CERMIN: Pada Suatu Hari di Jember Tahun 1983

Sabtu, 02 Desember 2023 - 07:05 WIB
Film dokumenter Nisan Tak Terukur merekam memori peristiwa operasi pembunuhan terhadap para kriminal pada masa 1980-an. Foto/KlikFilm
JAKARTA - Tahun 1983. Kota yang tak seberapa besar itu bernama Jember. Lalu tiba-tiba seantero kota dikejutkan dengan serangkaian pembunuhan misterius.

Dari artikel Surabaya Post yang terbit pada 21 Februari 1983, kita tahu bahwa Jember masuk menjadi salah satu target operasi dari pembunuhan misterius yang dilancarkan pemerintahan Soeharto selama periode 1982-1985. Dari artikel itu pula kita tahu bahwa operasi gelap itu telah merenggut nyawa lebih dari 26 orang hanya dalam periode setahun.

Artikel tersebut bersama cuplikan dari sejumlah artikel lainnya menjadi pembuka dari film dokumenter berjudul Nisan Tak Terukir. Film produksi Program Studi TV dan Film, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember menjadi salah satu film yang bisa ditonton secara daring via KlikFilm dalam rangkaian Jogja-Netpac Asian Film Festival(JAFF) 2023. Nisan Tak Terukir menarik perhatian karena mengangkat isu yang masih gelap hingga hari ini tentang pembunuhan misterius yang membuat seantero kota di Jawa menjadi waswas.



Di Malang, pembunuhan misterius juga menyeret salah satu sosok yang cukup terkenal, petinju Johny Mangi. Mengutip KOMPAS, Petinju 25 tahun itu langsung tersungkur ketika peluru panas menghantam pelipis kanan dan tembus ke bagian kiri kepala Johny. Warga kota geger ketika mayat Johny ditemukan terkapar dengan kepala berlumuran darah di jembatan dekat jalan Widodaren pada 1 Mei 1983.



Di Yogyakarta pada tahun yang sama juga nyaris setiap hari ditemukan mayat tak dikenal yang diletakkan begitu saja di jalanan. Mayat-mayat itu diidentifikasi sebagai “gali”, akronim dari gabungan anak liar, sebutan untuk orang-orang bertato yang dianggap melakukan kejahatan. Teror itu membuat Kentus beserta dua temannya melarikan diri ke Jakarta dan meminta bantuan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH).



Foto: KlikFilm

Mereka yang terseret dalam operasi gelap tersebut sesungguhnya hanya penjahat kelas teri. Seperti Pariyo yang menjadi salah satu karakter utama dalam Nisan Tak Terukir. Pria yang kini memasuki usia senja tersebut hanyalah penjahat kambuhan yang suka main judi dan gampang diperalat.

Kejahatannya pun 'hanya' mencuri beberapa ternak dari kandang milik warga. Tapi aksinya mungkin dianggap meresahkan masyarakat sehingga pihak berkuasa merasa perlu menurunkan 'tangan besi'.

Pariyo mungkin merasa beruntung karena masih hidup hingga hari ini dan menceritakan kembali kisahnya dalam masa-masa gelap. Paling tidak kita pun sedikit mendapat gambaran tambahan dari yang sesungguhnya terjadi di tengah teror penembakan misterius itu.

Karakter lainnya dalam Nisan Tak Terukir, Santuso Waluyo, memiliki seorang kakak laki-laki yang menjadi korban dari aksi penembakan misterius itu. Sebagaimana Pariyo, kakaknya pun hanyalah penjahat kambuhan dengan aksi kejahatan yang tak sampai melukai siapa pun. Tapi kejahatan yang tak seberapa itu harus dibayar dengan harga mahal: nyawanya sendiri.

Dengan isu yang sedemikian dahsyat, sesungguhnya Nisan Tak Terukir berpeluang untuk memberi sense pada penonton hari ini tentang yang terjadi sekitar 40 tahun lalu. Sayangnya memang pendekatan yang digunakan sebagian besar hanya berupa wawancara, itu pun terlihat tak ada persiapan yang cukup baik dilakukan sebelum pengambilan gambar (termasuk pre-interview).



Foto: KlikFilm

Hasilnya memang durasi 61 menit terasa terlalu panjang. Ini sebenarnya bisa secara kreatif diakali dengan melakukan re-enactment (reka ulang) atau mencampurbaurkan adegan dengan animasi sederhana misalnya.

Meski begitu, Nisan Tak Terukir adalah sebuah catatan penting bagi sejumlah kasus Hak Asasi Manusia (HAM) di negeri ini yang masih belum terkuak sepenuhnya. Pemerintahan Soeharto akhirnya mengakui berada di balik operasi yang menewaskan lebih dari 1000 orang itu dalam tempo tiga tahun. Komnas HAM lantas memutuskan untuk melakukan investigasi atas sejumlah kasus dengan mewawancarai para penyintas seperti Pariyo dan keluarga korban yang masih hidup selama tahun 2008-2012.

Perlu waktu puluhan tahun hingga akhirnya pada Desember 2022, Presiden Joko Widodo mengakui dan menyesalkan 12 kasus pelanggaran HAM pada masa lalu itu, termasuk kasus pembunuhan misterius yang terjadi selama tahun 1982-1985.

Begitu pun kita tak akan pernah tahu bagaimana sesungguhnya keadilan ditegakkan untuk para keluarga korban yang hingga hari ini tak tahu di mana mayat anggota keluarganya dikebumikan. Tak banyak yang seberuntung Santuso yang masih diberitahu soal jenazah kakak laki-lakinya yang dimakamkan oleh warga lokal.
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. SINDOnews.com tidak terlibat dalam materi konten ini.
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More