6 Fakta Asli Gerakan PARAKU yang Ada dalam Film Kabut Berduri

Sabtu, 03 Agustus 2024 - 13:03 WIB
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada 1965, Presiden Soekarno digantikan oleh Soeharto. Dalam masa jabatannya, Soeharto tidak tertarik untuk melanjutkan aksi Ganyang Malaysia, malah Soeharto membuat propaganda.

Propaganda yang Soehartobuat adalah masyarakat Indonesia terutama pihak militer ditugaskan untuk menyerang PARAKU atau masyarakat yang pro-komunis.

Salah satu perang antara TNI dengan gerilyawan Paraku-PGRS yang cukup terkenal adalah perang yang terjadi di Pangkalan Udara Sanggau Ledo, Bengkayang, Kalimantan Barat.

Memasuki tahun 1967, operasi penumpasan diintensifkan oleh pemerintah Orde Baru melalui Operasi Sapu Bersih (Saber) I, II, dan III yang digelar sejak April 1967 hingga Desember 1969 di bawah komando Brigadir Jenderal AJ Witono.

Pelaksanaan Operasi Saber I tidak memuaskan. Faktor-faktor kegagalan disebabkan kurangnya tenaga tempur, dan pihak PGRS/PARAKU lebih mengenal keadaan medan dan dapat menarik simpati kaum pribumi yaitu suku Dayak setempat.

PGRS/PARAKU juga mudah memencar dan menyusup ke dalam masyarakat untuk menghilangkan diri dari pengejaran. Hal itu disebabkan masyarakat dan kampung-kampung Tionghoa tersebar luas sampai daerah pedalaman seluruh Kalimantan Barat.

5. Peristiwa Mangkuk Merah





Foto:PM Malaysia Tunku Abdul Rahman dengan dua anggota gerakan yang tertangkap. Foto: Keystone/Getty Images

Terakhir dalam Operasi Saber, terjadi peristiwa Mangkok Merah pada Oktober-November 1967. Peristiwa Mangkok Merah dipicu oleh terjadinya penculikan dan kekerasan yang dialami Temenggung Dayak di Sanggau Ledo.

Pada Maret 1967, seorang guru orang Dayak ditemukan dibunuh di Sungkung, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang.

Lalu, pada 3 September 1967 ada sembilan orang Dayak diculik di Kampung Taum dan baru ditemukan tidak bernyawa oleh masyarakat dan TNI pada 5 September 1967.

TNI mempropagandakan kekerasan itu dilakukan oleh Gerombolan Tjina Komunis (GTK) alias Paraku-PGRS. Propaganda diperkuat penemuan sembilan mayat oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang diklaim sebagai mayat tokoh-tokoh Dayak.

Gerakan pelenyapan PGRS/PARAKU pada 14 Oktober 1967 dikenal dengan sebutan Demonstrasi Suku Dayak. Gerakan ini kemudian menyebar luas menjadi luapan emosi etnis Dayak, hingga upacara Mangkok Merah diadakan.

Upacara tersebut dinamakan Mangkok Merah karena saat upacara dilakukan, mangkok yang digunakan berwarna merah darah dan menandakan suku Dayak siap berperang,

Gerakan ini menjadi sentimen rasial dengan mengidentikkan etnis Tionghoa sebagai anggota PGRS/PARAKU dan menjadi korban gerakan demonstrasi. Gerakan ini mengakibatkan pengungsian besar-besaran etnis Tionghoa menuju ke Kota Pontianak.

Hal ini menimbulkan masalah beban pengungsi di kota-kota penampungan, derita psikis yang dialami keluarga korban pembantaian, dan lumpuhnya sirkulasi perdagangan di daerah pedalaman Kalimantan Barat.



6. Menewaskan Banyak Korban

Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!