuni melihat perempuan selayaknya juga punya pilihan, meskipun pahit seperti yang dialami Suci. Tapi tetap saja itu adalah pilihan. Dan setiap pilihan selalu punya kalkulasinya masing-masing.
Hidup bukanlah matematika. Hidup tak punya jalan yang eksak. Ia senantiasa berliku, kadang berbelok tajam, bahkan harus jatuh ke jurang yang dalam. Pertanyaannya adalah beranikah kita menyalakan sumbu dalam diri kita untuk mengarungi hidup yang tak pasti itu?
Saya belum pernah mengenal langsung seseorang seperti Yuni. Mungkin karena saya tak pernah mengalami hidup sebagaimana yang dialami Yuni-Yuni lainnya di seluruh dunia. Pada jaman ketika kecerdasan buatan sudah menggantikan manusia, masih ada Yuni di Serang atau di Polewali atau di belahan lain negeri ini.
Mereka yang harus melawan patriarki dalam diam, dengan pelan. Bukan dengan berkoar-koar di media sosial atau membuat tulisan panjang di blog. Mereka yang harus berhadapan langsung dengan sebuah kondisi masyarakat yang terus terpelihara. Mereka yang berani mengambil pilihan berbeda di tengah stigma.
Foto: Disney+ Hotstar
Terhampar telaga Situ Gintung di Ciputat yang masih asri. Jari jemarinya kemudian menari-nari di atas mesin ketik dan jadilah puisi yang paling banyak dikutip itu, Hujan di Bulan Juni.
Arawinda Kirana belum lahir pada tahun itu. Tapi melalui bibirnya, puisi itu kembali didengungkan ke generasi terkini. Puisi yang selalu teringat ketika penanggalan menyentuh bulan keenam. Puisi yang punya efek membekas ke banyak orang termasuk saya, juga Kamila Andini.
Pada awalnya saya, seperti halnya sebagian besar orang, mungkin cuma tahu Chairil Anwar. Lantas penyair Sapardi datang. Dengan puisinya yang romantik, sesekali melankolis. Puisi Sapardi bertahan menembus waktu dan generasi dan melalui film Yuni, garapan Kamila Andini yang tayang di Disney+ Hotstar, kita kembali terhipnosis olehnya.
Foto: Disney+ Hotstar
Hujan di Bulan Juni menarik saya menyelami Yunilebih dalam. Masuk ke dalam dunianya lebih jauh. Menyusuri gang-gang kecil tempatnya berdiam bersama neneknya. Melihat sekolahnya berhadapan dengan isu kehamilan remaja dan haramnya musik. Menatap pantai tempat Yuni dan teman-temannya bercengkerama, di sebuah kota kecil di sudut Serang.
Saya menghabiskan masa kecil di Polewali (kini masuk wilayah Sulawesi Barat). Sebuah kota kecil yang juga berada di pinggir laut. Dengan tetangga beragam suku dan agama, yang membuat saya “dipaksa” belajar keberagaman sejak dini. Namun dengan pemahaman yang saya lihat di rumah, bukan diajarkan secara verbal, bahwa perempuan setara hak-haknya dengan laki-laki.
Baca Juga: CERMIN: Harta, Tangga dan Cinta
Fase masa kecil saya pada tahun 1980-1990. Melompat lebih dari 30 tahun kemudian dari Polewali ke Serang, yang saya lihat di Yuniadalah kemunduran. Banyak perempuan yang belum lagi tamat SMA terpaksa menikah. Banyak perempuan yang harus mengubur mimpinya ketika mereka keburu dilamar. Banyak perempuan yang akhirnya harus terkubur di dalam rumahnya sendiri.
Tapi Yuni adalah sebuah anomali. Ia tetap anak yang patuh pada orang tua, tapi ia juga manusia yang punya pemikiran merdeka. Dunianya yang semula sempit menjadi lebih leluasa ketika ia bertemu Suci, yang juga anomali. Sumbu keberaniannya dinyalakan oleh Suci.
Foto: Disney+ Hotstar
Yuni melihat perempuan selayaknya juga punya pilihan, meskipun pahit seperti yang dialami Suci. Tapi tetap saja itu adalah pilihan. Dan setiap pilihan selalu punya kalkulasinya masing-masing.
Hidup bukanlah matematika. Hidup tak punya jalan yang eksak. Ia senantiasa berliku, kadang berbelok tajam, bahkan harus jatuh ke jurang yang dalam. Pertanyaannya adalah beranikah kita menyalakan sumbu dalam diri kita untuk mengarungi hidup yang tak pasti itu?
Saya belum pernah mengenal langsung seseorang seperti Yuni. Mungkin karena saya tak pernah mengalami hidup sebagaimana yang dialami Yuni-Yuni lainnya di seluruh dunia. Pada jaman ketika kecerdasan buatan sudah menggantikan manusia, masih ada Yuni di Serang atau di Polewali atau di belahan lain negeri ini.
Mereka yang harus melawan patriarki dalam diam, dengan pelan. Bukan dengan berkoar-koar di media sosial atau membuat tulisan panjang di blog. Mereka yang harus berhadapan langsung dengan sebuah kondisi masyarakat yang terus terpelihara. Mereka yang berani mengambil pilihan berbeda di tengah stigma.
Foto: Disney+ Hotstar
tulis komentar anda