CERMIN: Si Pembunuh dalam 6 Bab
Sabtu, 11 November 2023 - 08:45 WIB
JAKARTA - Tahun 2007. Di tengah kesibukannya menyelesaikan proyek film The Curious Case of Benjamin Button, seseorang memberikan novel grafis berjudul The Killer kepada David Fincher.
Dengan segala hal yang terjadi selama bertahun-tahun, David baru memikirkan kembali tentang novel grafis itu pada 2015. Kepada Alexis Nolent (yang menggunakan nama alias Matz untuk novel grafis tersebut), David menyarankan untuk mengadaptasi materi aslinya menjadi skenario dalam format 5 babak dengan durasi 20 menitan per babaknya. Kelak ketika sudah menjadi film , formatnya menjadi 6 bab (chapter).
Proses kreatif yang menarik hampir selalu terjadi di tengah proses adaptasi novel/komik menjadi skenario. Sutradara selalu mencoba mencari bentuk yang cocok. Sutradara sekelas David Fincher bisa jadi mencari cara bagaimana membuat film tentang pembunuh bayaran dari sudut pandang yang sama sekali berbeda dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Sungguh membosankan jika kita selalu hanya mengulang-ulang formula yang sudah dituturkan puluhan/ratusan film sebelumnya dan kita sebagai kreator sama sekali tak menyadarinya.
The Killer yang kini tayang di Netflix lahir dengan niat sejelas itu: bagaimana menyajikan cerita tentang pembunuh bayaran yang ditampilkan sebagai antitesis dari segala hal yang sebelumnya kita tahu tentang pembunuh bayaran dari puluhan/ratusan judul film/serial sebelumnya. Maka selain bermain-main dengan format, David juga berani mempermainkan segala asumsi kita tentang pembunuh bayaran.
Tak ada lagi sosok pembunuh bayaran yang stylish, yang disajikan David justru seorang pembunuh bayaran yang lebih mirip turis Jerman saat berbaur di Paris. Tak ada lagi sosok pembunuh bayaran yang diupayakan sehumanis mungkin, yang disajikan David justru seorang pembunuh bayaran yang motivasi utamanya cuma satu: UANG.
Foto: Netflix
Yang paling radikal, yang mungkin menjengkelkan pembaca novel grafisnya tapi sekaligus sangat menyenangkan bagi mereka yang cuma menonton filmnya adalah David menjadikan tokoh utamanya, si pembunuh, sebagai narator yang tak bisa diandalkan.
Ya, The Killer dikonstruksi David selayaknya film bisutapi dengan narator supercerewet. Narator yang selalu memberi tahu langkah-langkah yang harus dilakukan seorang pembunuh bayaran profesional, tapi langkah-langkah itu bisa dilanggarnya seketika. “Stick to your plan. Anticipate, don’t improvise. Fight only the battle you’re paid to fight. Trust no one”.
Ada pengaruh Albert Camus hingga Friedrich Nietzche yang disuntikkan oleh Andrew Kevin Walker ke dalam skenarionya, hanya untuk memberitahu penonton bahwa si pembunuh bayaran memotivasi dirinya sendiri terus menerus karena kegagalan yang dilakukan pada awal film.
Saya termasuk salah satu sutradara yang tak terlalu menggemari narasi dalam film. Karena yang sering kali saya lihat terutama dalam film Indonesia adalah betapa narasi itu hanyalah mengulang informasi yang sesungguhnya sudah tersaji visual maupun diucapkan lewat dialog para tokoh-tokohnya. Jadinya terasa redundant.
Foto: Netflix
Saya mengkritik cukup keras narasi yang menurut saya berlebihan dan tak efektif yang ditampilkan dalam film Ketika Berhenti di Sini besutan Umay Shahab misalnya. Tapi entah apa yang terjadi dengan The Killer yang justru sangat berlebihan narasinya tapi terasa sangat pas dipadukan dengan film yang memang dibangun minim dialog.
Sentuhan Nietzche dengan paham nihilistiknya juga terasa kuat dengan sosok si pembunuh bayaran tak bernama yang seakan tak peduli apa pun. Ia hanya peduli pada bagaimana menjalankan pekerjaannya dengan baik. Tapipada saat yang sama, ia bisa sangat panik ketika melihat orang terkasihnya mendapat teror akibat kegagalannya.
Sekali lagi David mencoba bermain-main dengan pemahaman sebagian besar orang tentang nihilistik dan seakan ingin bilang, “Hei, menjadi nihilistik paripurna pun tidak mungkin di dunia yang serbakonsumeristis seperti saat ini”. Hanya saja karena dituturkan dari sudut pandang seorang pembunuh bayaran, maka kritik itu berubah menjadi humor satire yang cerdik dan rasanya tak akan menyinggung siapa pun.
Foto: Netflix
Dengan segala hal yang terjadi selama bertahun-tahun, David baru memikirkan kembali tentang novel grafis itu pada 2015. Kepada Alexis Nolent (yang menggunakan nama alias Matz untuk novel grafis tersebut), David menyarankan untuk mengadaptasi materi aslinya menjadi skenario dalam format 5 babak dengan durasi 20 menitan per babaknya. Kelak ketika sudah menjadi film , formatnya menjadi 6 bab (chapter).
Proses kreatif yang menarik hampir selalu terjadi di tengah proses adaptasi novel/komik menjadi skenario. Sutradara selalu mencoba mencari bentuk yang cocok. Sutradara sekelas David Fincher bisa jadi mencari cara bagaimana membuat film tentang pembunuh bayaran dari sudut pandang yang sama sekali berbeda dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Sungguh membosankan jika kita selalu hanya mengulang-ulang formula yang sudah dituturkan puluhan/ratusan film sebelumnya dan kita sebagai kreator sama sekali tak menyadarinya.
The Killer yang kini tayang di Netflix lahir dengan niat sejelas itu: bagaimana menyajikan cerita tentang pembunuh bayaran yang ditampilkan sebagai antitesis dari segala hal yang sebelumnya kita tahu tentang pembunuh bayaran dari puluhan/ratusan judul film/serial sebelumnya. Maka selain bermain-main dengan format, David juga berani mempermainkan segala asumsi kita tentang pembunuh bayaran.
Tak ada lagi sosok pembunuh bayaran yang stylish, yang disajikan David justru seorang pembunuh bayaran yang lebih mirip turis Jerman saat berbaur di Paris. Tak ada lagi sosok pembunuh bayaran yang diupayakan sehumanis mungkin, yang disajikan David justru seorang pembunuh bayaran yang motivasi utamanya cuma satu: UANG.
Foto: Netflix
Yang paling radikal, yang mungkin menjengkelkan pembaca novel grafisnya tapi sekaligus sangat menyenangkan bagi mereka yang cuma menonton filmnya adalah David menjadikan tokoh utamanya, si pembunuh, sebagai narator yang tak bisa diandalkan.
Ya, The Killer dikonstruksi David selayaknya film bisutapi dengan narator supercerewet. Narator yang selalu memberi tahu langkah-langkah yang harus dilakukan seorang pembunuh bayaran profesional, tapi langkah-langkah itu bisa dilanggarnya seketika. “Stick to your plan. Anticipate, don’t improvise. Fight only the battle you’re paid to fight. Trust no one”.
Ada pengaruh Albert Camus hingga Friedrich Nietzche yang disuntikkan oleh Andrew Kevin Walker ke dalam skenarionya, hanya untuk memberitahu penonton bahwa si pembunuh bayaran memotivasi dirinya sendiri terus menerus karena kegagalan yang dilakukan pada awal film.
Saya termasuk salah satu sutradara yang tak terlalu menggemari narasi dalam film. Karena yang sering kali saya lihat terutama dalam film Indonesia adalah betapa narasi itu hanyalah mengulang informasi yang sesungguhnya sudah tersaji visual maupun diucapkan lewat dialog para tokoh-tokohnya. Jadinya terasa redundant.
Foto: Netflix
Saya mengkritik cukup keras narasi yang menurut saya berlebihan dan tak efektif yang ditampilkan dalam film Ketika Berhenti di Sini besutan Umay Shahab misalnya. Tapi entah apa yang terjadi dengan The Killer yang justru sangat berlebihan narasinya tapi terasa sangat pas dipadukan dengan film yang memang dibangun minim dialog.
Sentuhan Nietzche dengan paham nihilistiknya juga terasa kuat dengan sosok si pembunuh bayaran tak bernama yang seakan tak peduli apa pun. Ia hanya peduli pada bagaimana menjalankan pekerjaannya dengan baik. Tapipada saat yang sama, ia bisa sangat panik ketika melihat orang terkasihnya mendapat teror akibat kegagalannya.
Sekali lagi David mencoba bermain-main dengan pemahaman sebagian besar orang tentang nihilistik dan seakan ingin bilang, “Hei, menjadi nihilistik paripurna pun tidak mungkin di dunia yang serbakonsumeristis seperti saat ini”. Hanya saja karena dituturkan dari sudut pandang seorang pembunuh bayaran, maka kritik itu berubah menjadi humor satire yang cerdik dan rasanya tak akan menyinggung siapa pun.
Foto: Netflix
Lihat Juga :
tulis komentar anda