CERMIN: Imajinasi adalah Harta Paling Berharga Bagi seorang Anak

Jum'at, 17 Mei 2024 - 14:00 WIB
Film IF: Imaginary Friends mengisahkan tentang seorang anak dan teman khayalan yang dilupakan jelang masa pensiun mereka. Foto/Paramount Pictures
JAKARTA - Tahun 2018. John Krasinski adalah kita. Saat ia membuat A Quite Place yang lantas menjadi box office, ia mempersembahkannya untuk anak-anaknya, walau film tersebut sesungguhnya tak cocok ditonton oleh anak-anak.

Kehadiran seorang anak memang membuat banyak dari kita sebagaimana John menyadari perubahan kita melihat dunia. Saya pun demikian.

Anak-anak membuat saya yakin bahwa apa pun yang saya buat untuk mereka hari ini kelak akan mereka tonton dan bisa jadi refleksi untuk masa depan. Sebagaimana saya, John pun akhirnya berkesempatan membuat film yang cocok untuk anak-anak berjudul IF: Imaginary Friend.





Dengan pilihan judul sedemikian, kita sudah tahu apa yang ingin dibicarakan John dalam film terbarunya kali ini. Ia berangkat dari premis bahwa apakah teman khayalan yang dimiliki anak-anak semasa kecil sekadar imajinasi mereka atau sesungguhnya benar-benar ada.

Premis yang menggelitik ini sangat menarik untuk dikulik, tapi juga butuh keuletan untuk tetap membuatnya sederhana, berjalan lancar, dan terutama mudah dimengerti.



Foto: Paramount Pictures

Imajinasi bisa jadi adalah harta paling berharga yang dimiliki seorang anak. Langit bahkan tak bisa menjadi batas bagi imajinasi mereka. Apa pun bisa melompat-lompat dari imajinasi mereka, membuat dunia mereka terasa lebih berwarna dan juga tentu saja membuat mereka selalu berani membayangkan hal-hal yang tak mungkin.

Namun mengapa ketika kita beranjak dewasa, imajinasi itu pun perlahan-lahan meninggalkan kita dan membuat kita sering kali frustrasi ketika berhadapan dengan realitas yang menyakitkan?

Tak bisakah kita tetap memiliki imajinasi tak berbatas bahkan ketika kita beranjak dewasa, menjalani kehidupan sebagai orang dewasa dengan pekerjaan tetap, istri yang berjuang membesarkan anak-anak, dan kita yang sesekali merasa terjebak di antaranya?

Dalam IF: Imaginary Friend, kita bertemu Bea, gadis cilik 12 tahun yang hidupnya terus-terusan dihajar masalah. Dalam adegan pembuka yang menyegarkan sekaligus menjanjikan dan manis, kita melihat Bea dan keluarga kecilnya menikmati masa-masa indah untuk lantas terkoyak-koyak begitu saja ketika sang ibu sakit dan akhirnya meninggal.

Seperti masih belum cukup, pada masa sekarang kita melihat Bea yang berhadapan dengan seorang ayah yang punya masalah pada jantungnya. Tapi Bea tak pernah digambarkan berduka atas masalah demi masalah itu, seolah-olah soal ibu meninggal dan ayah yang sakit tak terlalu berpengaruh dalam hidupnya.



Foto: Paramount Pictures

Dan tiba-tiba saja kita melihat Bea ditarik masuk ke dalam sebuah dunia asing yang menyenangkan: sebuah dunia yang dipenuhi teman-teman khayalan yang membutuhkan bantuannya untuk mengakhiri masa pensiun mereka.

Teman-teman khayalan ini tak 'bekerja' lagi ketika 'anak-anak mereka' sudah beranjak dewasa, perlahan melupakan mereka dan membuatnya menjadi tak terlihat lagi. Lantas mengapa Bea perlu melakukan bantuan itu? Apa manfaatnya untuk dirinya sendiri?

Satu hal yang berusaha betul saya pahami saat membuat film keluarga adalah bagaimana membuat semua hal menjadi sejelas-jelasnya. Menyatukannya dalam kepingan-kepingan yang terkoneksi satu sama lain dengan asyik dan terutama menuturkannya dengan cara paling sederhana yang bahkan bisa dimengerti oleh anak usia 8-10 tahun.

Sayangnya John yang juga menulis skenario IF: Imaginary Friend belum sepenuhnya memahami itu. Oleh karena itu, premis yang menggelitik itu terasa acakadul ketika disusun dalam sebuah skenario yang tak jelas motivasinya apa (mengapa orang-orang dewasa membutuhkan imaginary friend kembali ke hidup mereka sekarang?).
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More