SOROT: Mengapa Investor Nasional Belum Melirik Potensi Film Makassar?
Sabtu, 26 Agustus 2023 - 12:55 WIB
JAKARTA - Saya mengawali karier dalam industri film sebagai promoter film di Makassar pada 2002. Selama periode 2002 – 2005 puluhan film telah saya tangani promosinya di Makassar dan sejumlah besar di antaranya meraih sukses besar.
Sebutlah judul seperti Bangsal 13yang menjadi film perdana Luna Maya dan mengerek karier sutradara Ody C Harahap. Sebagian besar produser menganggap Makassar menjadi basis penonton film Indonesia meskipun jumlah bioskop di Makassar/Sulawesi Selatan masih sangat terbatas waktu itu.
Hingga akhirnya revolusi itu datang. Sebuah sistem yang akan merevolusi cara film dibuat hingga didistribusikan. Dari sistem produksi yang harus menggunakan 35/16 milimeter yang menghabiskan biaya miliaran rupiah dari produksi hingga distribusi, dan akhirnya sistem digital memangkas biaya tersebut berkali-kali lipat.
Produksi film pun menjadi semakin efisien dan menjadi semakin mudah dan murah. Sistem digital juga mendemokratisasi produksi film yang sebelumnya lebih banyak dilakukan di Jakarta/Jawa. Setelah sistem digital berlaku, produksi film pun menggeliat termasuk di Makassar.
Film Memburu Harimau. Foto: 786 Production
Sebelum sistem digital mulai diadopsi oleh bioskop, sineas film daerah lebih banyak bergelut memproduksi film pendek secara independen. Pada 2012, sutradara senior Arman Dewarti membesut film panjang Memburu Harimaudan diputar di Gedung Kesenian Makassar selama enam hari.
Terbukti animo masyarakat menyambut film tersebut cukup besar. Dikutip dari komunitasfilm.id, sekitar 6000 lembar tiket ludes terjual dan menjadi indikasi bahwa sudah saatnya film produksi sineas Makassar melenggang ke panggung yang lebih besar: bioskop.
Setelah beberapa percobaan, pada 2016 momentum itu akhirnya datang dan membukakan mata industri film nasional. Film Uang Panailahir dari insting bisnis trio Nikky Rewa (sebelumnya pengusaha bioskop), Sunarti Sain (jurnalis senior Harian Fajar), dan sineas muda Andi Syahwal Mattuju. Film yang membicarakan polemik soal uang panai yang memang selalu menjadi masalah dari waktu ke waktu bagi anak muda Sulawesi Selatan itu digarap menjadi film komedi yang dekat dan relevan dengan masyarakat.
Meski secara teknis terhitung buruk, toh, tidak mengurangi antusiasme masyarakat untuk menyaksikan film tersebut di bioskop. Awalnya diputar terbatas, Uang Panainyatanya mampu beroleh sekitar 300 ribu penonton hanya dalam 10 hari pemutaran. Hingga hari ini, Uang Panaimasih menjadi film Makassar terlaris dengan rekor perolehan penonton melebihi 600 ribu orang.
Tapi meledaknya Uang Panaitak serta merta membuat investor nasional berduyun-duyun mendukung produksi film Makassar. Hingga hari ini yang patut diberi acungan dua jempol atas konsistensinya adalah Nikky dengan rumah produksi 786 Production.
Nikky membuka ruang selebar mungkin bagi sineas Makassar untuk berkolaborasi dan lebih dari 10 judul film Makassar berhasil dilahirkannya.
Selain itu ada beberapa rumah produksi lain yang memproduksi 1-2 judul film. Saya pun sempat memproduksi film berjudul SILARIANG: Cinta Yang [Tak] Direstuidengan investor/rumah produksi dari Makassar, Inipasti Communika, pada 2018.
FilmSILARIANG: Cinta Yang [Tak] Direstui. Foto: 786 Production
Dibanding saat Uang Panaidirilis tujuh tahun silam, kini Makassar/Sulawesi Selatan punya cukup banyak bioskop. Jaringan bioskop terbesar, Grup 21 Cineplex, bahkan mengoperasikan hingga tujuh bioskop di Makassar.
Jaringan bioskop lain seperti CGV dan Cinepolis mengoperasikan beberapa bioskop di Makassar. Jaringan bioskop independen lain juga tersebar di beberapa kota kabupaten seperti Platinum Cineplex di Palopo, Dakota Cinema di Sengkang, dan Planet Cinema di Bone. Dengan demikian ruang-ruang untuk memutar film produksi sineas Makassar pun terbuka lebar.
Salah satu faktor penting yang juga perlu mendapat perhatian adalah militansi dari suku Bugis Makassar menyaksikan film tentang wilayahnya sendiri di bioskop. Berdasar Sensus Penduduk tahun 2010, suku Bugis Makassar menempati suku keempat terbanyak di Indonesia dengan total jumlah mencapai 6,3 juta orang (lebih dari 50% menetap di Sulawesi Selatan).
Sebutlah judul seperti Bangsal 13yang menjadi film perdana Luna Maya dan mengerek karier sutradara Ody C Harahap. Sebagian besar produser menganggap Makassar menjadi basis penonton film Indonesia meskipun jumlah bioskop di Makassar/Sulawesi Selatan masih sangat terbatas waktu itu.
Baca Juga
Hingga akhirnya revolusi itu datang. Sebuah sistem yang akan merevolusi cara film dibuat hingga didistribusikan. Dari sistem produksi yang harus menggunakan 35/16 milimeter yang menghabiskan biaya miliaran rupiah dari produksi hingga distribusi, dan akhirnya sistem digital memangkas biaya tersebut berkali-kali lipat.
Produksi film pun menjadi semakin efisien dan menjadi semakin mudah dan murah. Sistem digital juga mendemokratisasi produksi film yang sebelumnya lebih banyak dilakukan di Jakarta/Jawa. Setelah sistem digital berlaku, produksi film pun menggeliat termasuk di Makassar.
Film Memburu Harimau. Foto: 786 Production
Sebelum sistem digital mulai diadopsi oleh bioskop, sineas film daerah lebih banyak bergelut memproduksi film pendek secara independen. Pada 2012, sutradara senior Arman Dewarti membesut film panjang Memburu Harimaudan diputar di Gedung Kesenian Makassar selama enam hari.
Terbukti animo masyarakat menyambut film tersebut cukup besar. Dikutip dari komunitasfilm.id, sekitar 6000 lembar tiket ludes terjual dan menjadi indikasi bahwa sudah saatnya film produksi sineas Makassar melenggang ke panggung yang lebih besar: bioskop.
Setelah beberapa percobaan, pada 2016 momentum itu akhirnya datang dan membukakan mata industri film nasional. Film Uang Panailahir dari insting bisnis trio Nikky Rewa (sebelumnya pengusaha bioskop), Sunarti Sain (jurnalis senior Harian Fajar), dan sineas muda Andi Syahwal Mattuju. Film yang membicarakan polemik soal uang panai yang memang selalu menjadi masalah dari waktu ke waktu bagi anak muda Sulawesi Selatan itu digarap menjadi film komedi yang dekat dan relevan dengan masyarakat.
Meski secara teknis terhitung buruk, toh, tidak mengurangi antusiasme masyarakat untuk menyaksikan film tersebut di bioskop. Awalnya diputar terbatas, Uang Panainyatanya mampu beroleh sekitar 300 ribu penonton hanya dalam 10 hari pemutaran. Hingga hari ini, Uang Panaimasih menjadi film Makassar terlaris dengan rekor perolehan penonton melebihi 600 ribu orang.
Tapi meledaknya Uang Panaitak serta merta membuat investor nasional berduyun-duyun mendukung produksi film Makassar. Hingga hari ini yang patut diberi acungan dua jempol atas konsistensinya adalah Nikky dengan rumah produksi 786 Production.
Nikky membuka ruang selebar mungkin bagi sineas Makassar untuk berkolaborasi dan lebih dari 10 judul film Makassar berhasil dilahirkannya.
Selain itu ada beberapa rumah produksi lain yang memproduksi 1-2 judul film. Saya pun sempat memproduksi film berjudul SILARIANG: Cinta Yang [Tak] Direstuidengan investor/rumah produksi dari Makassar, Inipasti Communika, pada 2018.
FilmSILARIANG: Cinta Yang [Tak] Direstui. Foto: 786 Production
Dibanding saat Uang Panaidirilis tujuh tahun silam, kini Makassar/Sulawesi Selatan punya cukup banyak bioskop. Jaringan bioskop terbesar, Grup 21 Cineplex, bahkan mengoperasikan hingga tujuh bioskop di Makassar.
Jaringan bioskop lain seperti CGV dan Cinepolis mengoperasikan beberapa bioskop di Makassar. Jaringan bioskop independen lain juga tersebar di beberapa kota kabupaten seperti Platinum Cineplex di Palopo, Dakota Cinema di Sengkang, dan Planet Cinema di Bone. Dengan demikian ruang-ruang untuk memutar film produksi sineas Makassar pun terbuka lebar.
Salah satu faktor penting yang juga perlu mendapat perhatian adalah militansi dari suku Bugis Makassar menyaksikan film tentang wilayahnya sendiri di bioskop. Berdasar Sensus Penduduk tahun 2010, suku Bugis Makassar menempati suku keempat terbanyak di Indonesia dengan total jumlah mencapai 6,3 juta orang (lebih dari 50% menetap di Sulawesi Selatan).
Lihat Juga :
tulis komentar anda