Review Film Challengers, Cerita Seksi tentang Cinta dan Tenis
Jum'at, 26 April 2024 - 12:52 WIB
JAKARTA - Challengers adalah film romantis dan komedi dengan latar dunia olahraga, tapi sutradara Luca Guadagnino membuatnya seperti sebuah cerita thriller psikologi.
Awalnya, sutradara Call Me by Your Name dan Suspiria ini menampilkan adegan selayaknya film tentang olahraga. Dua pemain tenis tunggal putra berhadapan di lapangan, dan mereka saling berebut nilai demi kemenangan. Tak ada yang istimewa.
Namun, pelan-pelan, bak sebuah misteri, penonton diajak mengumpulkan kepingan demi kepingan kisah kedua pemain ini. Mereka ternyata berteman, bahkan jadi sepasang sahabat, tapi itu dulu.
Untuk mengetahui kisah menarik ini, penonton Challengers lantas dibawa mundur selangkah demi selangkah, dari beberapa hari sebelum pertandingan, hingga jauh sampai 13 tahun sebelum pertemuan itu.
Kedua pemain itu adalah Art Donaldson (Mike Faist) dan Patrick Zweig (Josh O'Connor). Keduanya sudah bersahabat sejak SMA, bahkan menjadi pemain ganda tenis junior sampai memenangkan kompetisi. Namun sebenarnya mereka berbeda kepribadian.
Foto:Warner Bros. Pictures
Patrick lebih luwes bersosialisasi, bisa dibilang playboy dan bad boy yang berani mengambil risiko.Sedangkan Art, meski pada akhirnya masuk kampus bergengsi Stanford, serba ada di belakang Patrick dalam hal apa pun, termasuk kemampuan bermain tenis.
Hingga akhirnya muncul Tashi Duncan (Zendaya), petenis ambisius yang seksi di dalam dan luar lapangan. Patrick dan Art sama-sama terpikat, dan keduanya terang-terangan menampakkannya.
Yang terjadi berikutnya adalah penonton menyaksikan betapa lihainya penulis skenario Justin Kuritzkes merangkai cerita. Dengan membuat alur yang dinamis, maju-mundur berkali-kali, penonton diajak ikut merangkai opini mereka tentang Art, Tashi, dan Patrick.
Dalam satu masa, mungkin kita akan terkagum-kagum dengan Tashi. Namun ketika mundur kembali ke belakang, mungkin kita akan sebal dengannya dan menyadari bahwa ia adalah sosok pengendali yang manipulatif, lalu kita berbalik bersimpati dengan Patrick. Namun seiring pecahan-pecahan cerita terkumpul, opini kita bisa jadi akan berubah-ubah lagi.
Satu yang menonjol dari penceritaan Challengers adalah betapa sutradara dan penulis mampu memasukkan unsur seksi dalam banyak adegannya, tanpa harus membuat film ini jadi terkesan murahan atau menjadi film erotis.
Foto: Warner Bros. Pictures
Rekam jejak Luca Guadagnino dan Justin Kuritzkes memang berperan besar dalam hal ini. Luca dikenal punya ciri khas menampilkan sensualitas, karakter yang kompleks, serta visual indah dlaam film-filmnya.
Sementara Justin, yang merupakan seorang penulis, dramawan, juga suami dari Celine Song (sutradara film Past Lives), juga pernah membuat drama panggung berjudul The Sensuality Party pada 2016. Cerita teater ini mengisahkan masing-masing tiga mahasiswa dan mahasiswi yang berdiskusi tentang pengalaman seks mereka.
Dengan latar belakang seperti itu, serta gaya penceritaan Justin yang sangat lincah, Challengers sudah layak ditonton. Poinnya makin bertambah saat ketiga pemain utama menampilkan akting yang sangat merasuk ke dalam, membuat penoton ikut hanyut dalam emosi kompleks mereka.
Masih belum cukup, latar musik yang dibuat oleh duo member band rock Nine Inch Nails Trent Reznor dan Atticus Ross juga menambah daya pikat Challengers ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
Awalnya, sutradara Call Me by Your Name dan Suspiria ini menampilkan adegan selayaknya film tentang olahraga. Dua pemain tenis tunggal putra berhadapan di lapangan, dan mereka saling berebut nilai demi kemenangan. Tak ada yang istimewa.
Namun, pelan-pelan, bak sebuah misteri, penonton diajak mengumpulkan kepingan demi kepingan kisah kedua pemain ini. Mereka ternyata berteman, bahkan jadi sepasang sahabat, tapi itu dulu.
Untuk mengetahui kisah menarik ini, penonton Challengers lantas dibawa mundur selangkah demi selangkah, dari beberapa hari sebelum pertandingan, hingga jauh sampai 13 tahun sebelum pertemuan itu.
Kedua pemain itu adalah Art Donaldson (Mike Faist) dan Patrick Zweig (Josh O'Connor). Keduanya sudah bersahabat sejak SMA, bahkan menjadi pemain ganda tenis junior sampai memenangkan kompetisi. Namun sebenarnya mereka berbeda kepribadian.
Foto:Warner Bros. Pictures
Patrick lebih luwes bersosialisasi, bisa dibilang playboy dan bad boy yang berani mengambil risiko.Sedangkan Art, meski pada akhirnya masuk kampus bergengsi Stanford, serba ada di belakang Patrick dalam hal apa pun, termasuk kemampuan bermain tenis.
Hingga akhirnya muncul Tashi Duncan (Zendaya), petenis ambisius yang seksi di dalam dan luar lapangan. Patrick dan Art sama-sama terpikat, dan keduanya terang-terangan menampakkannya.
Yang terjadi berikutnya adalah penonton menyaksikan betapa lihainya penulis skenario Justin Kuritzkes merangkai cerita. Dengan membuat alur yang dinamis, maju-mundur berkali-kali, penonton diajak ikut merangkai opini mereka tentang Art, Tashi, dan Patrick.
Dalam satu masa, mungkin kita akan terkagum-kagum dengan Tashi. Namun ketika mundur kembali ke belakang, mungkin kita akan sebal dengannya dan menyadari bahwa ia adalah sosok pengendali yang manipulatif, lalu kita berbalik bersimpati dengan Patrick. Namun seiring pecahan-pecahan cerita terkumpul, opini kita bisa jadi akan berubah-ubah lagi.
Satu yang menonjol dari penceritaan Challengers adalah betapa sutradara dan penulis mampu memasukkan unsur seksi dalam banyak adegannya, tanpa harus membuat film ini jadi terkesan murahan atau menjadi film erotis.
Foto: Warner Bros. Pictures
Rekam jejak Luca Guadagnino dan Justin Kuritzkes memang berperan besar dalam hal ini. Luca dikenal punya ciri khas menampilkan sensualitas, karakter yang kompleks, serta visual indah dlaam film-filmnya.
Sementara Justin, yang merupakan seorang penulis, dramawan, juga suami dari Celine Song (sutradara film Past Lives), juga pernah membuat drama panggung berjudul The Sensuality Party pada 2016. Cerita teater ini mengisahkan masing-masing tiga mahasiswa dan mahasiswi yang berdiskusi tentang pengalaman seks mereka.
Dengan latar belakang seperti itu, serta gaya penceritaan Justin yang sangat lincah, Challengers sudah layak ditonton. Poinnya makin bertambah saat ketiga pemain utama menampilkan akting yang sangat merasuk ke dalam, membuat penoton ikut hanyut dalam emosi kompleks mereka.
Masih belum cukup, latar musik yang dibuat oleh duo member band rock Nine Inch Nails Trent Reznor dan Atticus Ross juga menambah daya pikat Challengers ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda