CERMIN: Sebuah Pengucapan Baru dalam Sinema Dokumenter dari Tunisia
Sabtu, 24 Februari 2024 - 14:00 WIB
JAKARTA - Tahun 2002. Bowling For Columbine dari Michael Moore menjadi film dokumenter panjang pertama yang membukakan mata saya bahwa film dokumenter juga bisa dikemas jauh dari membosankan.
Dalam film berdurasi dua jam itu, Michael mencoba menelusuri penyebab hingga terjadinya insiden yang menyentak seisi negara, penembakan di SMU Columbine. Michael membiarkan dirinya tampil di depan layar, mewawancarai banyak narasumber, mengonfrontasi mereka dengan pertanyaan-pertanyaan menohok, pun dengan cerdik menyusun kepingan-kepingan ceritanya dari hipotesis yang dipercayainya dengan fakta-fakta meyakinkan yang diperlukannya.
Sepuluh tahun kemudian, film dokumenter panjang pertama saya berjudul Cerita Dari Tapal Batas masuk sebagai nomine Film Dokumenter Terbaik FFI 2012. Melalui lika-liku perjalanan pengembangan cerita hingga produksinya, saya tahu bahwa memproduksi film dokumenter panjang yang juga bisa menghibur bukan hal mudah.
Bertahun-tahun kemudian kita melihat film dokumenter terus lahir dari para sineas tangguh dengan segala isu penting yang terjadi di sekeliling mereka. Namun jarang sekali yang mencoba mencari jalan untuk membuat film dokumenter menjadi lebih menarik dari hingga sebelumnya.
Hingga datanglah sineas perempuan dari Tunisia bernama Kaouther Ben Hania dengan Four Daughters yang mengambil risiko dari cara bertuturnya yang unik dan belum pernah saya lihat dalam film-film dokumenter sebelumnya. Padahal tanpa mengambil risiko itu pun, Four Daughters masih bisa menjadi film dokumenter yang menohok.
Foto: Tanit Films
Isunya penting dan susah sekali ditandingi: tentang seorang ibu dengan dua anak perempuan yang bergabung ke dalam jaringan terorisme internasional ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Ibu tersebut terus dilanda ketakutan dengan dua anak perempuan lainnya yang sewaktu-waktu bisa diculik oleh kedua kakak perempuannya.
Sebagaimana dikutip dari The Guardian, semuanya berawal pada 2016. Saat itu seorang perempuan Tunisia bernama Olfa Hamrouni menulis di berita lokal tentang kegagalan negaranya dalam memerangi momok ISIS.
Setahun sebelumnya, dua putri sulungnya yang mengalami radikalisasi, Ghofrane dan Rahma Chikhaoui, melarikan diri untuk bergabung dengan kelompok tersebut di Libya. Tahun-tahun sebelumnya, Hamrouni berjuang membesarkan keempat putrinya – dua putri tertua, pemberontak dan berapi-api; dua orang termuda menjadi spons konflik.
Dengan materi cerita sekuat ini, Kaouther tak perlu bersusah payah mencari pengucapan baru. Tapi ia melakukan hal yang bisa jadi menurutnya perlu dilakukan. Ia menantang dirinya mencampurbaurkan realitas dan reka-ulang sebagaimana banyak pendekatan film dokumenter yang melakukan re-enactment (reka-ulang).
Foto: Tanit Films
Dalam adegan pembuka yang mengejutkan, kita mendengar Kaouther membujuk Olfa bahwa jika ada adegan reka-ulang yang bakal terlalu menguras emosinya, maka ia menyediakan aktris profesional yang akan memerankan dirinya.
Selanjutnya kita tahu tak ada yang tak mungkin dalam Four Daughters. Sembari cerita terus mengalir dari mulut Olfa, Eya, dan Tayssir, kita juga melihat reka-ulang banyak peristiwa yang traumatis yang membuat ketiga narasumber tersebut tak bisa menahan emosinya. Berbeda dengan ibunya, Eya dan Tayssir kukuh untuk memainkan dirinya sendiri dalam semua adegan, sementara kedua kakak perempuan mereka dimainkan oleh aktris profesional.
Dengan keberanian Kaouther berpadu dengan betapa kompleksnya cerita yang dialami Olfa, Eya, dan Tayssir, maka kita tahu Four Daughters tak sekadar menjadi film dokumenter yang menyentak. Ia juga terasa revolusioner karena Kaouther memberanikan diri mendobrak pakem-pakem yang sebelumnya sudah banyak kita kenali dari sinema dokumenter.
Four Daughters adalah sebuah upaya dari Olfa mengunjungi kembali luka-luka yang masih menyakitkan baginya hingga hari ini. Sekaligus film ini juga menjadi terapi bagi dirinya untuk berdamai dengan apa pun pilihan yang diambil oleh kedua putri tertuanya, juga menjadi medium rekonsiliasi bagi ia dan kedua putrinya yang tersisa.
Dalam film berdurasi dua jam itu, Michael mencoba menelusuri penyebab hingga terjadinya insiden yang menyentak seisi negara, penembakan di SMU Columbine. Michael membiarkan dirinya tampil di depan layar, mewawancarai banyak narasumber, mengonfrontasi mereka dengan pertanyaan-pertanyaan menohok, pun dengan cerdik menyusun kepingan-kepingan ceritanya dari hipotesis yang dipercayainya dengan fakta-fakta meyakinkan yang diperlukannya.
Sepuluh tahun kemudian, film dokumenter panjang pertama saya berjudul Cerita Dari Tapal Batas masuk sebagai nomine Film Dokumenter Terbaik FFI 2012. Melalui lika-liku perjalanan pengembangan cerita hingga produksinya, saya tahu bahwa memproduksi film dokumenter panjang yang juga bisa menghibur bukan hal mudah.
Bertahun-tahun kemudian kita melihat film dokumenter terus lahir dari para sineas tangguh dengan segala isu penting yang terjadi di sekeliling mereka. Namun jarang sekali yang mencoba mencari jalan untuk membuat film dokumenter menjadi lebih menarik dari hingga sebelumnya.
Hingga datanglah sineas perempuan dari Tunisia bernama Kaouther Ben Hania dengan Four Daughters yang mengambil risiko dari cara bertuturnya yang unik dan belum pernah saya lihat dalam film-film dokumenter sebelumnya. Padahal tanpa mengambil risiko itu pun, Four Daughters masih bisa menjadi film dokumenter yang menohok.
Foto: Tanit Films
Isunya penting dan susah sekali ditandingi: tentang seorang ibu dengan dua anak perempuan yang bergabung ke dalam jaringan terorisme internasional ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Ibu tersebut terus dilanda ketakutan dengan dua anak perempuan lainnya yang sewaktu-waktu bisa diculik oleh kedua kakak perempuannya.
Sebagaimana dikutip dari The Guardian, semuanya berawal pada 2016. Saat itu seorang perempuan Tunisia bernama Olfa Hamrouni menulis di berita lokal tentang kegagalan negaranya dalam memerangi momok ISIS.
Setahun sebelumnya, dua putri sulungnya yang mengalami radikalisasi, Ghofrane dan Rahma Chikhaoui, melarikan diri untuk bergabung dengan kelompok tersebut di Libya. Tahun-tahun sebelumnya, Hamrouni berjuang membesarkan keempat putrinya – dua putri tertua, pemberontak dan berapi-api; dua orang termuda menjadi spons konflik.
Dengan materi cerita sekuat ini, Kaouther tak perlu bersusah payah mencari pengucapan baru. Tapi ia melakukan hal yang bisa jadi menurutnya perlu dilakukan. Ia menantang dirinya mencampurbaurkan realitas dan reka-ulang sebagaimana banyak pendekatan film dokumenter yang melakukan re-enactment (reka-ulang).
Foto: Tanit Films
Dalam adegan pembuka yang mengejutkan, kita mendengar Kaouther membujuk Olfa bahwa jika ada adegan reka-ulang yang bakal terlalu menguras emosinya, maka ia menyediakan aktris profesional yang akan memerankan dirinya.
Selanjutnya kita tahu tak ada yang tak mungkin dalam Four Daughters. Sembari cerita terus mengalir dari mulut Olfa, Eya, dan Tayssir, kita juga melihat reka-ulang banyak peristiwa yang traumatis yang membuat ketiga narasumber tersebut tak bisa menahan emosinya. Berbeda dengan ibunya, Eya dan Tayssir kukuh untuk memainkan dirinya sendiri dalam semua adegan, sementara kedua kakak perempuan mereka dimainkan oleh aktris profesional.
Dengan keberanian Kaouther berpadu dengan betapa kompleksnya cerita yang dialami Olfa, Eya, dan Tayssir, maka kita tahu Four Daughters tak sekadar menjadi film dokumenter yang menyentak. Ia juga terasa revolusioner karena Kaouther memberanikan diri mendobrak pakem-pakem yang sebelumnya sudah banyak kita kenali dari sinema dokumenter.
Four Daughters adalah sebuah upaya dari Olfa mengunjungi kembali luka-luka yang masih menyakitkan baginya hingga hari ini. Sekaligus film ini juga menjadi terapi bagi dirinya untuk berdamai dengan apa pun pilihan yang diambil oleh kedua putri tertuanya, juga menjadi medium rekonsiliasi bagi ia dan kedua putrinya yang tersisa.
Lihat Juga :
tulis komentar anda