CERMIN: Melawan Diri Sendiri dan Menjadi Pahlawan
Rabu, 08 Maret 2023 - 14:26 WIB
JAKARTA - Tahun 1973. Majalah Bobo dan Gadis diterbitkan pertama kali dan komikus Jan Mintaraga memperkenalkan karakter adiwira Virgo ke publik.
Karakter Virgo pertama kali diperkenalkan melalui serial Kapten Halilintar: Ghorghon pada 1973 terbitan Sastra Kumala. Dibutuhkan waktu hingga 50 tahun untuk mewujudkan Virgo sebagai karakter adiwira di jagat sinema Tanah Air.
Film Virgo and the Sparklingsmenjadi percobaan ketiga dari jagat Bumilangit yang didukung penuh oleh Screenplay. Percobaan pertama, Gundala: Negeri Ini Butuh Patriotyang dirilis pada 2019 dinilai cukup berhasil berkat perolehan penonton melebihi 1,7 juta orang.
Sayangnya percobaan kedua, Sri Asih, ditanggapi pasar tak sebaik Gundaladan gagal mencapai target box office 1 juta penonton. Virgo and the Sparklingsmenjadi percobaan paling mutakhir dari jagat Bumilangit yang terlihat serius membangun semesta adiwira Indonesia.
Jan Mintagara menggambarkan Virgo dalam wujud remaja perempuan bernama Riani sebagai “seorang mahasiswi yang terlahir sebagai seorang Sinestesia. Ia bisa melihat suara dan mendengar warna. Kemampuan ini membuatnya amat lihai bermain musik. Seiring waktu, kemampuannya berkembang. Riani bisa mengubah cahaya menjadi percikan api hingga kobaran api, dan memanipulasi cahaya sehingga ia bisa tampak tak kasat mata.”
Foto: Bumilangit Studios
Semasa kecil kekuatan Riani selalu diterimanya sebagai kelemahan. Ia selalu dianggap biang onar karena 'kegemarannya' membakar berbagai hal yang membuat orang tuanya selalu mengungsikannya dari satu sekolah ke sekolah lain.
Remaja perempuan berusia belasan sepertinya selayaknya tertekan. Ia tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya, ia tak paham bagaimana mengendalikan apa pun yang dipunyainya dan ia merasa tak seorang pun bisa mengerti yang terjadi padanya. Bahkan tidak orang tuanya.
Masa kecil Riani jauh lebih gelap dari Peter Parker yang sayangnya justru tidak dieksplorasi lebih dalam oleh skenario garapan Rafki Hidayat dan Johanna Wattimena, untuk memberinya karakter yang lebih kompleks. Padahal secara teori, semakin kompleks karakter utama, maka akan semakin menarik konflik demi konflik tersaji dalam sebuah film.
Tapi itu adalah sebuah pilihan yang diambil Ody C Harahap yang duduk di bangku sutradara. Itu adalah pilihan yang diambil secara sadar sepenuhnya.
Kita memang tahu bahwa Riani butuh waktu untuk tak lagi melawan dirinya sendiri, tapi kita tak diberi ruang untuk memahami lebih baik tentang apa yang terjadi pada dirinya dan bagaimana ia bergulat dengan semua itu, dan akhirnya memilih berdamai dengannya. Tahu-tahu Riani dipertemukan dengan trio remaja perempuan penggemar musik dan tanpa banyak cincong keempatnya langsung cocok begitu saja dan bergabung dalam sebuah band.
Foto: Bumilangit Studios
Tahu-tahu Riani merasa perlu menggunakan kekuatannya dan menjadi pahlawan. Di titik ini, skenario masih memperlihatkan urgensi dari Riani ketika melihat akibat dari wabah kemarahan yang melanda anak-anak muda di kotanya dan menyebabkan kedua orang tuanya diamuk oleh pemuda tak dikenal.
Di sini kita bisa memahami alasan Riani memutuskan melawan dirinya sendiri yang menjadi lemah karena terus-menerus menggunakan kekuatannya. Tapi kita tahu suatu saat ia akan berhadapan dengan ketakutan terbesarnya: mengkonfrontasi orang tuanya tentang kekuatannya dan tentang yang dilakukannya saat ini.
Di sisi ini pula lah Virgo and the Sparklingsmenjadi relevan buat remaja SMP/SMA yang butuh perhatian dan butuh dukungan dari sekeliling. Ody memberi ruang besar pada bagaimana kisah film ini juga tentang hubungan orang tua dan anak yang saling memahami tapi tak kunjung berani untuk saling mengungkapkan.
Ini tentang anak yang merasa menderita sendirian semasa kecilnya dan dibiarkan begitu saja oleh orang tuanya. Juga tentang orang tua yang ketakutan karena tahu bahwa anaknya punya kekuatan besar dan kelak justru akan membuatnya lemah.
Karakter Virgo pertama kali diperkenalkan melalui serial Kapten Halilintar: Ghorghon pada 1973 terbitan Sastra Kumala. Dibutuhkan waktu hingga 50 tahun untuk mewujudkan Virgo sebagai karakter adiwira di jagat sinema Tanah Air.
Film Virgo and the Sparklingsmenjadi percobaan ketiga dari jagat Bumilangit yang didukung penuh oleh Screenplay. Percobaan pertama, Gundala: Negeri Ini Butuh Patriotyang dirilis pada 2019 dinilai cukup berhasil berkat perolehan penonton melebihi 1,7 juta orang.
Sayangnya percobaan kedua, Sri Asih, ditanggapi pasar tak sebaik Gundaladan gagal mencapai target box office 1 juta penonton. Virgo and the Sparklingsmenjadi percobaan paling mutakhir dari jagat Bumilangit yang terlihat serius membangun semesta adiwira Indonesia.
Jan Mintagara menggambarkan Virgo dalam wujud remaja perempuan bernama Riani sebagai “seorang mahasiswi yang terlahir sebagai seorang Sinestesia. Ia bisa melihat suara dan mendengar warna. Kemampuan ini membuatnya amat lihai bermain musik. Seiring waktu, kemampuannya berkembang. Riani bisa mengubah cahaya menjadi percikan api hingga kobaran api, dan memanipulasi cahaya sehingga ia bisa tampak tak kasat mata.”
Foto: Bumilangit Studios
Semasa kecil kekuatan Riani selalu diterimanya sebagai kelemahan. Ia selalu dianggap biang onar karena 'kegemarannya' membakar berbagai hal yang membuat orang tuanya selalu mengungsikannya dari satu sekolah ke sekolah lain.
Remaja perempuan berusia belasan sepertinya selayaknya tertekan. Ia tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya, ia tak paham bagaimana mengendalikan apa pun yang dipunyainya dan ia merasa tak seorang pun bisa mengerti yang terjadi padanya. Bahkan tidak orang tuanya.
Masa kecil Riani jauh lebih gelap dari Peter Parker yang sayangnya justru tidak dieksplorasi lebih dalam oleh skenario garapan Rafki Hidayat dan Johanna Wattimena, untuk memberinya karakter yang lebih kompleks. Padahal secara teori, semakin kompleks karakter utama, maka akan semakin menarik konflik demi konflik tersaji dalam sebuah film.
Baca Juga
Tapi itu adalah sebuah pilihan yang diambil Ody C Harahap yang duduk di bangku sutradara. Itu adalah pilihan yang diambil secara sadar sepenuhnya.
Kita memang tahu bahwa Riani butuh waktu untuk tak lagi melawan dirinya sendiri, tapi kita tak diberi ruang untuk memahami lebih baik tentang apa yang terjadi pada dirinya dan bagaimana ia bergulat dengan semua itu, dan akhirnya memilih berdamai dengannya. Tahu-tahu Riani dipertemukan dengan trio remaja perempuan penggemar musik dan tanpa banyak cincong keempatnya langsung cocok begitu saja dan bergabung dalam sebuah band.
Foto: Bumilangit Studios
Tahu-tahu Riani merasa perlu menggunakan kekuatannya dan menjadi pahlawan. Di titik ini, skenario masih memperlihatkan urgensi dari Riani ketika melihat akibat dari wabah kemarahan yang melanda anak-anak muda di kotanya dan menyebabkan kedua orang tuanya diamuk oleh pemuda tak dikenal.
Di sini kita bisa memahami alasan Riani memutuskan melawan dirinya sendiri yang menjadi lemah karena terus-menerus menggunakan kekuatannya. Tapi kita tahu suatu saat ia akan berhadapan dengan ketakutan terbesarnya: mengkonfrontasi orang tuanya tentang kekuatannya dan tentang yang dilakukannya saat ini.
Di sisi ini pula lah Virgo and the Sparklingsmenjadi relevan buat remaja SMP/SMA yang butuh perhatian dan butuh dukungan dari sekeliling. Ody memberi ruang besar pada bagaimana kisah film ini juga tentang hubungan orang tua dan anak yang saling memahami tapi tak kunjung berani untuk saling mengungkapkan.
Ini tentang anak yang merasa menderita sendirian semasa kecilnya dan dibiarkan begitu saja oleh orang tuanya. Juga tentang orang tua yang ketakutan karena tahu bahwa anaknya punya kekuatan besar dan kelak justru akan membuatnya lemah.
Lihat Juga :
tulis komentar anda