CERMIN: Urip Iku Urup
Sabtu, 04 Maret 2023 - 08:41 WIB
JAKARTA - Tahun 1991. Pada suatu subuh, saya dan adik dibangunkan oleh Mami. Beliau menasihati saya agar selalu menjaga adik saya. Beberapa jam setelahnya, di sekolah, saya mendapat kabar buruk. Mami meninggal seketika karena kecelakaan mobil.
Dunia saya runtuh saat itu juga. Gairah saya untuk menikmati hidup hilang seketika. Sekitar dua mingguan Papi saya membiarkan saya berduka. Saya bersyukur karena diberi waktu untuk meratap dan menangis. Sehingga kelak saya tak mengalami kejadian yang mirip dengan yang dialami Sukma.
Tahun 2005. Saya memutuskan merantau ke Jakarta, meninggalkan mimpi menjadi dokter begitu saja. Selama bertahun-tahun saya merasa tersiksa menjalani pilihan orang tua dan akhirnya merasa terbebaskan. Sehingga kelak saya tak mengalami kejadian yang mirip dengan yang dialami Raga.
Tahun 2016. Saya memberanikan diri memproduksi film panjang pertama di bawah bendera rumah produksi saya, Indonesia Sinema Persada. Meski skema produksi telah diperhitungkan matang, penambahan empat hari syuting membuat saya tiba-tiba harus 'berutang' 400 juta. Untungnya kelak saya tak mengalami kejadian yang mirip dengan yang dialami Fahmi.
Foto: Falcon Pictures
Tak ada film Indonesia yang terasa sangat relevan dengan saya selain Kembang Apigarapan sutradara Herwin Novianto. Saya mengalami yang dialami ketiga tokoh utamanya. Namun menariknya pendekatan sutradara dan skenario adaptasi dari Alim Sudio tak membuat film ini over-sentimental dan over-dramatis dan membuatnya justru lebih terasa mengena di hati.
Ketika mengalami penderitaan demi penderitaan tak berkesudahan, apakah kita akan menyerah pada hidup? Ketika melihat seseorang yang mengalami derita berkepanjangan dan ingin menyerah pada hidup, apakah kita akan menghakimi keputusannya? Ketika melihat seseorang menderita karena sebuah masalah yang tak pernah ditampakkannya, apakah kita akan mengulurkan tangan untuk membantunya?
Menyerah pada hidup jelas adalah pilihan terakhir. Ketika kita merasa sedang berhadapan dengan tembok tinggi dan tak bisa memanjatnya, ketika kita terperosok ke dalam lubang yang terlalu dalam dan tak bisa lagi melihat cahaya, bagaimana kita akan membiarkan cahaya hidup kita perlahan-lahan mati?
“Urip iku urup”. Hidup harus menyala. Kalimat pendek dan filosofis berbahasa Jawa kuno itu ditulis pada bola kembang api raksasa oleh Fahmi ketika dirinya, Raga, Sukma, dan Anggun justru ingin mematikan cahaya itu, berpisah dengan hidup untuk selama-lamanya. Dilosofi ini menjadi pengingat sekaligus kutukan bagi keempatnya.
Foto: Falcon Pictures
Dari awalnya bersemangat menyala untuk mati tapi terus ditaklukkan oleh sebuah keanehan bahwa rencana mereka terus menerus gagal. Hidup seperti tak membiarkan mereka untuk mati. Hidup terasa memberi mereka kesempatan kedua untuk kembali menyala.
“Urip iku urup”. Hidup itu selalu bertukar. Dalam menjalani kehidupan, posisi kita senantiasa berubah-ubah sewaktu-waktu. Hari ini kita dielu-elukan, besok kita dicaci maki. Hari ini kita beruntung, besok kita mengalami kesialan. Dan karenanya kita diminta untuk berusaha memahami posisi sulit yang dialami seseorang.
Bayangkan jika kamu berada di posisi Fahmi, Raga, Sukma, dan Anggun. Bagaimana rasanya berutang 1,3 miliar? Bagaimana rasanya tak bergairah lagi menjalani profesi sebagai dokter? Bagaimana rasanya merasa hidup tak berarti ketika ditinggal putra tercinta? Bagaimana rasanya jika hari demi hari dilalui dengan caci maki dan ejekan dari teman sekolah?
“Urip iku urup”. Bahwa hidup harus memberi manfaat pada sekitar. Persis dengan ajaran Islam bahwa alasan manusia berada di bumi tak lain untuk memberi manfaat pada sesamanya. Bahwa Fahmi, Raga, Sukma, dan Anggun masih bisa meneruskan hidupnya dan dengan pengalaman pahit yang telah mereka jalani bisa jadi mereka bisa menolong orang lain yang mengalami hal serupa.
Foto: Falcon Pictures
Dunia saya runtuh saat itu juga. Gairah saya untuk menikmati hidup hilang seketika. Sekitar dua mingguan Papi saya membiarkan saya berduka. Saya bersyukur karena diberi waktu untuk meratap dan menangis. Sehingga kelak saya tak mengalami kejadian yang mirip dengan yang dialami Sukma.
Tahun 2005. Saya memutuskan merantau ke Jakarta, meninggalkan mimpi menjadi dokter begitu saja. Selama bertahun-tahun saya merasa tersiksa menjalani pilihan orang tua dan akhirnya merasa terbebaskan. Sehingga kelak saya tak mengalami kejadian yang mirip dengan yang dialami Raga.
Baca Juga
Tahun 2016. Saya memberanikan diri memproduksi film panjang pertama di bawah bendera rumah produksi saya, Indonesia Sinema Persada. Meski skema produksi telah diperhitungkan matang, penambahan empat hari syuting membuat saya tiba-tiba harus 'berutang' 400 juta. Untungnya kelak saya tak mengalami kejadian yang mirip dengan yang dialami Fahmi.
Foto: Falcon Pictures
Tak ada film Indonesia yang terasa sangat relevan dengan saya selain Kembang Apigarapan sutradara Herwin Novianto. Saya mengalami yang dialami ketiga tokoh utamanya. Namun menariknya pendekatan sutradara dan skenario adaptasi dari Alim Sudio tak membuat film ini over-sentimental dan over-dramatis dan membuatnya justru lebih terasa mengena di hati.
Ketika mengalami penderitaan demi penderitaan tak berkesudahan, apakah kita akan menyerah pada hidup? Ketika melihat seseorang yang mengalami derita berkepanjangan dan ingin menyerah pada hidup, apakah kita akan menghakimi keputusannya? Ketika melihat seseorang menderita karena sebuah masalah yang tak pernah ditampakkannya, apakah kita akan mengulurkan tangan untuk membantunya?
Menyerah pada hidup jelas adalah pilihan terakhir. Ketika kita merasa sedang berhadapan dengan tembok tinggi dan tak bisa memanjatnya, ketika kita terperosok ke dalam lubang yang terlalu dalam dan tak bisa lagi melihat cahaya, bagaimana kita akan membiarkan cahaya hidup kita perlahan-lahan mati?
“Urip iku urup”. Hidup harus menyala. Kalimat pendek dan filosofis berbahasa Jawa kuno itu ditulis pada bola kembang api raksasa oleh Fahmi ketika dirinya, Raga, Sukma, dan Anggun justru ingin mematikan cahaya itu, berpisah dengan hidup untuk selama-lamanya. Dilosofi ini menjadi pengingat sekaligus kutukan bagi keempatnya.
Foto: Falcon Pictures
Dari awalnya bersemangat menyala untuk mati tapi terus ditaklukkan oleh sebuah keanehan bahwa rencana mereka terus menerus gagal. Hidup seperti tak membiarkan mereka untuk mati. Hidup terasa memberi mereka kesempatan kedua untuk kembali menyala.
“Urip iku urup”. Hidup itu selalu bertukar. Dalam menjalani kehidupan, posisi kita senantiasa berubah-ubah sewaktu-waktu. Hari ini kita dielu-elukan, besok kita dicaci maki. Hari ini kita beruntung, besok kita mengalami kesialan. Dan karenanya kita diminta untuk berusaha memahami posisi sulit yang dialami seseorang.
Bayangkan jika kamu berada di posisi Fahmi, Raga, Sukma, dan Anggun. Bagaimana rasanya berutang 1,3 miliar? Bagaimana rasanya tak bergairah lagi menjalani profesi sebagai dokter? Bagaimana rasanya merasa hidup tak berarti ketika ditinggal putra tercinta? Bagaimana rasanya jika hari demi hari dilalui dengan caci maki dan ejekan dari teman sekolah?
“Urip iku urup”. Bahwa hidup harus memberi manfaat pada sekitar. Persis dengan ajaran Islam bahwa alasan manusia berada di bumi tak lain untuk memberi manfaat pada sesamanya. Bahwa Fahmi, Raga, Sukma, dan Anggun masih bisa meneruskan hidupnya dan dengan pengalaman pahit yang telah mereka jalani bisa jadi mereka bisa menolong orang lain yang mengalami hal serupa.
Foto: Falcon Pictures
tulis komentar anda