Review Film The Three Blackbirds: Homoseksualitas dalam Keluarga Islami
Rabu, 14 Februari 2024 - 15:32 WIB
JAKARTA - Pada awal tahun 2024, sinema Indonesia diramaikan oleh karya terbaru dari maestro filmmaker Jepang, Hirokazu Kore-eda, yang berjudul Monster.
Film ini mengangkat tema LGBTQ di kalangan anak-anak dan menggambarkan homoseksualitas di Jepang melalui tiga perspektif unik dari setiap tokoh yang membentuk narasi keseluruhan cerita. Penghargaan Best Screenplay dalam Cannes Film Festival 2023 menjadi bukti kecerdasan Kore-eda dan kolaborasinya dengan penulis Yuji Sakamoto.
Monster tak hanya cerdas dalam menyajikan cerita tentang LGBTQ, tetapi juga brilian dalam membangun empati, memungkinkan penonton untuk lebih memahami kompleksitas manusia dari berbagai sudut.
Setahun sebelum Monster dirilis, ada sebuah film yang juga sangat relevan dengan topik ini, meski tak secara khusus memberikan label LGBTQ. Close (2022), sebuah karya yang mengisahkan pertemanan dua remaja laki-laki di pedesaan Belgia dengan keintiman yang kuat, menyuguhkan gambaran dampak destruktif dari stigma terhadap norma perilaku dan hubungan antara sesama laki-laki.
Close berhasil menggambarkan secara mendalam dampak masif dari stigma dalam suatu masyarakat yang sebenarnya telah maju dalam aspek sumber daya manusia dan teknologi.
Sementara di ranah perfilman dalam negeri, pada 2017 hadir sebuah film pendek berjudul Pria karya Yudho Aditya. Film ini mengeksplorasi tema serupa dengan The Three Blackbirds mengenai homoseksualitas pada kalangan remaja di lingkungan pedesaan yang sangat didominasi oleh nilai-nilai Islam dan budaya.
Dengan cermat film ini mengisahkan perjalanan Aris yang memiliki orientasi seksual berbeda dari kebanyakan remaja di desa tersebut, dan bagaimana ia menghadapi penghakiman yang ditujukan padanya. Pria tidak hanya menggambarkan isu homoseksualitas, tetapi juga dengan indah mengangkat tema toxic masculinity yang masih sangat kuat di daerah pedesaan yang cenderung konservatif dan melekat pada nilai-nilai budaya serta agama.
The Three Blackbirds atau judul orisinalnya Balek Jadi Lanang juga hadir dengan keresahan serupa. Film pendek bergenre drama yang mengangkat tema LGBTQ ini menggambarkan bagaimana individu seperti mereka terus dihadapkan pada sinisme masyarakat dan kesulitan menemukan tempat yang tenang untuk hidup.
Foto: Vidsee
Ilham Prajatama, sebagai penulis dan sutradara menyajikan narasi yang mengharukan tentang Halal, seorang remaja yang menjalani kehidupan dengan orientasi seksual yang menyimpang dari ajaran Islam. Cerita ini mengorbit di sekitar Halal yang tinggal bersama ayahnya, Marus, dan kakaknya, Kan’an, di daerah Palembang yang sarat akan keteguhan adat istiadat dan agama Islam.
Suatu hari Marus merencanakan sebuah acara syukuran untuk merayakan kepulangan Halal yang telah menyelesaikan pendidikannya di pesantren selama tiga tahun. Ia ingin menunjukkan kebanggaannya pada putranya tersebut.
Namun, malam sebelum acara syukuran, Kan’an membawa Halal ke dalam situasi yang gelap, menjebaknya dalam sebuah ruangan bersama seorang perempuan.
Entah apa maksud penulis menamai kedua anak di film ini dengan nama Halal dan Kan’an. Pemilihan nama yang sangat kental dengan nuansa Islami ini sebenarnya memiliki makna yang menarik.
Halal dapat diartikan sebagai sesuatu yang terbebas dari segala bentuk zat yang telah diharamkan dalam Islam. Sedangkan Kan’an, dalam ajaran Islam merupakan nama dari putra Nabi Nuh yang dikenal sebagai anak durhaka yang berpura-pura menjadi orang beriman, padahal ia menyembunyikan rasa benci yang teramat dalam pada sang ayah.
Lalu ada juga sang ayah, Marus, bermakna darah yang dimasak (KBBI). Dalam aturan Islam, mengonsumsi atau memakan darah dengan tegas dilarang. Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an yang menjelaskan ketentuan perihal makanan yang haram hukumnya untuk dikonsumsi, salah satunya adalah darah sebagaimana dijelaskan dalam Al-Maidah ayat 3 yang artinya “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah...”
Jika dicermati, dari ketiga karakter dalam film ini semuanya memiliki nama yang unik dan kontras. Nama serta identitas karakter Halal dan Kan’an benar-benar berjalan seiringan dengan yang terjadi dalam filmnya.
Halal digambarkan seolah baru saja terbebas dari sesuatu yang diharamkan, sedangkan Kan’an yang terlihat seperti anak berbakti, nyatanya tidaklah demikian. Pemilihan nama-nama ini mungkin bukan sebuah kebetulan, tapi kembali lagi, ini semua datang dari perspektif pribadi, entah maksud dan tujuan sebenarnya dari penulis.
Film ini mengangkat tema LGBTQ di kalangan anak-anak dan menggambarkan homoseksualitas di Jepang melalui tiga perspektif unik dari setiap tokoh yang membentuk narasi keseluruhan cerita. Penghargaan Best Screenplay dalam Cannes Film Festival 2023 menjadi bukti kecerdasan Kore-eda dan kolaborasinya dengan penulis Yuji Sakamoto.
Monster tak hanya cerdas dalam menyajikan cerita tentang LGBTQ, tetapi juga brilian dalam membangun empati, memungkinkan penonton untuk lebih memahami kompleksitas manusia dari berbagai sudut.
Setahun sebelum Monster dirilis, ada sebuah film yang juga sangat relevan dengan topik ini, meski tak secara khusus memberikan label LGBTQ. Close (2022), sebuah karya yang mengisahkan pertemanan dua remaja laki-laki di pedesaan Belgia dengan keintiman yang kuat, menyuguhkan gambaran dampak destruktif dari stigma terhadap norma perilaku dan hubungan antara sesama laki-laki.
Close berhasil menggambarkan secara mendalam dampak masif dari stigma dalam suatu masyarakat yang sebenarnya telah maju dalam aspek sumber daya manusia dan teknologi.
Sementara di ranah perfilman dalam negeri, pada 2017 hadir sebuah film pendek berjudul Pria karya Yudho Aditya. Film ini mengeksplorasi tema serupa dengan The Three Blackbirds mengenai homoseksualitas pada kalangan remaja di lingkungan pedesaan yang sangat didominasi oleh nilai-nilai Islam dan budaya.
Dengan cermat film ini mengisahkan perjalanan Aris yang memiliki orientasi seksual berbeda dari kebanyakan remaja di desa tersebut, dan bagaimana ia menghadapi penghakiman yang ditujukan padanya. Pria tidak hanya menggambarkan isu homoseksualitas, tetapi juga dengan indah mengangkat tema toxic masculinity yang masih sangat kuat di daerah pedesaan yang cenderung konservatif dan melekat pada nilai-nilai budaya serta agama.
The Three Blackbirds atau judul orisinalnya Balek Jadi Lanang juga hadir dengan keresahan serupa. Film pendek bergenre drama yang mengangkat tema LGBTQ ini menggambarkan bagaimana individu seperti mereka terus dihadapkan pada sinisme masyarakat dan kesulitan menemukan tempat yang tenang untuk hidup.
Foto: Vidsee
Ilham Prajatama, sebagai penulis dan sutradara menyajikan narasi yang mengharukan tentang Halal, seorang remaja yang menjalani kehidupan dengan orientasi seksual yang menyimpang dari ajaran Islam. Cerita ini mengorbit di sekitar Halal yang tinggal bersama ayahnya, Marus, dan kakaknya, Kan’an, di daerah Palembang yang sarat akan keteguhan adat istiadat dan agama Islam.
Suatu hari Marus merencanakan sebuah acara syukuran untuk merayakan kepulangan Halal yang telah menyelesaikan pendidikannya di pesantren selama tiga tahun. Ia ingin menunjukkan kebanggaannya pada putranya tersebut.
Namun, malam sebelum acara syukuran, Kan’an membawa Halal ke dalam situasi yang gelap, menjebaknya dalam sebuah ruangan bersama seorang perempuan.
Entah apa maksud penulis menamai kedua anak di film ini dengan nama Halal dan Kan’an. Pemilihan nama yang sangat kental dengan nuansa Islami ini sebenarnya memiliki makna yang menarik.
Halal dapat diartikan sebagai sesuatu yang terbebas dari segala bentuk zat yang telah diharamkan dalam Islam. Sedangkan Kan’an, dalam ajaran Islam merupakan nama dari putra Nabi Nuh yang dikenal sebagai anak durhaka yang berpura-pura menjadi orang beriman, padahal ia menyembunyikan rasa benci yang teramat dalam pada sang ayah.
Lalu ada juga sang ayah, Marus, bermakna darah yang dimasak (KBBI). Dalam aturan Islam, mengonsumsi atau memakan darah dengan tegas dilarang. Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an yang menjelaskan ketentuan perihal makanan yang haram hukumnya untuk dikonsumsi, salah satunya adalah darah sebagaimana dijelaskan dalam Al-Maidah ayat 3 yang artinya “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah...”
Jika dicermati, dari ketiga karakter dalam film ini semuanya memiliki nama yang unik dan kontras. Nama serta identitas karakter Halal dan Kan’an benar-benar berjalan seiringan dengan yang terjadi dalam filmnya.
Halal digambarkan seolah baru saja terbebas dari sesuatu yang diharamkan, sedangkan Kan’an yang terlihat seperti anak berbakti, nyatanya tidaklah demikian. Pemilihan nama-nama ini mungkin bukan sebuah kebetulan, tapi kembali lagi, ini semua datang dari perspektif pribadi, entah maksud dan tujuan sebenarnya dari penulis.
Lihat Juga :
tulis komentar anda