CERMIN: Panggung Srimulat dan Perspektif Orang Luar
Sabtu, 01 April 2023 - 08:16 WIB
JAKARTA - Tahun 1950. Ayah saya lahir dan bersamaan dengan itu Teguh Slamet Rahardjo mendirikan Srimulat.
Sebagai generasi yang lahir pada akhir tahun 1970-an, tentu saja saya tahu Srimulat. Tapi sebagai orang luar (non-Jawa), saya tak pernah betul-betul mengakrabinya. Mungkin sekali dua ketika pertunjukan panggungnya diputar di TVRI semasa saya masih kecil pernah saya saksikan. Tapi tak ada yang melekat kuat di ingatan. Sepak terjang Srimulat pun tak pernah benar-benar saya ikuti.
Berbeda dengan Srimulat, saya justru mengikuti sepak terjang Fajar Nugros sejak awal kariernya sebagai sutradara. Meskipun saya belum pernah sekali pun diundang ke premiere filmnya, tapi hampir semua filmnya saya tonton di bioskop. Termasuk Srimulat: Hil yang Mustahil” yang kini bisa disaksikan kembali di Prime Video.
Buat saya sebagai sesama pembuat film maupun penonton film, film kali ini menandai jejak karier penyutradaraan Nugros ke level yang lebih tinggi. Terlihat sekali betapa seriusnya film ini dibuat dan bagaimana IDN Pictures selaku rumah baru bagi Nugros tak tanggung-tanggung mendukung visi besar itu. Srimulat: Hil yang Mustahaladalah sebuah penghargaan bagi Srimulat yang dibuat dengan hati, niat, dan modal yang besar.
Foto: IDN Pictures/MNC Pictures
Sedari awal film dibuka, saya langsung ngeh betapa Nugros mengambil pendekatan panggung dalam setiap adegan yang disusunnya. Nyaris terasa seperti sketsa demi sketsa walau masih memberi ruang untuk memperkenalkan anggota Srimulat ke penonton masa kini.
Begitupun perkenalan tersebut nyaris tak memberi ruang yang cukup bagi penonton seperti saya untuk tahu lebih jauh seputar masing-masing personel Srimulat. Tahu-tahu Srimulat sudah jadi grup yang ajek, tahu-tahu Srimulat sudah siap lepas landas dan menuju ke pusat dari pinggiran, tahu-tahu Srimulat sudah diundang untuk melawak di depan presiden dan istri.
Pendekatan yang diambil Nugros yang langsung memperlihatkan Srimulat sebagai grup yang ajek, meski bisa jadi brilian tapi cenderung berisiko terutama bagi mereka yang tak punya referensi cukup soal Srimulat. Termasuk saya.
Seperti yang sudah saya utarakan di awal, samar-samar saya mengingat penampilan mereka ketika saya masih bocil di TVRI tapi tak lebih dari itu. Akibatnya, sebagai orang luar (non-Jawa), saya bergulat dengan referensi itu sepanjang durasi filmnya. Sesekali saya terbahak, kali lain saya hanya manggut-manggut sembari mendengar penonton lain tertawa.
Foto: IDN Pictures/MNC Pictures
Tapi soal pendekatan panggung dan perspektif saya sebagai orang luar hampir pasti tidak berkorelasi dengan kekaguman saya melihat tata artistik luar biasa untuk latar tahun 1980-an dan terutama untuk akting dari seluruh pemain. Bisa jadi ini adalah salah satu film Indonesia yang dirilis tahun lalu dengan ensemble akting paling solid. Tidak tampak ada yang ingin mencuri perhatian, semuanya hadir dengan porsinya masing-masing.
Begitupun ada Bio One dan Elang El Gibran yang menyita perhatian. Saya pernah membantu promosi film Anak Ajaibketika Bio masih cilik dan terkagum melihat transformasinya menjadi aktor serius. Saya ikut terharu melihat cuplikan video ketika istri almarhum Gepeng yang gemas betul dengan Bio dan terus menjawil pipinya.
Sementara Elang meyakinkan sekali sebagai Basuki. Kebetulan memang Bio dan Elang sering berada dalam satu frame dan saya selalu menunggu momen itu dalam film ini. Dua aktor seperti dilahirkan kembali oleh Nugros melalui Srimulat: Hil yang Mustahal.
Saya ingat pernah menonton film China berjudul Quittingdari sutradara Zhang Yang rilisan tahun 2001. Sepanjang durasi filmnya, kita tak sadar bahwa setiap adegan dimainkan di atas panggung. Saya sempat berharap Srimulat: Hil yang Mustahalyang dibuka di atas panggung juga mengakhiri filmnya di atas panggung.
Foto: IDN Pictures/MNC Pictures
Sebagai generasi yang lahir pada akhir tahun 1970-an, tentu saja saya tahu Srimulat. Tapi sebagai orang luar (non-Jawa), saya tak pernah betul-betul mengakrabinya. Mungkin sekali dua ketika pertunjukan panggungnya diputar di TVRI semasa saya masih kecil pernah saya saksikan. Tapi tak ada yang melekat kuat di ingatan. Sepak terjang Srimulat pun tak pernah benar-benar saya ikuti.
Berbeda dengan Srimulat, saya justru mengikuti sepak terjang Fajar Nugros sejak awal kariernya sebagai sutradara. Meskipun saya belum pernah sekali pun diundang ke premiere filmnya, tapi hampir semua filmnya saya tonton di bioskop. Termasuk Srimulat: Hil yang Mustahil” yang kini bisa disaksikan kembali di Prime Video.
Buat saya sebagai sesama pembuat film maupun penonton film, film kali ini menandai jejak karier penyutradaraan Nugros ke level yang lebih tinggi. Terlihat sekali betapa seriusnya film ini dibuat dan bagaimana IDN Pictures selaku rumah baru bagi Nugros tak tanggung-tanggung mendukung visi besar itu. Srimulat: Hil yang Mustahaladalah sebuah penghargaan bagi Srimulat yang dibuat dengan hati, niat, dan modal yang besar.
Foto: IDN Pictures/MNC Pictures
Sedari awal film dibuka, saya langsung ngeh betapa Nugros mengambil pendekatan panggung dalam setiap adegan yang disusunnya. Nyaris terasa seperti sketsa demi sketsa walau masih memberi ruang untuk memperkenalkan anggota Srimulat ke penonton masa kini.
Begitupun perkenalan tersebut nyaris tak memberi ruang yang cukup bagi penonton seperti saya untuk tahu lebih jauh seputar masing-masing personel Srimulat. Tahu-tahu Srimulat sudah jadi grup yang ajek, tahu-tahu Srimulat sudah siap lepas landas dan menuju ke pusat dari pinggiran, tahu-tahu Srimulat sudah diundang untuk melawak di depan presiden dan istri.
Pendekatan yang diambil Nugros yang langsung memperlihatkan Srimulat sebagai grup yang ajek, meski bisa jadi brilian tapi cenderung berisiko terutama bagi mereka yang tak punya referensi cukup soal Srimulat. Termasuk saya.
Seperti yang sudah saya utarakan di awal, samar-samar saya mengingat penampilan mereka ketika saya masih bocil di TVRI tapi tak lebih dari itu. Akibatnya, sebagai orang luar (non-Jawa), saya bergulat dengan referensi itu sepanjang durasi filmnya. Sesekali saya terbahak, kali lain saya hanya manggut-manggut sembari mendengar penonton lain tertawa.
Foto: IDN Pictures/MNC Pictures
Tapi soal pendekatan panggung dan perspektif saya sebagai orang luar hampir pasti tidak berkorelasi dengan kekaguman saya melihat tata artistik luar biasa untuk latar tahun 1980-an dan terutama untuk akting dari seluruh pemain. Bisa jadi ini adalah salah satu film Indonesia yang dirilis tahun lalu dengan ensemble akting paling solid. Tidak tampak ada yang ingin mencuri perhatian, semuanya hadir dengan porsinya masing-masing.
Begitupun ada Bio One dan Elang El Gibran yang menyita perhatian. Saya pernah membantu promosi film Anak Ajaibketika Bio masih cilik dan terkagum melihat transformasinya menjadi aktor serius. Saya ikut terharu melihat cuplikan video ketika istri almarhum Gepeng yang gemas betul dengan Bio dan terus menjawil pipinya.
Sementara Elang meyakinkan sekali sebagai Basuki. Kebetulan memang Bio dan Elang sering berada dalam satu frame dan saya selalu menunggu momen itu dalam film ini. Dua aktor seperti dilahirkan kembali oleh Nugros melalui Srimulat: Hil yang Mustahal.
Saya ingat pernah menonton film China berjudul Quittingdari sutradara Zhang Yang rilisan tahun 2001. Sepanjang durasi filmnya, kita tak sadar bahwa setiap adegan dimainkan di atas panggung. Saya sempat berharap Srimulat: Hil yang Mustahalyang dibuka di atas panggung juga mengakhiri filmnya di atas panggung.
Foto: IDN Pictures/MNC Pictures
Lihat Juga :
tulis komentar anda