Review Film Dua Pilar Satu Atap: Drama Keluarga tentang Indahnya Bertoleransi
Rabu, 22 November 2023 - 14:58 WIB
Foto: Shockfilm
Film sebagai media hiburan atau eskapisme bagi mereka yang kontemplatif, adalah sarana persuasif yang cukup efektif. Di zaman Perang Dunia II, NAZI bahkan memproduksi film-film propaganda. Ini dibalas melalui film propaganda buatan pemerintah Inggris yg menjadi portfolio awal sutradara kondang Alfred Hitchcock yang menyutradarai beberapa filmnya saat itu.
Dengan format audio visual, penonton film dapat tersugesti untuk mengambil 'sesuatu' dari film tersebut. Pengalaman menonton film pun juga sebuah penagalaman subyektif yang dirasa berbeda-beda dari tiap sudut pandang penontonnya. Maka bisa jadi film yang menurut si A bagus, tapi dianggap si B biasa-biasa saja, atau bahkan dicap buruk oleh si C.
Dalam adegan dalam film klasik Stanley Kubrik, A Clockwork Orange, bahkan diperlihatkan suatu adegan saat karakter utama yang diperankan Malcolm McDowell dipaksa menonton banyak sajian audio visual untuk proses cuci otaknya. Adegan ini mengilhami banyak film-film lain setelahnya untuk menggambarkan adegan cuci otak melalui eksperimen paksa subjeknya untuk menonton banyak adegan yang diulang-ulang.
Hal ini juga secara tidak langsung menunujukkan bahwa pesan subtil yang disisipi dalam media film secara terus-menerus bisa mempengaruhi pola pikir seseorang secara perlahan tapi pasti. Mengutip istilah populer dari judul film Christopher Nolan, proses insepsi bisa dilakukan melalui medium film.
Sebegitu kuatnya pengaruh sebuah film, bahkan terkadang beberapa orang yang patah arang bisa kembali bersemangat pascamenonton film yang tanpa sadar membawa pesan ke alam bawah sadarnya. Sineas nasional Joko Anwar pernah mengatakan bahwa di titik jenuhnya, ia pernah sangat putus asa dan berniat meninggalkan dunia sinema yang dicintainya.
Namun setelah menonton film arahan Paul Thomas Anderson, Punch Drunk Love, semangat kembali muncul di sanubarinya. Ia kembali menggiati dunia film hingga menjadi sutradara yang dikenal luas di Tanah Air saat ini.
Foto: Shockfilm
Kembali ke inti toleransi dalam film, sejumlah film-film nasional juga pernah membawa misi betapa berbeda itu bukanlah hal yang patut diributkan tapi harus direngkuh dan dipelihara bersama sifat toleransi.
Hanung Bramantyo pernah melempar film yang cukup kontroversial berjudul Tanda Tanya. Dengan hanya menaruh tanda baca sebagai judul, Hanung bermain-main dengan tema kemajemukan yang sangat-sangat sensitif. Film drama romantis Cin(t)a bahkan pernah membahas kemajemukan dalam dialog-dialog di sepanjang filmnya yang dinamis dan lugas. Mempertanyakan mengapa manusia meributkan perbedaan yang ada, padahal perbedaan itu sudah ada sejak asal muasal manusia tercipta.
Pemerintah kita sendiri juga punya program yang menyentil masalah pluralisme melalui iklan layanan masyarakat, Joko, Acong & Sitorus. Tiga bocah lelaki yang bisa dilihat memiliki latar belakang suku dan agama yang berbeda melalui nama panggilan mereka, trio sahabat ini digambarkan saling menghargai dan toleran terhadap perbedaan satu sama lain.
Secara masif, program ini pernah menghiasi TV nasional kita, seakan menjadi pengingat kemajemukan bangsa ini merupakan kekayaan budaya yang seharusnya tidak memancing konflik.
Walaupun masih terbatas karena akting pemainnya yang agak kaku, Dua Pilar Satu Atap seakan mengingatkan kita kembali pada pesan dasar kita sebagai manusia. Bukankah kita harus memanusiakan manusia walaupun ia berbeda. Menjadi manusia yang tidak manusiawi seakan merendahkan fitrah manusia itu sendiri sebagai makhluk yang hakikatnya paling mulia di dunia ini.
Film ini juga membawa inti kontemplatif tentang indahnya toleransi tanpa kesan menggurui dan menurut saya tersampaikan dengan baik ke penontonnya secara halus dan tersirat. Seharusnya lebih banyak film-film nasional yang dibuat dengan pesan serupa mengingat urgensi terkait krisis toleransi di negeri ini.
Tegar Pratama Putra
Pencinta dan penikmat film
Film sebagai media hiburan atau eskapisme bagi mereka yang kontemplatif, adalah sarana persuasif yang cukup efektif. Di zaman Perang Dunia II, NAZI bahkan memproduksi film-film propaganda. Ini dibalas melalui film propaganda buatan pemerintah Inggris yg menjadi portfolio awal sutradara kondang Alfred Hitchcock yang menyutradarai beberapa filmnya saat itu.
Dengan format audio visual, penonton film dapat tersugesti untuk mengambil 'sesuatu' dari film tersebut. Pengalaman menonton film pun juga sebuah penagalaman subyektif yang dirasa berbeda-beda dari tiap sudut pandang penontonnya. Maka bisa jadi film yang menurut si A bagus, tapi dianggap si B biasa-biasa saja, atau bahkan dicap buruk oleh si C.
Dalam adegan dalam film klasik Stanley Kubrik, A Clockwork Orange, bahkan diperlihatkan suatu adegan saat karakter utama yang diperankan Malcolm McDowell dipaksa menonton banyak sajian audio visual untuk proses cuci otaknya. Adegan ini mengilhami banyak film-film lain setelahnya untuk menggambarkan adegan cuci otak melalui eksperimen paksa subjeknya untuk menonton banyak adegan yang diulang-ulang.
Hal ini juga secara tidak langsung menunujukkan bahwa pesan subtil yang disisipi dalam media film secara terus-menerus bisa mempengaruhi pola pikir seseorang secara perlahan tapi pasti. Mengutip istilah populer dari judul film Christopher Nolan, proses insepsi bisa dilakukan melalui medium film.
Sebegitu kuatnya pengaruh sebuah film, bahkan terkadang beberapa orang yang patah arang bisa kembali bersemangat pascamenonton film yang tanpa sadar membawa pesan ke alam bawah sadarnya. Sineas nasional Joko Anwar pernah mengatakan bahwa di titik jenuhnya, ia pernah sangat putus asa dan berniat meninggalkan dunia sinema yang dicintainya.
Namun setelah menonton film arahan Paul Thomas Anderson, Punch Drunk Love, semangat kembali muncul di sanubarinya. Ia kembali menggiati dunia film hingga menjadi sutradara yang dikenal luas di Tanah Air saat ini.
Foto: Shockfilm
Kembali ke inti toleransi dalam film, sejumlah film-film nasional juga pernah membawa misi betapa berbeda itu bukanlah hal yang patut diributkan tapi harus direngkuh dan dipelihara bersama sifat toleransi.
Hanung Bramantyo pernah melempar film yang cukup kontroversial berjudul Tanda Tanya. Dengan hanya menaruh tanda baca sebagai judul, Hanung bermain-main dengan tema kemajemukan yang sangat-sangat sensitif. Film drama romantis Cin(t)a bahkan pernah membahas kemajemukan dalam dialog-dialog di sepanjang filmnya yang dinamis dan lugas. Mempertanyakan mengapa manusia meributkan perbedaan yang ada, padahal perbedaan itu sudah ada sejak asal muasal manusia tercipta.
Pemerintah kita sendiri juga punya program yang menyentil masalah pluralisme melalui iklan layanan masyarakat, Joko, Acong & Sitorus. Tiga bocah lelaki yang bisa dilihat memiliki latar belakang suku dan agama yang berbeda melalui nama panggilan mereka, trio sahabat ini digambarkan saling menghargai dan toleran terhadap perbedaan satu sama lain.
Secara masif, program ini pernah menghiasi TV nasional kita, seakan menjadi pengingat kemajemukan bangsa ini merupakan kekayaan budaya yang seharusnya tidak memancing konflik.
Walaupun masih terbatas karena akting pemainnya yang agak kaku, Dua Pilar Satu Atap seakan mengingatkan kita kembali pada pesan dasar kita sebagai manusia. Bukankah kita harus memanusiakan manusia walaupun ia berbeda. Menjadi manusia yang tidak manusiawi seakan merendahkan fitrah manusia itu sendiri sebagai makhluk yang hakikatnya paling mulia di dunia ini.
Film ini juga membawa inti kontemplatif tentang indahnya toleransi tanpa kesan menggurui dan menurut saya tersampaikan dengan baik ke penontonnya secara halus dan tersirat. Seharusnya lebih banyak film-film nasional yang dibuat dengan pesan serupa mengingat urgensi terkait krisis toleransi di negeri ini.
Tegar Pratama Putra
Pencinta dan penikmat film
(ita)
Lihat Juga :
tulis komentar anda