CERMIN: Urip Iku Urup
loading...

Film Kembang Api menggambarkan derita yang datang beruntun, membuat para karakternya ingin mengakhiri hidup. Foto/Falcon Pictures
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1991. Pada suatu subuh, saya dan adik dibangunkan oleh Mami. Beliau menasihati saya agar selalu menjaga adik saya. Beberapa jam setelahnya, di sekolah, saya mendapat kabar buruk. Mami meninggal seketika karena kecelakaan mobil.
Dunia saya runtuh saat itu juga. Gairah saya untuk menikmati hidup hilang seketika. Sekitar dua mingguan Papi saya membiarkan saya berduka. Saya bersyukur karena diberi waktu untuk meratap dan menangis. Sehingga kelak saya tak mengalami kejadian yang mirip dengan yang dialami Sukma.
Tahun 2005. Saya memutuskan merantau ke Jakarta, meninggalkan mimpi menjadi dokter begitu saja. Selama bertahun-tahun saya merasa tersiksa menjalani pilihan orang tua dan akhirnya merasa terbebaskan. Sehingga kelak saya tak mengalami kejadian yang mirip dengan yang dialami Raga.
Baca Juga: CERMIN: Kasih Ibu Sepanjang Jalan
Tahun 2016. Saya memberanikan diri memproduksi film panjang pertama di bawah bendera rumah produksi saya, Indonesia Sinema Persada. Meski skema produksi telah diperhitungkan matang, penambahan empat hari syuting membuat saya tiba-tiba harus 'berutang' 400 juta. Untungnya kelak saya tak mengalami kejadian yang mirip dengan yang dialami Fahmi.
![CERMIN: Urip Iku Urup]()
Foto: Falcon Pictures
Tak ada film Indonesia yang terasa sangat relevan dengan saya selain Kembang Apigarapan sutradara Herwin Novianto. Saya mengalami yang dialami ketiga tokoh utamanya. Namun menariknya pendekatan sutradara dan skenario adaptasi dari Alim Sudio tak membuat film ini over-sentimental dan over-dramatis dan membuatnya justru lebih terasa mengena di hati.
Ketika mengalami penderitaan demi penderitaan tak berkesudahan, apakah kita akan menyerah pada hidup? Ketika melihat seseorang yang mengalami derita berkepanjangan dan ingin menyerah pada hidup, apakah kita akan menghakimi keputusannya? Ketika melihat seseorang menderita karena sebuah masalah yang tak pernah ditampakkannya, apakah kita akan mengulurkan tangan untuk membantunya?
Menyerah pada hidup jelas adalah pilihan terakhir. Ketika kita merasa sedang berhadapan dengan tembok tinggi dan tak bisa memanjatnya, ketika kita terperosok ke dalam lubang yang terlalu dalam dan tak bisa lagi melihat cahaya, bagaimana kita akan membiarkan cahaya hidup kita perlahan-lahan mati?
“Urip iku urup”. Hidup harus menyala. Kalimat pendek dan filosofis berbahasa Jawa kuno itu ditulis pada bola kembang api raksasa oleh Fahmi ketika dirinya, Raga, Sukma, dan Anggun justru ingin mematikan cahaya itu, berpisah dengan hidup untuk selama-lamanya. Dilosofi ini menjadi pengingat sekaligus kutukan bagi keempatnya.
Dunia saya runtuh saat itu juga. Gairah saya untuk menikmati hidup hilang seketika. Sekitar dua mingguan Papi saya membiarkan saya berduka. Saya bersyukur karena diberi waktu untuk meratap dan menangis. Sehingga kelak saya tak mengalami kejadian yang mirip dengan yang dialami Sukma.
Tahun 2005. Saya memutuskan merantau ke Jakarta, meninggalkan mimpi menjadi dokter begitu saja. Selama bertahun-tahun saya merasa tersiksa menjalani pilihan orang tua dan akhirnya merasa terbebaskan. Sehingga kelak saya tak mengalami kejadian yang mirip dengan yang dialami Raga.
Baca Juga: CERMIN: Kasih Ibu Sepanjang Jalan
Tahun 2016. Saya memberanikan diri memproduksi film panjang pertama di bawah bendera rumah produksi saya, Indonesia Sinema Persada. Meski skema produksi telah diperhitungkan matang, penambahan empat hari syuting membuat saya tiba-tiba harus 'berutang' 400 juta. Untungnya kelak saya tak mengalami kejadian yang mirip dengan yang dialami Fahmi.

Foto: Falcon Pictures
Tak ada film Indonesia yang terasa sangat relevan dengan saya selain Kembang Apigarapan sutradara Herwin Novianto. Saya mengalami yang dialami ketiga tokoh utamanya. Namun menariknya pendekatan sutradara dan skenario adaptasi dari Alim Sudio tak membuat film ini over-sentimental dan over-dramatis dan membuatnya justru lebih terasa mengena di hati.
Ketika mengalami penderitaan demi penderitaan tak berkesudahan, apakah kita akan menyerah pada hidup? Ketika melihat seseorang yang mengalami derita berkepanjangan dan ingin menyerah pada hidup, apakah kita akan menghakimi keputusannya? Ketika melihat seseorang menderita karena sebuah masalah yang tak pernah ditampakkannya, apakah kita akan mengulurkan tangan untuk membantunya?
Menyerah pada hidup jelas adalah pilihan terakhir. Ketika kita merasa sedang berhadapan dengan tembok tinggi dan tak bisa memanjatnya, ketika kita terperosok ke dalam lubang yang terlalu dalam dan tak bisa lagi melihat cahaya, bagaimana kita akan membiarkan cahaya hidup kita perlahan-lahan mati?
“Urip iku urup”. Hidup harus menyala. Kalimat pendek dan filosofis berbahasa Jawa kuno itu ditulis pada bola kembang api raksasa oleh Fahmi ketika dirinya, Raga, Sukma, dan Anggun justru ingin mematikan cahaya itu, berpisah dengan hidup untuk selama-lamanya. Dilosofi ini menjadi pengingat sekaligus kutukan bagi keempatnya.
Lihat Juga :