Review Film When: Memaknai Film sebagai Medium Visual Efektif
Kamis, 11 April 2024 - 10:59 WIB
JAKARTA - Tahun 2019. Setelah memproduseri sembilan film bioskop, saya memutuskan untuk memutar balik arah karier saya dengan menjadi sutradara.
Saya memulai karier penyutradaraan dengan membesut dua film pendek sekaligus masing-masing berjudul Hari ke 40 dan Family Room (keduanya bisa ditonton secara gratis di Maxstream). Saya belajar banyak soal bagaimana menggunakan medium visual secara efektif dalam durasi yang sempit untuk mengalirkan cerita dengan baik.
Film pendek buat saya adalah sebuah medium istimewa. Melatih diri kita untuk memanfaatkan segala keterbatasan, tapi sekaligus tak ingin terbatasi olehnya sehingga tetap bisa menceritakan hal-hal penting.
Mengeksplorasi cerita dengan pendekatan sederhana, tapi tetap bisa terdengar nyaring dan sampai ke hati penonton. Tentu saja proses ini tak mudah sekaligus sungguh menantang. Hingga hari ini banyak sutradara yang akhirnya berada di level teratas industri mengawali kariernya dengan membesut sejumlah film pendek yang menarik.
Dari Makassar hadir sutradara Al Mustakim dengan karyanya berjudul singkat, When, yang bisa disaksikan secara gratis di Viddsee. Premisnya sungguh sederhana, tapi menggugah dengan cara paling menarik.
Foto: Viddsee
Ceritanya tentang Zainab yang ingin mengenakan sepatu baru pada Hari Raya Idul Fitri. Namun masalahnya kaki palsunya hilang lenyap begitu saja dan membuat problem sederhana ini menjadi tak sesederhana yang bisa dibayangkan.
Dengan cerita semenarik ini, Al pun tak lantas mencoba membuatnya serba dramatis. Ia justru menuturkannya sepelan mungkin, tanpa sebaris dialog sekali pun yang dilontarkan karakter-karakternya.
Dengan efektif, film dibuka dengan gema takbir dan Zainab yang berada di teras mencari sesuatu. Kita melihatnya menggunakan tongkat dan setelah ia beranjak masuk kembali ke dalam rumah, tahulah kita bahwa ia tak punya lagi kaki kanan.
Foto: Viddsee
Al mencoba memanfaatkan segala keterampilan bercerita untuk mengalirkan yang diperlukan buat film ini. Kita lantas melihat karakter sang suami yang sedang menyantap makanan, sesuatu yang memang disunnahkan sebelum beranjak mengikuti salat Eid.
Kita langsung tahu apa yang menggelisahkan Zainab: ia terancam tak bisa menggunakan sepatu yang baru saja dibelinya untuk digunakan pada saat paling istimewa.
Semua serba sederhana, tak ada yang berlebihan. Semua pas diutarakan oleh Al dalam film ini. Pendekatan ini justru memungkinkan film ini terasa menusuk hati kita yang sering kali tak bersyukur dengan segala kesempurnaan yang kita miliki.
Foto: Viddsee
Segala kesederhanaan yang dimiliki Zainab dan suaminya justru bisa jadi membuat kita iri. Bahwa ada yang lebih besar dari hasrat kebendaan, ada yang lebih mulia dari hasrat kepemilikan.
Saya memulai karier penyutradaraan dengan membesut dua film pendek sekaligus masing-masing berjudul Hari ke 40 dan Family Room (keduanya bisa ditonton secara gratis di Maxstream). Saya belajar banyak soal bagaimana menggunakan medium visual secara efektif dalam durasi yang sempit untuk mengalirkan cerita dengan baik.
Film pendek buat saya adalah sebuah medium istimewa. Melatih diri kita untuk memanfaatkan segala keterbatasan, tapi sekaligus tak ingin terbatasi olehnya sehingga tetap bisa menceritakan hal-hal penting.
Mengeksplorasi cerita dengan pendekatan sederhana, tapi tetap bisa terdengar nyaring dan sampai ke hati penonton. Tentu saja proses ini tak mudah sekaligus sungguh menantang. Hingga hari ini banyak sutradara yang akhirnya berada di level teratas industri mengawali kariernya dengan membesut sejumlah film pendek yang menarik.
Dari Makassar hadir sutradara Al Mustakim dengan karyanya berjudul singkat, When, yang bisa disaksikan secara gratis di Viddsee. Premisnya sungguh sederhana, tapi menggugah dengan cara paling menarik.
Foto: Viddsee
Ceritanya tentang Zainab yang ingin mengenakan sepatu baru pada Hari Raya Idul Fitri. Namun masalahnya kaki palsunya hilang lenyap begitu saja dan membuat problem sederhana ini menjadi tak sesederhana yang bisa dibayangkan.
Dengan cerita semenarik ini, Al pun tak lantas mencoba membuatnya serba dramatis. Ia justru menuturkannya sepelan mungkin, tanpa sebaris dialog sekali pun yang dilontarkan karakter-karakternya.
Dengan efektif, film dibuka dengan gema takbir dan Zainab yang berada di teras mencari sesuatu. Kita melihatnya menggunakan tongkat dan setelah ia beranjak masuk kembali ke dalam rumah, tahulah kita bahwa ia tak punya lagi kaki kanan.
Foto: Viddsee
Al mencoba memanfaatkan segala keterampilan bercerita untuk mengalirkan yang diperlukan buat film ini. Kita lantas melihat karakter sang suami yang sedang menyantap makanan, sesuatu yang memang disunnahkan sebelum beranjak mengikuti salat Eid.
Kita langsung tahu apa yang menggelisahkan Zainab: ia terancam tak bisa menggunakan sepatu yang baru saja dibelinya untuk digunakan pada saat paling istimewa.
Semua serba sederhana, tak ada yang berlebihan. Semua pas diutarakan oleh Al dalam film ini. Pendekatan ini justru memungkinkan film ini terasa menusuk hati kita yang sering kali tak bersyukur dengan segala kesempurnaan yang kita miliki.
Foto: Viddsee
Segala kesederhanaan yang dimiliki Zainab dan suaminya justru bisa jadi membuat kita iri. Bahwa ada yang lebih besar dari hasrat kebendaan, ada yang lebih mulia dari hasrat kepemilikan.
tulis komentar anda