Review Film The Creator: Tontonan yang Oke, tapi Tanggung
Rabu, 27 September 2023 - 19:19 WIB
Film The Creator memberikan pendekatan baru dalam cerita manusia melawan kecerdasan buatan (AI). Film ini bukanlah tontonan bagi sembarang orang. Ada banyak elemen di film ini yang akan membuat orang berpikir, terutama tentang eksistensi diri mereka di alam semesta.
The Creator berusaha menggambarkan perwujudan ketakutan manusia terhadap eksistensi AI. Namun, yang digarisbawahi di sini adalah dari sisi manusianya. Ketakutan manusia terhadap AI telah mengacaukan dunia dan menyebabkan perang tak berkesudahan dengan jatuhnya banyak korban jiwa.
Film ini berlatar masa depan dystopian futuristik. Kala itu, dunia telah berubah. Amerika Serikat (AS) melancarkan perang terhadap Asia Baru demi menghancurkan seluruh AI. AS bertekad menghancurkan teknologi itu setelah mereka dituding menjadi penyebab ledakan nuklir yang menghancurkan Los Angeles.
Karakter utama film ini, Joshua Taylor, yang diperankan John David Washington, diberi misi untuk menemukan sebuah senjata AI mutakhir. Senjata itu akan berguna bagi kaum AI, tapi berbahaya bagi AS. Joshua kaget saat menemukan kalau senjata itu berada dalam bentuk seorang anak kecil berusia 6 tahun.
Foto: 20th Century Studios
Tak hanya itu, Joshua kemudian tahu kalau bocah itu punya kaitan dengan seseorang di masa lalunya. Melawan perintah untuk membunuh atau menyerahkan bocah itu, Joshua membawanya untuk menemukan istrinya, Maya, yang hilang sekitar 5 tahun sebelum pertemuan itu. Joshua memberi nama bocah itu sebagai Alphie.
Akibatnya, Joshua berikut Alphie pun jadi buronan. Tidak hanya militer AS yang menginginkan mereka, tapi juga aparat terkait di Asia Baru. Pelarian itu membawa Joshua bertemu lagi teman-temannya di masa lalu dan dia pun ada di jalur yang tepat untuk kembali menemukan istrinya.
Premis The Creator sebenarnya tidak terlalu rumit. Alurnya juga jelas. Tapi, cara penceritaannya yang terkesan tanggung membuat film ini agak sulit untuk dinikmati. Tidak ada perkembangan karakter yang sangat berarti di film ini.
Foto: Bloody Disgusting
Joshua yang punya beban mental dan emosional dari awal mengemban tugas untuk mengarahkan cerita film ini. Nostalgia masa lalu yang terus membayanginya membuatnya tidak bisa berkembang. Sementara, Alphie yang sebenarnya adalah robot, meski disebut bisa berkembang, butuh pengarahan dan pemahaman lebih lanjut pada sosok dan kemampuannya. Tapi, The Creator tidak melakukannya.
Minimnya penjelasan tentang seperti apa sejatinya kemampuan Alphie membuat film ini jadi terasa kurang. Ya, Alphie bisa mengendalikan AI lain, tapi, tarafnya masih sangat dasar. Tidak ada usaha dari Joshua atau orang lain untuk mengarahkannya. Alih-alih, mereka hanya pasrah pada masa depan Alphie yang sebenarnya suram tanpa berusaha memaksimalkan fungsinya.
Sutradara film ini, Gareth Edwards, terlihat lebih menitikberatkan pada visual effect dan sinematografi ketimbang pada cerita dan karakternya. Makanya, The Creator jadi terasa tanggung. Film ini tidak jelek, tapi juga tidak bagus. Masih bisa dinikmati dengan banyak catatan.
Foto: The Hollywood Reporter
Emosi yang dibangun dari hubungan Alphie dan Joshua baru terasa di klimaks film ini. Meski chemistry kedua orang ini lumayan bisa dinikmati, tapi, karena tidak ada pendalaman karakter dan cerita, ini tidak bisa ditonjolkan. Yang menarik dari film ini adalah ending-nya yang tidak bisa ditebak sampai menit-menit akhir.
The Creator punya sinematografi yang menarik. Film ini akan membawa penonton menyaksikan beragam bentuk AI, dari yang memang robot humanoid sampai tiruan manusia asli yang sebenarnya dikendalikan mesin. Latar film di Vietnam juga cukup memanjakan mata. Di film ini, persawahan akan bertemu teknologi canggih. Selain itu, ada tiga lagu Indonesia yang dipakai di film ini. Percakapan dengan Bahasa Indonesia juga muncul, tapi, hanya sekilas.
The Creator berusaha menggambarkan perwujudan ketakutan manusia terhadap eksistensi AI. Namun, yang digarisbawahi di sini adalah dari sisi manusianya. Ketakutan manusia terhadap AI telah mengacaukan dunia dan menyebabkan perang tak berkesudahan dengan jatuhnya banyak korban jiwa.
Film ini berlatar masa depan dystopian futuristik. Kala itu, dunia telah berubah. Amerika Serikat (AS) melancarkan perang terhadap Asia Baru demi menghancurkan seluruh AI. AS bertekad menghancurkan teknologi itu setelah mereka dituding menjadi penyebab ledakan nuklir yang menghancurkan Los Angeles.
Karakter utama film ini, Joshua Taylor, yang diperankan John David Washington, diberi misi untuk menemukan sebuah senjata AI mutakhir. Senjata itu akan berguna bagi kaum AI, tapi berbahaya bagi AS. Joshua kaget saat menemukan kalau senjata itu berada dalam bentuk seorang anak kecil berusia 6 tahun.
Foto: 20th Century Studios
Tak hanya itu, Joshua kemudian tahu kalau bocah itu punya kaitan dengan seseorang di masa lalunya. Melawan perintah untuk membunuh atau menyerahkan bocah itu, Joshua membawanya untuk menemukan istrinya, Maya, yang hilang sekitar 5 tahun sebelum pertemuan itu. Joshua memberi nama bocah itu sebagai Alphie.
Akibatnya, Joshua berikut Alphie pun jadi buronan. Tidak hanya militer AS yang menginginkan mereka, tapi juga aparat terkait di Asia Baru. Pelarian itu membawa Joshua bertemu lagi teman-temannya di masa lalu dan dia pun ada di jalur yang tepat untuk kembali menemukan istrinya.
Premis The Creator sebenarnya tidak terlalu rumit. Alurnya juga jelas. Tapi, cara penceritaannya yang terkesan tanggung membuat film ini agak sulit untuk dinikmati. Tidak ada perkembangan karakter yang sangat berarti di film ini.
Foto: Bloody Disgusting
Joshua yang punya beban mental dan emosional dari awal mengemban tugas untuk mengarahkan cerita film ini. Nostalgia masa lalu yang terus membayanginya membuatnya tidak bisa berkembang. Sementara, Alphie yang sebenarnya adalah robot, meski disebut bisa berkembang, butuh pengarahan dan pemahaman lebih lanjut pada sosok dan kemampuannya. Tapi, The Creator tidak melakukannya.
Minimnya penjelasan tentang seperti apa sejatinya kemampuan Alphie membuat film ini jadi terasa kurang. Ya, Alphie bisa mengendalikan AI lain, tapi, tarafnya masih sangat dasar. Tidak ada usaha dari Joshua atau orang lain untuk mengarahkannya. Alih-alih, mereka hanya pasrah pada masa depan Alphie yang sebenarnya suram tanpa berusaha memaksimalkan fungsinya.
Sutradara film ini, Gareth Edwards, terlihat lebih menitikberatkan pada visual effect dan sinematografi ketimbang pada cerita dan karakternya. Makanya, The Creator jadi terasa tanggung. Film ini tidak jelek, tapi juga tidak bagus. Masih bisa dinikmati dengan banyak catatan.
Foto: The Hollywood Reporter
Emosi yang dibangun dari hubungan Alphie dan Joshua baru terasa di klimaks film ini. Meski chemistry kedua orang ini lumayan bisa dinikmati, tapi, karena tidak ada pendalaman karakter dan cerita, ini tidak bisa ditonjolkan. Yang menarik dari film ini adalah ending-nya yang tidak bisa ditebak sampai menit-menit akhir.
The Creator punya sinematografi yang menarik. Film ini akan membawa penonton menyaksikan beragam bentuk AI, dari yang memang robot humanoid sampai tiruan manusia asli yang sebenarnya dikendalikan mesin. Latar film di Vietnam juga cukup memanjakan mata. Di film ini, persawahan akan bertemu teknologi canggih. Selain itu, ada tiga lagu Indonesia yang dipakai di film ini. Percakapan dengan Bahasa Indonesia juga muncul, tapi, hanya sekilas.
tulis komentar anda