CERMIN: Suzzanna (juga Luna Maya) adalah Magma Perfilman Indonesia
Jum'at, 04 Agustus 2023 - 13:35 WIB
JAKARTA - Tahun 1990. Meriam Bellina membintangi film berjudul Taksidan membuat sang sutradara, almarhum Arifin C Noer, menjulukinya “magma perfilman Indonesia”.
Selain dikenal berani memainkan peran yang menuntutnya membuka busana hingga beradegan seks, sejatinya Meriam memang termasuk aktris tangguh. Hingga hari ini tiga piala Citra telah berada di genggamannya sebagai pengakuan akan kapasitasnya dalam berakting.
Sementara Suzzanna berkarier jauh lebih dulu dari Meriam Bellina. Pertama kali ia tampil dalam film besutan Usmar Ismail, Darah dan Doa pada1950. Namun Suzzanna beroleh popularitasnya justru setelah membintangi film bergenre horor yang juga sering kali menuntut dirinya membuka busana hingga beradegan seks seperti Meriam.
Lalu20 tahun setelahnya, Suzzanna menjadi ikon horor Indonesia. Rasanya tak ada lagi aktris yang konsisten membintangi film horor dengan tampilan dan peran-peran yang khas seperti dirinya.
Foto:Soraya Intercine Films
Keberadaan Suzzanna dengan peran-perannya yang ikonis justru menggairahkan dunia penelitian untuk melihat peran-peran yang dimainkannya terkait dengan representasi perempuan sebagai hantu dalam perfilman nasional. Kehadirannya juga pantas membuatnya berjuluk magma perfilman Indonesia.
“Ada benang merah yang menghubungkan berbagai riwayat hantu populer (seperti sundel bolong) yaitu terbatasnya akses perempuan terhadap keadilan dan pelayanan kesehatan, serta tingginya risiko kekerasan seksual yang mereka hadapi,” ujar Gita Putri Damayana, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia sebagaimana dikutip dari The Conversation.
Adapun Umi Halimah dalam penelitiannya bertajuk Hantu Perempuan Jawa dalam Alaming Lelembut Sebagai Representasi Femme Fatale menganggap bahwa seksualitas perempuan yang terbebaskan ketika telah menjadi arwah menunjukkan bahwa semasa perempuan tersebut hidup, mereka selamanya berada dalam budaya yang mengharuskan perempuan untuk menyembunyikan seksualitasnya. Sementara laki-laki menggunakan aturan ini untuk melanggengkan kekuasaan dan kontrol atas perempuan.
Maka ketika Luna Maya didaulat untuk 'membangkitkan kembali' sosok Suzzanna dalam film Suzzanna: Beranak Dalam Kuburpada 2018, banyak yang juga berharap bahwa film-film yang kelak diperankannya sebagai Suzzanna juga akan memunculkan pembicaraan terkait representasi perempuan sebagai hantu dalam perfilman Indonesia.
Foto: Soraya Intercine Films
Namun Soraya Intercine Films yang memiliki hak penuh atas kebangkitan Suzanna dalam film horor terkini justru memilih jalan berbeda. Setelah Suzzanna: Beranak Dalam Kuburyang dirilis lima tahun silam di bioskop, dan kini Suzzanna: Malam Jumat Kliwon, kita bisa melihat bahwa Luna Maya sekadar mengulang yang sudah disajikan Suzzanna dalam film-film yang memopulerkan dirinya pada periode tahun 1970-1980-an.
Tak ada upaya lebih besar dari tim penulis skenario untuk memberi napas baru pada sosok ikonis tersebut. Suzzanna dihadirkan kembali tak lebih sebagai mesin komoditas untuk menarik perhatian masyarakat ke bioskop dan pada akhirnya demi mencetak status box office. Faktanya memang Suzzanna: Beranak Dalam Kuburberhasil mendatangkan 3,3 juta penonton ke bioskop.
Dalam film Suzzanna: Malam Jumat Kliwon, sutradara Guntur Soeharjanto lebih meletakkan unsur dramatik dan komedi sebagai pijak ceritanya. Peraih Piala Citra 2014 sebagai Penulis Skenario Asli Terbaik untuk film Tabula Rasa, Tumpal Tampubolon, menulis skenario yang bekerja dengan baik di dua sektor tersebut. Ritme ceritanya terjaga dan motivasi karakter utamanya pun tergambarkan dengan baik.
Namun unsur horornya tak istimewa dan sekadar pengulangan demi pengulangan dari sejumlah film yang sudah pernah kita saksikan di bioskop. Yang di luar dugaan adalah bagaimana Suzzanna: Malam Jumat Kliwonmemasukkan unsur komedi yang kuat dengan dua sosok hansip (diperankan Opie Kumis dan Adi Bing Slamet). Kehadiran keduanya memang dieksploitasi habis-habisan oleh Guntur dan memang menjadi penyelamat dari kebosanan atas pengulangan demi pengulangan yang ada.
Foto: Soraya Intercine Films
Selain dikenal berani memainkan peran yang menuntutnya membuka busana hingga beradegan seks, sejatinya Meriam memang termasuk aktris tangguh. Hingga hari ini tiga piala Citra telah berada di genggamannya sebagai pengakuan akan kapasitasnya dalam berakting.
Sementara Suzzanna berkarier jauh lebih dulu dari Meriam Bellina. Pertama kali ia tampil dalam film besutan Usmar Ismail, Darah dan Doa pada1950. Namun Suzzanna beroleh popularitasnya justru setelah membintangi film bergenre horor yang juga sering kali menuntut dirinya membuka busana hingga beradegan seks seperti Meriam.
Lalu20 tahun setelahnya, Suzzanna menjadi ikon horor Indonesia. Rasanya tak ada lagi aktris yang konsisten membintangi film horor dengan tampilan dan peran-peran yang khas seperti dirinya.
Foto:Soraya Intercine Films
Keberadaan Suzzanna dengan peran-perannya yang ikonis justru menggairahkan dunia penelitian untuk melihat peran-peran yang dimainkannya terkait dengan representasi perempuan sebagai hantu dalam perfilman nasional. Kehadirannya juga pantas membuatnya berjuluk magma perfilman Indonesia.
“Ada benang merah yang menghubungkan berbagai riwayat hantu populer (seperti sundel bolong) yaitu terbatasnya akses perempuan terhadap keadilan dan pelayanan kesehatan, serta tingginya risiko kekerasan seksual yang mereka hadapi,” ujar Gita Putri Damayana, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia sebagaimana dikutip dari The Conversation.
Adapun Umi Halimah dalam penelitiannya bertajuk Hantu Perempuan Jawa dalam Alaming Lelembut Sebagai Representasi Femme Fatale menganggap bahwa seksualitas perempuan yang terbebaskan ketika telah menjadi arwah menunjukkan bahwa semasa perempuan tersebut hidup, mereka selamanya berada dalam budaya yang mengharuskan perempuan untuk menyembunyikan seksualitasnya. Sementara laki-laki menggunakan aturan ini untuk melanggengkan kekuasaan dan kontrol atas perempuan.
Maka ketika Luna Maya didaulat untuk 'membangkitkan kembali' sosok Suzzanna dalam film Suzzanna: Beranak Dalam Kuburpada 2018, banyak yang juga berharap bahwa film-film yang kelak diperankannya sebagai Suzzanna juga akan memunculkan pembicaraan terkait representasi perempuan sebagai hantu dalam perfilman Indonesia.
Foto: Soraya Intercine Films
Namun Soraya Intercine Films yang memiliki hak penuh atas kebangkitan Suzanna dalam film horor terkini justru memilih jalan berbeda. Setelah Suzzanna: Beranak Dalam Kuburyang dirilis lima tahun silam di bioskop, dan kini Suzzanna: Malam Jumat Kliwon, kita bisa melihat bahwa Luna Maya sekadar mengulang yang sudah disajikan Suzzanna dalam film-film yang memopulerkan dirinya pada periode tahun 1970-1980-an.
Tak ada upaya lebih besar dari tim penulis skenario untuk memberi napas baru pada sosok ikonis tersebut. Suzzanna dihadirkan kembali tak lebih sebagai mesin komoditas untuk menarik perhatian masyarakat ke bioskop dan pada akhirnya demi mencetak status box office. Faktanya memang Suzzanna: Beranak Dalam Kuburberhasil mendatangkan 3,3 juta penonton ke bioskop.
Dalam film Suzzanna: Malam Jumat Kliwon, sutradara Guntur Soeharjanto lebih meletakkan unsur dramatik dan komedi sebagai pijak ceritanya. Peraih Piala Citra 2014 sebagai Penulis Skenario Asli Terbaik untuk film Tabula Rasa, Tumpal Tampubolon, menulis skenario yang bekerja dengan baik di dua sektor tersebut. Ritme ceritanya terjaga dan motivasi karakter utamanya pun tergambarkan dengan baik.
Namun unsur horornya tak istimewa dan sekadar pengulangan demi pengulangan dari sejumlah film yang sudah pernah kita saksikan di bioskop. Yang di luar dugaan adalah bagaimana Suzzanna: Malam Jumat Kliwonmemasukkan unsur komedi yang kuat dengan dua sosok hansip (diperankan Opie Kumis dan Adi Bing Slamet). Kehadiran keduanya memang dieksploitasi habis-habisan oleh Guntur dan memang menjadi penyelamat dari kebosanan atas pengulangan demi pengulangan yang ada.
Foto: Soraya Intercine Films
Lihat Juga :
tulis komentar anda