CERMIN: Teriakan Nyaring dari Pulau Rote
loading...

Film Women from Rote Island mengisahkan tentang pemerkosaan dan perdagangan manusia yang terjadi di Pulau Rote, NTT. Foto/Bintang Cahaya Sinema
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2014. Presiden Joko Widodo menyerukan provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai wilayah darurat human trafficking(perdagangan manusia). Sayangnya hingga hari ini kegiatan ilegal tersebut terus terjadi dan juga terus menelan korban.
Seruan Presiden Joko Widodo tersebut disampaikan bertepatan dengan peringatan ulang tahun provinsi NTT yang ke-56. Menurut Presiden perlu ada upaya luar biasa untuk mengakhiri kasus tersebut sebagaimana dikutip dari Migrant Care. Presiden juga mengingatkan bahwa praktik pungutan liar, suap, dan korupsi merupakan faktor pendukung NTT menjadi kawasan darurat perdagangan manusia.
Sayangnya memang seruan Presiden tersebut tidak direspons cepat oleh penegak hukum setempat. Dua tahun setelahnya, jumlah jenazah TKI asal NTT yang dipulangkan meningkat tercatat sebanyak 49 orang, dan tahun 2017 tercatat sebanyak 62 orang.
Martha mungkin sedikit beruntung. Ia pulang ke Pulau Rote, kampung halamannya, yang berjarak sekitar 106 kilometer dari Kupang, ibukota provinsi NTT, dalam keadaan bernyawa. Tapi mentalnya tak stabil. Martha harus pulang setelah ayahnya meninggal.
Orpa, ibu Martha, terlalu sibuk mengurus kematian suaminya sehingga ia abai dengan kondisi putri sulungnya itu. Kondisi Martha menjadi isu utama dalam film Women from Rote Island arahan Jeremias Nyangoen. Orpa juga masih harus mengurus putri bungsunya, Bertha, yang masih bersekolah.
![CERMIN: Teriakan Nyaring dari Pulau Rote]()
Foto: Bintang Cahaya Sinema
Orpa baru tersadar betapa abainya ia dengan kondisi Martha ketika tahu putrinya itu diperkosa. Tapi bak jatuh tertimpa tangga, Martha yang membela diri dengan menusuk pemerkosanya malah harus menerima hukuman dirantai. Ia dianggap membahayakan lingkungan sekitarnya.
Martha yang tak stabil tak bisa bersuara. Sesekali ia menggigil ketakutan ketika memori buruk dari masa lalunya semasa menjadi buruh migran ilegal di Malaysia kembali menghampiri. Tapi Orpa, yang hanya perempuan tanpa pendidikan yang cukup, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia juga tak protes ketika Martha harus dirantai.
Hingga dua kejadian besar kembali terjadi dan betul-betul mengguncang hidup dan kesadaran Orpa. Ia meminta maaf kepada putri-putrinya karena merasa tak menjaga mereka dengan baik. Tak ada laki-laki di rumah itu. Bahaya bisa mengintai putri-putrinya kapan pun.
Seruan Presiden Joko Widodo tersebut disampaikan bertepatan dengan peringatan ulang tahun provinsi NTT yang ke-56. Menurut Presiden perlu ada upaya luar biasa untuk mengakhiri kasus tersebut sebagaimana dikutip dari Migrant Care. Presiden juga mengingatkan bahwa praktik pungutan liar, suap, dan korupsi merupakan faktor pendukung NTT menjadi kawasan darurat perdagangan manusia.
Sayangnya memang seruan Presiden tersebut tidak direspons cepat oleh penegak hukum setempat. Dua tahun setelahnya, jumlah jenazah TKI asal NTT yang dipulangkan meningkat tercatat sebanyak 49 orang, dan tahun 2017 tercatat sebanyak 62 orang.
Martha mungkin sedikit beruntung. Ia pulang ke Pulau Rote, kampung halamannya, yang berjarak sekitar 106 kilometer dari Kupang, ibukota provinsi NTT, dalam keadaan bernyawa. Tapi mentalnya tak stabil. Martha harus pulang setelah ayahnya meninggal.
Orpa, ibu Martha, terlalu sibuk mengurus kematian suaminya sehingga ia abai dengan kondisi putri sulungnya itu. Kondisi Martha menjadi isu utama dalam film Women from Rote Island arahan Jeremias Nyangoen. Orpa juga masih harus mengurus putri bungsunya, Bertha, yang masih bersekolah.

Foto: Bintang Cahaya Sinema
Orpa baru tersadar betapa abainya ia dengan kondisi Martha ketika tahu putrinya itu diperkosa. Tapi bak jatuh tertimpa tangga, Martha yang membela diri dengan menusuk pemerkosanya malah harus menerima hukuman dirantai. Ia dianggap membahayakan lingkungan sekitarnya.
Martha yang tak stabil tak bisa bersuara. Sesekali ia menggigil ketakutan ketika memori buruk dari masa lalunya semasa menjadi buruh migran ilegal di Malaysia kembali menghampiri. Tapi Orpa, yang hanya perempuan tanpa pendidikan yang cukup, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia juga tak protes ketika Martha harus dirantai.
Hingga dua kejadian besar kembali terjadi dan betul-betul mengguncang hidup dan kesadaran Orpa. Ia meminta maaf kepada putri-putrinya karena merasa tak menjaga mereka dengan baik. Tak ada laki-laki di rumah itu. Bahaya bisa mengintai putri-putrinya kapan pun.
Lihat Juga :